Opini
Mobilitas Pekerja: Pengungkit Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat
Mobilitas yang terjadi baik antar kabupaten, provinsi, bahkan negara bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan sebuah mekanisme pasar
Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh
PROVINSI Aceh, dengan kekayaan sumber daya alam dan karakteristik sosio-kultural yang unik, berada pada persimpangan jalan yang menentukan dalam perjalanan pembangunan ekonominya. Dalam narasi pertumbuhan jangka panjang, salah satu faktor kunci yang sering kurang mendapat perhatian adalah peran mobilitas tenaga kerja.
Mobilitas yang terjadi baik antar kabupaten, provinsi, bahkan negara bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan sebuah mekanisme pasar yang vital dan strategis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks Aceh, memahami dan memfasilitasi mobilitas ini adalah sebuah keharusan, bukan pilihan.
Realitas Pasar Kerja Aceh dan Tekanan Mobilitas
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh per Agustus 2023 menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 6.62 persen, masih di atas rata-rata nasional. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang fluktuatif sangat bergantung pada sektor migas dan pertanian yang rentan goncangan.
Disparitas pembangunan juga tampak nyata; pusat pertumbuhan terkonsentrasi di Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Aceh Utara, sementara banyak kabupaten di pedalaman dan pesisir selatan masih bergulat dengan kemiskinan dan keterbatasan lapangan kerja.
Kondisi ini menciptakan tekanan alamiah bagi tenaga kerja untuk bermobilisasi. Teori investasi modal manusia karya Larry Sjaastad sangat relevan di sini. Seorang pemuda dari Aceh Tengah atau Aceh Selatan yang memutuskan merantau ke Medan atau Jakarta sesungguhnya sedang melakukan sebuah investasi.
Ia mengeluarkan biaya langsung seperti transportasi dan akomodasi, serta biaya psikis karena meninggalkan kampung halaman, dengan harapan akan memperoleh manfaat berupa pendapatan yang jauh lebih tinggi daripada yang bisa diperolehnya di desa. Keputusan ini adalah respons rasional terhadap insentif ekonomi.
Bentuk-Bentuk Mobilitas dan Kontribusinya pada Kesejahteraan
Beberapa pola mobilitas tenaga kerja Aceh telah berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan. Pertama Migrasi Internal dan Circular Migration: Pola perpindahan dari desa ke kota (urbanisasi) di dalam Provinsi Aceh terus berlangsung.
Yang juga menonjol adalah pola circular migration atau perpindahan berulang. Petani di Aceh Tengah mungkin bekerja sebagai buruh bangunan di Banda Aceh pada musim tanam, lalu kembali ke ladang ketika musim panen tiba. Mobilitas seperti ini berfungsi sebagai "katup pengaman" yang menyerap tenaga kerja menganggur musiman dan menjadi sumber pendapatan tambahan yang stabil bagi keluarga di desa, sekaligus memenuhi kebutuhan tenaga kerja sektor jasa dan konstruksi di kota.
Kedua Labour Trade dan Migrasi Internasional: Aceh memiliki sejarah panjang dalam perdagangan tenaga kerja internasional, khususnya ke Malaysia. Ribuan pekerja Aceh, baik melalui program resmi maupun jalur informal, bekerja di sektor perkebunan, konstruksi, dan perawatan di negeri jiran.
Remitansi atau kiriman uang yang mereka hasilkan adalah penyangga ekonomi yang sangat penting. Uang ini tidak hanya untuk konsumsi, tetapi juga dimanfaatkan untuk membangun rumah, modal usaha kecil-kecilan, dan biaya pendidikan anak-anak mereka di kampung halaman. Sayangnya, banyak yang masih bermigrasi secara tidak berdokumen, membuat mereka rentan terhadap eksploitasi dan tidak tercatat dengan baik dalam statistik resmi.
Ketiga Migrasi Balik (Return Migration): Ini adalah aset yang sering terabaikan. Banyak pekerja Aceh yang merantau pulang ke daerah asalnya setelah bertahun-tahun mengumpulkan pengalaman, keterampilan, tabungan, dan jaringan. Mereka adalah agen pembangunan yang potensial.
Daripada sekadar menjadi pencari kerja, mereka sering kali menjadi pencipta lapangan kerja dengan mendirikan usaha warung makan, bengkel, atau usaha kecil lainnya yang merevitalisasi ekonomi lokal. Tantangannya adalah menciptakan iklim usaha yang kondusif agar "modal" yang mereka bawa pulang dapat ditanamkan dengan produktif di Aceh.
Manfaat bagi Perekonomian Aceh dan Tantangan yang Harus Diatasi
Dari perspektif makro, mobilitas pekerja, terutama migrasi masuk (immigration) tenaga kerja terampil, juga dapat memberikan manfaat bagi Aceh. Rekonstruksi pasca-tsunami dan konflik menunjukkan bagaimana tenaga ahli dari luar Aceh berperan penting dalam memulihkan infrastruktur dan perekonomian.
Mereka membawa keterampilan, pengetahuan, dan inovasi yang belum tentu tersedia di pasar lokal. Dalam konteks otonomi khusus, Aceh memiliki ruang untuk merancang kebijakan yang dapat menarik tenaga kerja terampil untuk berkontribusi dalam sektor-sektor prioritas, seperti pariwisata halal, pertanian organik, dan energi terbarukan.
Namun, jalan menuju mobilitas yang optimal masih dipenuhi hambatan. Infrastruktur transportasi yang tidak merata, khususnya di wilayah Selatan dan Tengah, meningkatkan biaya migrasi. Ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki pencari kerja dengan kebutuhan industri (skill mismatch) juga menjadi masalah serius.
Selain itu, faktor budaya dan ikatan keluarga yang kuat, sebagaimana digambarkan dalam model "Tied Stayer", kadang menjadi pertimbangan non-ekonomi yang menghambat keputusan untuk bermigrasi, meskipun peluang ekonomi di luar lebih baik.
Rekomendasi Kebijakan: Dari Menghambat menjadi Memfasilitasi
Agar mobilitas pekerja dapat menjadi mesin peningkatan kesejahteraan yang powerful, Pemerintah Aceh dan para pemangku kepentingan perlu beralih dari paradigma yang melihat mobilitas sebagai "ancaman" atau "masalah" menjadi sebuah "solusi" yang perlu difasilitasi. Beberapa langkah strategis yang dapat diambil adalah:
1.Memperkuat Layanan Informasi Pasar Kerja: Membangun platform digital terpadu yang menghubungkan pencari kerja di daerah dengan lowongan di pusat pertumbuhan, termasuk memberikan informasi tentang biaya hidup dan kebutuhan keterampilan.
2. Meningkatkan Keterampilan dan Daya Saing: Program pelatihan vokasi harus diselaraskan dengan peta jalan industrialisasi Aceh dan tuntutan pasar kerja nasional bahkan internasional, mempersiapkan tenaga kerja yang siap bermigrasi secara kompetitif.
3. Memperbaiki Infrastruktur Konektivitas: Pembangunan dan perbaikan jalan, pelabuhan, serta jaringan internet di daerah tertinggal akan menurunkan biaya mobilitas dan membuka akses ekonomi yang lebih luas.
4. Melindungi Pekerja Migran: Memperkuat peran BNP2TKI dan dinas terkait di Aceh untuk memberikan pembekalan, pendampingan hukum, dan perlindungan bagi Calon Pekerja Migran (CPMI), memastikan migrasi yang aman, tertib, dan bermartabat.
5. Menarik Migran Balik Berinvestasi: Membuat paket kebijakan insentif fiskal dan non-fiskal yang sederhana dan mudah diakses untuk mendorong para perantau yang pulang agar menanamkan modal dan keahliannya membangun usaha di Aceh.
Kesimpulan
Mobilitas pekerja adalah jantung dari pasar tenaga kerja yang dinamis. Bagi Aceh, ia adalah strategi adaptif yang telah lama dilakukan masyarakatnya untuk bertahan dan meningkatkan taraf hidup.
Dengan melihat mobilitas melalui lensa investasi modal manusia dan sebagai alat untuk menyeimbangkan penawaran-permintaan tenaga kerja, Pemerintah Aceh dapat merancang kebijakan yang tidak hanya memecahkan masalah pengangguran, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Dengan memfasilitasi mobilitas yang lancar, aman, dan produktif, Aceh pada dasarnya sedang membuka katup pembangkit tenaga kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Dengan semakin menyebarnya Masyarakat Aceh di seluruh penjuru dunia, maka akan semakin banyak jejaring rangkaiaan sosial ekonomi terbentuk, sehingga memperkaya khazanah global, inovasi daerah serta tidak hanya mengangkat nama daerah tetapi juga menciptakan pertukaran manfaat yang saling menguntungkan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/uniki-080624-b.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.