Opini
Perlindungan Anak yang Terlalu Jauh, Kita Sedang Mencetak Generasi Rapuh
Kalau dipukul, mereka belajar menahan diri, bukan menuntut. Kalau dimarahi guru, mereka tahu: itu bukan kebencian, itu bentuk kasih dengan
Kalau setiap goresan kecil dianggap luka besar, bagaimana nanti mereka menghadapi badai kehidupan?
Negara-negara yang maju paham hal itu.
Di Jepang, anak SD membersihkan toilet sendiri, bukan karena tidak ada petugas, tapi karena mereka belajar menghargai kerja keras.
Di Korea Selatan, pelajar tidur empat jam demi ujian, bukan karena disiksa, tapi karena tahu hasil besar tidak lahir dari kenyamanan.
Di Finlandia, meskipun lembut dalam metode belajar, disiplin tetap mutlak: tidak ada bolos, tidak ada mencontek.
Sementara di sini, baru ditegur guru sedikit, langsung dianggap trauma. Baru disindir, sudah dipanggil psikolog.
Kita tumbuh dalam dunia yang terlalu takut membuat anak terluka, hingga lupa mengajarkan mereka bagaimana sembuh sendiri.
Tokoh Besar Tidak Lahir dari Kehidupan yang Lembut
Lihatlah sejarah kita.
Apakah ada tokoh besar yang dibesarkan dalam kemanjaan?
Soekarno kecil tumbuh di tengah tekanan penjajahan, diasingkan ke Ende dan Bengkulu, tapi dari situ lahir keberanian mengguncang dunia.
Mohammad Hatta hidup di negeri asing, melawan sepi dan kesunyian, dan dari kesendirian itu tumbuh kekuatan berpikir yang tajam.
Cut Nyak Dhien berjuang di tengah perang, kehilangan suami, rumah, dan anak tapi tidak pernah kehilangan semangat.
Coba tanya sama para guru besar, yang sudah tokoh pendidikan.
Bagaimana pahit getir suasana mereka menuntut ilmu mulai sekolah dasar hingga jadi prosessor.
Mereka tidak tumbuh dalam dunia yang memanjakan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Mustafa-Husen-Woyla-yojk.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.