Opini
Perlindungan Anak yang Terlalu Jauh, Kita Sedang Mencetak Generasi Rapuh
Kalau dipukul, mereka belajar menahan diri, bukan menuntut. Kalau dimarahi guru, mereka tahu: itu bukan kebencian, itu bentuk kasih dengan
Pesantren, sekolah, dan orang tua perlu bekerja sama bukan dalam memanjakan.
Guru tidak boleh takut menegur, asal dengan cinta.
Orang tua tidak boleh selalu membela, tapi mengajari anak untuk introspeksi.
Dan anak harus belajar bahwa hidup tidak akan selalu ramah, tapi selalu bisa dihadapi.
Mari kembalikan fungsi pendidikan sebagai tempat penempaan karakter, bukan sekadar tempat menenangkan perasaan.
Karena dunia tidak butuh anak-anak yang lembut di lidah tapi lemah di dada, dunia butuh anak-anak yang lembut hatinya, namun tegas pendiriannya.
Mendidik Anak Menjadi Baja, Bukan Kaca
Anak boleh menangis, tapi jangan berhenti berjuang.
Boleh terluka, tapi jangan kehilangan arah.
Karena ketika mereka dewasa, tidak ada lagi guru yang menegur dengan sayang, tidak ada lagi orang tua yang selalu menenangkan.
Yang ada hanya dunia yang keras, yang realitasnya tidak bisa diajak kompromi.
Dan pada akhirnya, pendidikan sejati bukanlah tentang menjauhkan anak dari rasa sakit, tapi mengajarkan mereka bagaimana bangkit setelah jatuh.
Dengan kepala tegak, hati lapang, dan beradab.
Karena anak-anak yang paling siap menghadapi dunia bukan mereka yang paling sering dilindungi, tapi mereka yang pernah jatuh, berdiri lagi, dan tetap berjalan dengan senyum di wajahnya.
Saya percaya pada pendidikan yang menumbuhkan mental baja dalam hati lembut.
Anak boleh menangis, tapi harus belajar berdiri lagi tanpa menunggu "peluk - cium manja " dari lembaga perlindungan anak.
Karena tidak ada Komisi Perlindungan Anak di medan perjuangan hidup.
*) PENULIS adalah Pengamat Bumoe Singet
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Mustafa-Husen-Woyla-yojk.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.