Kupi Beungoh
Integritas dan Sistem Bercerai, Korupsi Berpesta
Indonesia dikenal religius, tetapi spiritualitas yang seharusnya menjadi benteng moral sering tak berdaya menghadang derasnya nafsu kuasa.
Oleh: Dr. Muhammad Nasir*)
Religius, tetapi Korup
Di negeri yang langitnya dipenuhi doa, lantunan ayat suci, dan azan yang tak pernah henti, justru tumbuh ladang korupsi yang disiram ambisi dan dipupuk kekuasaan.
Indonesia dikenal religius, tetapi spiritualitas yang seharusnya menjadi benteng moral sering tak berdaya menghadang derasnya nafsu kuasa.
Di ruang ibadah kita mendengar zikir dan khutbah, namun di ruang kekuasaan berlangsung pesta diam-diam: amanah diperdagangkan, jabatan dijadikan ladang panen nafsu, dan integritas dikorbankan demi rente.
Pertanyaan pun menggema: mengapa iman tak kuasa menundukkan syahwat kekuasaan?
Jawabannya ada pada perceraian antara integritas dan sistem.
Dua pilar yang semestinya menyatu kini berjalan sendiri-sendiri, membuka ruang gelap tempat korupsi tumbuh subur.
Korupsi: Musuh Peradaban, Pengkhianatan Spiritual
Kofi Annan pernah menyebut korupsi sebagai insidious plague, wabah yang merusak demokrasi, melemahkan hukum, dan menghancurkan kemanusiaan.
Potret itu jelas di Indonesia hari ini.
Transparency International (2024) menempatkan Indonesia pada skor 34/100, peringkat 115 dari 180 negara, merosot dari 40 pada 2020.
Kita kini sejajar dengan Filipina, tertinggal dari Malaysia (47) dan Vietnam (41), apalagi Singapura (83).
Data ICW (2023) mencatat kerugian negara akibat korupsi lebih dari Rp56 triliun, mayoritas melibatkan pejabat publik.
Dalam khazanah Islam, korupsi adalah pengkhianatan besar: Nabi SAW melaknat penyuap dan yang disuap, Umar bin Khattab menegaskan jabatan adalah amanah, sementara Al-Ghazali menyebut penguasa zalim sebagai sumber kerusakan sosial.
Korupsi di Indonesia kini bukan sekadar kriminalitas, melainkan telah menjadi budaya kekuasaan.
Presiden Prabowo Subianto dalam Pidato Kenegaraan 15 Agustus 2025 menegaskan tekad memberantas korupsi usai menyelamatkan Rp300 triliun dari anggaran mubazir.
Ia menyebut bahaya “serakahnomics” yang merugikan negara hingga US$6,1 miliar per tahun, serta memimpin operasi besar membongkar 5 juta hektare sawit ilegal dan lebih dari 1.000 tambang ilegal (Reuters, AP).
Pesan ini jelas: korupsi telah merasuk hingga ke akar, tetapi perang terhadapnya tak boleh setengah hati.
Baca juga: Terbukti Korupsi Bersama, Vonis Eks Wali Kota Semarang Mbak Ita Lebih Ringan, Suami Lebih Berat
Politik Biaya Tinggi: Akar Sistemik
Korupsi bukan hanya lahir dari moral individu yang lemah, melainkan juga dari sistem politik berbiaya tinggi.
Riset Indikator Politik Indonesia (Burhanuddin Muhtadi, 2023) menunjukkan money politics bukan anomali, melainkan pola berulang.
Serangan fajar, patronase barang/jasa, dan praktik vote buying telah menjelma instrumen mobilisasi elektoral.
Akibatnya, pejabat terpilih terjebak logika “balik modal”, menjual jabatan, memanipulasi anggaran, hingga mengutip rente perizinan.
Fakta kelembagaan menegaskan ini: 132 sengketa Pilkada 2020 dibawa ke MK, sementara KPK mencatat 167 kepala daerah terseret korupsi sejak 2004.
Semua ini bukan sekadar potret moral individu, melainkan kegagalan desain politik elektoral kita.
Solusi harus bersifat sistemik.
Pertama, pembiayaan politik transparan: batas belanja kampanye ketat, semua donasi wajib tercatat digital, dan laporan real time dapat diakses publik.
Kedua, pengawasan berbasis forensik keuangan: audit acak di TPS rawan, pemantauan iklan daring, hingga aplikasi pelaporan cepat dengan perlindungan pelapor.
Ketiga, firewall integritas pasca-terpilih: e-procurement wajib, larangan konflik kepentingan keluarga, serta kontrak integritas eksekutif daerah dengan sanksi tegas.
Keempat, sanksi menjerakan: diskualifikasi kandidat pelaku vote buying, perampasan aset, hingga pencabutan hak politik partai.
Inilah paket reformasi yang sesuai standar OECD dan International IDEA.
Dengan langkah konkret ini, jabatan publik kembali menjadi amanah, bukan investasi.
Sistem yang Menjerumuskan, Integritas yang Rapuh
Prof. Mahfud MD pernah mengingatkan: “Sistem di Indonesia bisa membuat orang baik menjadi jahat.”
Pesan ini lahir dari pengalamannya panjang mengawal hukum dan politik negeri.
Abdullah Gymnastiar menambahkan, “Yang paling berbahaya adalah orang pintar yang jahat.”
Orang pintar tanpa akhlak lebih berbahaya karena lihai memanipulasi aturan dan menyamarkan korupsi dengan wajah legal.
Dua peringatan ini membentuk simpul: korupsi adalah perkawinan gelap antara sistem yang cacat dan integritas yang runtuh.
Teladan Sejarah dan Inspirasi Global
Sejarah Islam memberi teladan emas.
Umar bin Abdul Aziz dalam dua tahun kepemimpinannya mampu menekan korupsi dengan teladan hidup sederhana, pengawasan pejabat progresif, dan distribusi zakat transparan.
Integritas personal dan sistem yang adil berpadu sehingga rakyat merasakan kemaslahatan.
Teladan serupa hadir dari negara modern.
Singapura menegakkan hukum tanpa pandang bulu; Denmark membuka akses informasi publik tanpa sekat; Selandia Baru memperkuat checks and balances dan partisipasi sipil.
Semua membuktikan bahwa korupsi bukan takdir, melainkan buah dari keberanian menginstitusikan integritas ke dalam sistem.
Baca juga: Rocky Diperiksa Selama 5 Jam di Kasus Dugaan Korupsi Brata Maju
Rekonsiliasi Iman dan Sistem
Indonesia tidak kekurangan regulasi, lembaga antikorupsi, atau seruan moral.
Yang absen adalah rekonsiliasi iman dan sistem.
Iman tanpa sistem hanya melahirkan kesalehan simbolik, sementara sistem tanpa iman hanya menghasilkan birokrasi mekanis tanpa nurani.
Rekonsiliasi ini menuntut tiga langkah:
(1) penegakan hukum konsisten tanpa pandang bulu;
(2) reformasi politik dan birokrasi, transparansi dana kampanye, digitalisasi layanan publik; dan
(3) revolusi budaya integritas, pendidikan sejak dini, penguatan ajaran agama tentang amanah, dan keteladanan nyata pemimpin.
Menyalakan Nurani, Menegakkan Negeri
Bangsa besar tidak ditakar dari lantang pidato moral, melainkan dari keberanian menjadikannya nyata dalam sistem yang adil.
Korupsi bukan sekadar kejahatan hukum, tetapi pengkhianatan terhadap amanah publik, perampasan masa depan, dan penistaan terhadap nilai peradaban.
Selama integritas tercerabut dari sistem, hukum akan kehilangan ruhnya, dan kekuasaan akan menjadi panggung bagi pesta korupsi yang tak pernah usai.
Namun sejarah selalu memberi teladan: dari Umar bin Abdul Aziz yang memadamkan lampu negara demi menjaga batas amanah, hingga Hoegeng dan Ahmad Dahlan yang menjadikan kejujuran sebagai jalan hidup.”
Gandhi menambahkan, “Bumi cukup untuk kebutuhan manusia, tapi tidak cukup untuk keserakahan.”
Dari mereka kita belajar, integritas hanya bermakna ketika menyatu dengan sistem.
Kini pilihan ada di tangan kita, menyatukan kembali moral dengan hukum, iman dengan kekuasaan, atau membiarkan negeri ini terus menjadi ironi: religius di bibir, namun lapuk di hati.
Indonesia tidak ditakdirkan menjadi arena perampok berseragam kuasa, melainkan rumah yang bermarwah, tempat keadilan berpijak dan kebenaran menemukan suara.
*) PENULIS adalah Dosen Magister Keuangan Islam Terapan; Politeknik Negeri Lhokseumawe; Pembina Yayasan Generasi Cahaya Peradaban
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
religius tapi korup
religius tapi korupsi
syahwat kekuasaan
kupi beungoh
Serambi Indonesia
opini serambi
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.