Pojok Humam Hamid
Naleung Lakoe Vs Bak Asan, Memahami Aksi Demo Agustus 2025
Dalam konteks Indonesia 2025, kita menyaksikan negara yang masih berpikir dalam paradigma pohon yang memiliki akar tunggal.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
DI dunia tumbuhan, tidak semua akar tumbuh lurus ke bawah mengikuti gravitasi.
Beberapa memilih jalan yang lebih liar.
Salah satu bentuk yang paling “subversif” secara biologis adalah rizoma--sebuah sistem akar menjalar yang tumbuh ke samping, bukan ke bawah.
Tidak memiliki satu batang utama, rizoma menyebar ke segala arah secara horizontal, menciptakan koloni-koloni baru yang hidup, saling terkoneksi, dan nyaris mustahil dimatikan.
Kita bisa mencabut satu tunas, namun tidak akan membunuh sistemnya.
Potong satu bagian, dan ia akan tumbuh kembali dari bagian lain.
Biologi mengajarkan kita bahwa rizoma bukan hanya bentuk pertumbuhan, melainkan juga bentuk perlawanan.
Dan dalam dunia sosial-politik kontemporer, konsep ini melompat dari botani ke medan perlawanan publik.
Inilah metafora yang digunakan oleh dua filosof Perancis, Gilles Deleuze dan Félix Guattari dalam karya mereka A Thousand Plateaus (1980).
Mereka mengkontraskan dua struktur, model pohon, yang hirarkis dan terpusat, dengan model rizoma, yang horizontal, plural, dan tak terpetakan secara konvensional.
Baca juga: Prof Humam Hamid Soal Aksi Demo: Aceh Kondusif, Bukan Berarti Tidak Peduli
Naleung lakoe vs bak asan
Mau contoh yang lebih konkrit?
Rizoma itu “naleung lakoe” alias ilalang (imperata cylindrica), sementara pohon vertikal dan akar tunggal itu bak asan atau pohon angsana (pterocarpus indicus).
Secara antomi biologis, pohon angsana dan ilalang itu seperti dua alam semesta berbeda yang tak bisa disatukan dalam satu pot bonsai, apalagi dalam satu strategi penanganan demo.
“Bak asan” adalah representasi sempurna dari sistem arboreal--berakar tunggang, menjulang tinggi, punya batang utama yang jelas, cabang-cabang rapi, dan daun-daun yang patuh pada struktur.
Ia vertikal, hierarkis, dan hidupnya sangat tergantung pada pusat.
Sekali batang ditebang atau akar diganggu, tamatlah sudah kisahnya.
Inilah analogi dari organisasi massa gaya lama: ada ketua umum, ada sekretaris jenderal, ada struktur komando, dan kalau perlu direpresi, cukup panggil pemimpinnya ke ruang pendingin.
Sebaliknya, “naleung lakoe” adalah makhluk rizomatik sejati.
Ia tumbuh dari sistem akar horizontal yang menjalar ke segala arah tanpa pusat tunggal.
Tidak ada batang yang bisa ditebang untuk mematikan seluruh sistem, karena hidupnya tersebar dan tidak tergantung pada satu bagian saja.
Potong satu rumpun, dua lagi tumbuh lima meter jauhnya, sambil tertawa kecil di bawah tanah.
Inilah model gerakan sosial baru.
Tidak berbasis pada struktur, tapi pada jaringan spontan.
Tidak bergantung pada pemimpin karismatik, tapi pada resonansi rasa.
Semakin kuat ketika ditekan, karena represinya malah menyuburkan percabangan baru.
Jadi, sementara “bak asan” bisa tumbang dalam satu sore oleh satu chainsaw dan satu surat perintah, “naleung lakoe” hanya bisa dihentikan kalau dicabut seluruh lapisan tanah, dan bahkan itu pun belum tentu berhasil.
Baca juga: VIDEO - Imbauan MPU Aceh: Sambut Maulid dengan Shalawat di Setiap Penjuru
Menguji teori dari demo Jakarta
Dunia modern, menurut Deleuze dan Guattari, tidak lagi bisa dijelaskan dengan logika tunggal dan vertikal.
Hari ini kita hidup di dunia rizomatik--di mana kekuasaan, informasi, dan perlawanan menyebar secara cair.
Dan Jakarta, pada akhir Agustus 2025, menjadi laboratorium hidup bagi teori itu.
Kini, sudah hampir seminggu, ribuan warga Jakarta dan sekitarnya turun ke jalan.
Mahasiswa dari universitas negeri dan swasta, buruh dari Bekasi dan Karawang, pelajar dari Depok hingga Tangerang, bahkan pengemudi ojek online dari pelosok Ibu Kota.
Mereka tumpah ruah di depan Gedung DPR/MPR RI, bersuara dalam satu semangat, menolak kemapanan.
Yang menarik bukan hanya tuntutannya--soal biaya hidup, pendidikan, sistem outsourcing, dan keadilan fiskal--melainkan cara aksi ini berlangsung.
Tidak ada satu aktor sentral.
Tidak ada pemimpin karismatik yang menyusun orasi di atas mobil komando.
Tidak ada partai politik yang secara dominan mengklaim kepemilikan gerakan.
Bahkan serikat buruh dan organisasi mahasiswa yang terlibat pun tampak saling berjalan paralel--tidak selalu bersinergi, namun tetap bergerak ke arah yang sama.
Di sinilah teori rizoma menjadi lebih dari sekadar metafora.
Aksi di Jakarta menjelma struktur horizontal yang tak tersentralisasi.
Ia bergerak dari banyak titik, menyebar ke berbagai sudut kota.
Demonstran muncul di depan DPR, tapi juga menyusup ke sekitar FX Sudirman, Mampang, Polda Metro Jaya, bahkan hingga ke Kwitang.
Setiap simpul adalah titik masuk.
Setiap individu bisa menjadi pemantik.
Tak ada garis komando yang jelas.
Tapi jaringan itu tetap hidup, mengalir, dan membesar.
Memahami dan mengelola jaringan
Sejarah, sebagaimana diingatkan oleh para ahlinya, bukan hanya tentang siapa yang memegang kekuasaan, tapi tentang bagaimana kekuasaan memahami dan mengelola jaringan.
Kekaisaran Inggris Raya pada abad ke 18 dan 19, bertahan bukan karena kekuatannya, tapi karena kemampuannya membaca struktur global.
Sebaliknya, kekaisaran yang gagal--seperti Kekaisaran Ottoman atau Uni Soviet--runtuh karena tidak bisa membaca dunia yang terus berubah.
Dalam konteks Indonesia 2025, kita menyaksikan negara yang masih berpikir dalam paradigma pohon.
Ketika demonstrasi terjadi, negara langsung mencari "dalang".
Narasi "aksi ditunggangi" kembali menggema.
Aparat bersiap di titik-titik tertentu, dengan asumsi bahwa massa akan bergerak terpusat.
Ketika kekerasan meledak, negara merespons dengan tembakan gas air mata dan pasukan antihuru-hara, seolah mereka masih menghadapi gerakan klasik ala tahun 1998.
Namun demonstrasi ini tidak bisa dihentikan hanya dengan menangkap segelintir tokoh.
Karena memang tidak ada kepala yang bisa dipenggal.
Tidak ada komando yang bisa dipatahkan.
Ini adalah rizoma
Rizoma itu adalah Bandung yang bergejolak, Makassar yang menyulut, Surabaya yang berteriak, dan Medan yang menyambung teriakan itu tanpa harus disuruh.
Ia tidak menunggu aba-aba dari Jakarta.
Ia mendengar getaran keresahan, dan menjawabnya dengan langkah sendiri.
Rizoma itu mahasiswa yang mencoret-coret pagar kampus, buruh kota yang turun ke jalan dengan baju lusuh tapi suara lantang, ojol yang mematikan mesin dan duduk bersila di zebra cross, ibu-ibu yang menggenggam banner sambil menggendong balita.
Mereka tidak perlu satu organisasi pusat.
Tidak ada koordinator nasional, tidak ada markas besar.
Tapi semua bergerak.
Karena yang menyatukan mereka bukan struktur, tapi rasa yang sama; muak, cukup, dan ingin bicara.
Seperti akar ilalang yang menjalar di bawah tanah, mereka tersebar tapi terhubung.
Tidak terlihat dari permukaan, tapi tahu kapan harus tumbuh bersama.
Ini bukan pulau-pulau terpisah.
Ini gugusan kepulauan yang saling kirim sinyal.
Dan ketika satu gempa sosial terjadi di satu titik, gelombangnya menjalar ke seluruh jaringan.
Rizoma bukan teori.
Ia kini menjelma jadi realitas politik.
Dan jika pemerintah masih berpikir pakai logika “bak asan” jelas akan kelabakan.
Akar-akarnya menjalar terlalu dalam, terlalu luas, dan terlalu terhubung untuk bisa dipadamkan dengan kekerasan konvensional.
Kekuatan demonstrasi kali ini terletak bukan pada kelengkapan organisasinya, tapi justru pada ketakterikatannya.
Ia bergerak bebas, memanfaatkan algoritma media sosial, koordinasi informal, dan jejaring emosional antarindividu.
Dalam kompleksitas dunia hari ini ini, koneksi lebih berpengaruh daripada struktur.
Emosi lebih kuat daripada instruksi.
Rakyat kini berpikir dalam jaringan, bukan piramida.
Mereka tidak menunggu perintah.
Mereka merespons momen.
Solidaritas tidak dibangun lewat garis organisasi, tetapi lewat pengalaman bersama--tentang ketidakadilan yang dirasakan, tentang harga beras yang naik, tentang kesulitan mengakses pendidikan, tentang pajak Sri Mulyani, tentang kecongkakan wakil rakyat yang tak peduli dengan himpitan hidup rakyatnya.
Inilah bentuk baru dari politik partisipatif, cair, horizontal, dan membumi.
Bagi kekuasaan yang terbiasa dengan struktur top-down, fenomena ini tentu mengganggu.
Baca juga: Perintah Prabowo ke Panglima TNI dan Kapolri: Tindak Tegas Penjarah hingga Perusak Fasilitas Umum
Tak boleh pakai cara lama
Demonstrasi yang tidak punya pemimpin berarti tidak bisa dinegosiasikan dengan cara lama.
Tidak bisa dipadamkan dengan kooptasi.
Tidak bisa dipreteli satu per satu.
Dalam sejarah, gerakan yang berhasil mengubah sistem adalah gerakan yang berhasil mengguncang logika kekuasaan itu sendiri.
Revolusi Prancis tidak hanya menggulingkan raja, tapi juga mengguncang struktur monarki absolut.
Reformasi 1998 tidak hanya mengganti presiden, tapi juga membuka gerbang demokratisasi.
Gerakan akhir Agustus 2025 belum tentu sekuat itu--tapi ia memperlihatkan bahwa rakyat kini bergerak dalam sistem logika yang tak lagi linier.
Pertanyaannya kini bukan lagi siapa pemimpin aksi.
Tapi bagaimana negara bisa hidup berdampingan dengan masyarakat yang berpikir dalam logika rizoma.
Apakah pemerintah siap mendengarkan tuntutan yang tidak datang dari satu pintu, tetapi dari seribu lorong?
Apakah aparat bisa merespons dengan kebijaksanaan, bukan kekerasan?
Atau, seperti banyak kekuasaan dalam sejarah, negara ini akan terus mencoba menindas sesuatu yang sebenarnya tak bisa mereka pahami?
Satu hal yang pasti, akar-akar itu telah tumbuh.
Ia tak butuh izin untuk menjalar, dan ia tak bisa dicabut tanpa mengguncang tanah tempat kekuasaan berpijak.
Dengan perobahan zaman yang dasyhatnya seperti itu, kita kini harus hidup dengn sebuah ironi sejarah.
Kekuasaan modern begitu terobsesi mengendalikan narasi, sementara rakyat telah berpindah dari buku cetak ke jaringan real-time.
Negara sibuk mencetak pamflet, sementara rakyat membagikan meme.
Negara masih bicara tentang stabilitas struktural, sementara dunia sudah bergerak dalam arus dinamis.
Rizoma, dalam politik, bukanlah ancaman, tapi ia adalah kenyataan baru.
Dan seperti semua kenyataan dalam sejarah, mereka yang mengabaikannya akan tertelan olehnya.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.
naleung lakoe
bak asan
demo jakarta hari ini
Demo di Aceh
pojok humam hamid
humam hamid aceh
opini serambi hari ini
berita aceh terkini
Serambi Indonesia
MSAKA21: Aceh - Roh yang Tak Pernah Mati dan Animisme Ribuan Tahun - Bagian VII |
![]() |
---|
20 Tahun Aceh Damai: Gen Z, Egepe, Pesimisme Konstruktif, dan Imajinasi Tragis |
![]() |
---|
Netanyahu dan Gaza City: Ketika Jalan Pulang dan Jalan Keluar Terkunci |
![]() |
---|
MSAKA21: Jejak Panjang yang Sunyi, Aceh Sebelum Hindu–Buddha- Bagian VI |
![]() |
---|
Kasus Pati, Sri Mulyani, dan “Kabeh Ka Pike”? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.