Jurnalisme Warga
Belajar Menghargai Pelajaran Sederhana yang Tidak Sederhana
Di tengah derasnya arus teknologi, paradoks ini sering muncul: semakin mudah kita terhubung, semakin rentan kita kehilangan rasa menghargai.
Mengapa sulit? Dari jawaban Fathur, kuncinya ada pada kata “tidak terbiasa”. Kebiasaan membentuk refleks. Jika sehari-hari kita dikelilingi budaya saling menyela, mencibir, atau meremehkan, maka kita akan menirunya. Sebaliknya, jika kita hidup dalam budaya saling mendengar dan menghormati, sikap itu akan otomatis kita lakukan. Jawaban anak-anak itu konsisten.
Dua kalimat singkat itu seakan mengingatkan bahwa perdamaian juga begitu: bukan sekadar hasil kesepakatan, melainkan kebiasaan yang dilatih terus-menerus. Dari mulut anak-anak, kita belajar bahwa perdamaian dimulai dari kebiasaan kecil yang diulang setiap hari.
Ruang masyarakat
Hasil sebuah studi populer dari Harvard University, Carnegie Foundation, dan Stanford Research Center menunjukkan bahwa ‘soft skills’ seperti empati, kerja sama, dan rasa hormat memiliki pengaruh lebih besar terhadap kesuksesan seseorang dibandingkan keterampilan teknis (hard skills).
Di kehidupan bermasyarakat, sikap ini mencegah konflik dan membangun kepercayaan. Sedemikian pentingnya, maka pembelajaran di kelas MKBS kelas VII-Bougainvillea Glabra hari itu bukan sekadar tugas menulis atau permainan tukar teman ‘sharing’, melainkan ini adalah simulasi kecil tentang bagaimana kita berinteraksi di dunia nyata yang lebih luas.
Hal yang sama juga berlaku pada perdamaian: kekuatan utamanya bukan pada dokumen perjanjian, melainkan pada kemauan setiap individu untuk menghargai satu sama lain setiap hari.
Dalam konteks menghargai orang lain, latihan itu bisa berupa mendengarkan orang berbicara tanpa memotong. Mengulang kembali poin yang disampaikan lawan bicara untuk memastikan kita paham. Menghargai perbedaan pendapat dengan bahasa yang santun. Memberi pujian atau apresiasi kecil ketika orang lain berkontribusi.
Latihan-latihan kecil seperti ini sebaiknya bisa dimulai dari kelas terkecil, lalu dibawa ke forum, juga dipraktikkan di rumah hingga menjadi kebiasaan hidup untuk kemudian dapat dipraktikkan di tengah-tengah masyarakat. Jika di kelas kita melatihnya melalui diskusi sederhana, maka di masyarakat Aceh, nilai ini menjaga agar perbedaan pandangan tidak kembali menjadi sumber konflik.
Generasi Perdamaian
Hari itu saya melangkah keluar kelas dengan hati hangat. Bukan hanya karena siswa mampu menulis pendapat yang tepat, melainkan jufa karena mereka jujur mengakui tantangan mempraktikkannya, lalu menemukan sendiri jawabannya, yakni berlatih.
Menghargai orang lain memang terlihat sederhana, tapi ia adalah fondasi yang menopang hubungan antarmanusia. Dari ruang kelas kecil ini, saya membayangkan generasi muda Aceh yang tumbuh dengan budaya menghargai. Jika anak-anak ini terus melatihnya, maka percayalah mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang membuat dunia sedikit lebih ramah.
Inilah warisan terpenting dua dekade perdamaian: tidak hanya bebas dari konflik, tetapi juga membangun kebiasaan saling menghormati di rumah, sekolah, dan komunitas.
Dua puluh tahun lalu, orang-orang dewasa duduk bersama di Helsinki untuk mengakhiri kekerasan di Aceh. Dua puluh tahun kemudian, tugas kita adalah memastikan anak-anak kita belajar mempertahankannya, mulai dari hal sederhana: mendengarkan dengan tulus, berbicara dengan santun, dan menghargai perbedaan.
Siapa tahu, dari kelas VII Bougainvillea Glabra ini, akan lahir generasi yang menjadikan sikap menghargai sebagai bahasa sehari-hari mereka. Generasi yang tidak hanya mewarisi perdamaian, tetapi juga tekun merawatnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.