Breaking News

Pojok Humam Hamid

Revisi UUPA, TA Khalid, dan “Pepesan Kosong”

UUPA adalah turunan langsung dari MoU Helsinki. Revisi terhadapnya memang diperbolehkan, tetapi tidak boleh bertentangan dengan isi perjanjian damai. 

Editor: Zaenal
FOR SERAMBINEWS.COM
HUMAM HAMID - Tokoh masyarakat sipil Aceh, Ahmad Humam Hamid berpidato pada acara Peringatan 20 Tahun Perdamaian Aceh yang digelar ERIA School of Government di Jakarta, Kamis (14/8/2025). 

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

SUDAH dua puluh tahun berlalu sejak Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) duduk bersama di Helsinki dan menyepakati damai. 

Dua puluh tahun sejak peluru diganti kata, sejak dendam diganti dengan harapan. 

Namun, apa yang terjadi di Aceh hari ini justru menunjukkan bahwa damai saja tidak cukup jika tidak ditegakkan dengan keadilan. 

Kini, ketika Dewan Perwakilan Rakyat membahas revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), kita semua diingatkan bahwa kesepakatan damai bukan dokumen mati, melainkan janji yang masih hidup--dan harus terus dihormati.

Jusuf Kalla, sosok yang menjadi arsitek utama dalam proses perdamaian Aceh, kembali menyuarakan hal itu dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR pada 11 September 2025. 

Ia menegaskan bahwa dana otonomi khusus (otsus) untuk Aceh bukanlah hadiah belas kasihan dari pusat, melainkan bagian integral dari butir-butir MoU Helsinki. 

Aceh, kata Kalla, masih tertinggal jauh dari provinsi lain di Sumatera. 

Maka perpanjangan dana otsus bukan saja relevan, tapi wajib sebagai bentuk tanggung jawab negara kepada wilayah yang pernah jadi medan konflik panjang.

Namun lebih dari itu, Jusuf Kalla mengingatkan satu hal penting.

UUPA adalah turunan langsung dari MoU Helsinki. 

Revisi terhadapnya memang diperbolehkan, tetapi tidak boleh bertentangan dengan isi perjanjian damai. 

Ia boleh ditambah, namun tidak boleh dikurangi. 

Pasal-pasal baru boleh hadir, namun tidak boleh menyimpang dari semangat dan substansi kesepakatan yang dibuat secara setara antara dua pihak.

Di balik pernyataan yang terkesan diplomatis itu, sesungguhnya terkandung peringatan keras. 

Jangan main-main dengan kepercayaan. 

Jangan ganggu fondasi perdamaian yang telah dibangun dengan susah payah. 

Ketika negara mulai mengabaikan isi perjanjian yang telah disahkannya sendiri ke dalam undang-undang, maka rakyat akan bertanya: sejauh mana kata-kata negara bisa dipercaya?

Baca juga: Revisi UUPA Harus Disertai Perbaikan Tata Kelola Dana Otsus

Belajar dari Irlandia Utara, Kurdi di Irak, dan Catalonia di Spanyol

Pengalaman internasional juga mengingatkan kita akan pentingnya konsistensi dalam menjaga komitmen perdamaian dan otonomi. 

Irlandia Utara, setelah dekade konflik yang dikenal sebagai The Troubles, berhasil membangun perdamaian melalui perjanjian yang ketat dan diikuti dengan pelaksanaan kebijakan otonomi yang serius. 

Namun, setiap upaya untuk melemahkan perjanjian tersebut berpotensi menghidupkan kembali ketegangan lama. 

Apa yang terjadi di Irak, berbeda dengan di Irlandia Utara. 

Komunitas Kurdi memperoleh otonomi yang luas sebagai hasil perjuangan panjang, namun pemerintah Bagdad tak penah henti melanggar perjanian yang telah disepakati.

Pemerintah pusat di Baghdad kerap menahan atau memangkas pembagian pendapatan minyak, yang menjadi tulang punggung ekonomi Kurdistan.

Meski otonomi diakui secara konstitusional, berbagai bentuk intervensi pusat telah merusak kepercayaan dan membuat hubungan kedua belah pihak tetap rapuh hingga hari ini.

Penghormatan negara pusat terhadap otonomi ini menjadi kunci stabilitas, meskipun tantangan terus ada. 

Di Catalonia,  Spanyol, aspirasi otonomi yang diabaikan dan ketidakjelasan dialog politik telah memicu ketidakpastian dan konflik yang berkepanjangan. 

Kasus Irak dan Catalonia  menunjukkan bagaimana pengabaian janji politik dapat memicu ketegangan sosial yang dalam.

Itu sebabnya peringatan dari anggota DPR RI asal Aceh, TA Khalid, menjadi penting. Dalam forum yang sama, ia menyebut UUPA selama ini seperti “bungkusan indah, tapi isinya tidak ada.” 

Pepesan Kosong dalam UUPA

Ia mengingatkan agar Aceh tidak lagi diberi “pepesan kosong”--janji-janji manis yang hanya hidup di atas kertas. 

Jika revisi UUPA kembali mengulang pola yang sama, di mana ketentuan-ketentuan kunci hanya menjadi simbol tanpa substansi, maka percuma kita berbicara tentang perdamaian berkelanjutan.

Salah satu luka paling nyata yang dialami kekhususan Aceh hari ini ada pada Pasal 156 UUPA, yang seharusnya menjamin kedaulatan Aceh dalam mengelola sumber daya alamnya. 

Pasal 156 itu yang dahulunya tampak indah dan sangat bermakna, kini telah menjadi apa yang disitir oleh TA Khalid

Pasal itu telah menjadi “pepesan kosong” yang telanjang.

Bayangkan saja, modal kewenanogan pengelolaan kekayaan sumber daya alam mineral non migas yang telah diberikan kepada Aceh dilenyapkan atas nama sebuah UU super yang bernama Omnibus Law.

UU itu telah menerabas dan meluluhlantakkan  semua kewenangan propinsi di Indonesia yang berurusan dengan investasi. 

Aceh dipaksa menerima konsekwensi itu dengan melupakan “kewenangan asimetris” yang telah dilimpahkan dalam UUPA.

Pasal itu bukan sekadar produk hukum--ia adalah bagian dari janji damai setelah konflik panjang. 

Namun sejak diberlakukannya UU Cipta Kerja  dan revisi UU Minerba, kewenangan itu perlahan tapi pasti ditarik ke pusat. 

Akibatnya, Pemerintah Aceh nyaris tak punya suara lagi atas tambang-tambang yang beroperasi di tanahnya sendiri.

Lihat saja kasus tambang emas di Linge, Aceh Tengah. 

Izin pertambangan dikeluarkan langsung dari Jakarta, tanpa melibatkan pemerintah daerah, apalagi masyarakat adat yang mewarisi dan menjaga tanah itu turun-temurun. 

Tak ada penghormatan terhadap nilai-nilai lokal. 

Seolah Aceh adalah wilayah tanpa identitas, tanpa sejarah, tanpa hak menentukan nasibnya sendiri.

Apakah ini hanya soal administrasi? Atau justru cerminan dari pengkhianatan diam-diam terhadap perjanjian damai yang pernah diteken dengan penuh harapan di Helsinki?

Banyak mungkin enggan menyebutnya demikian. 

Tapi jika kekhususan Aceh bisa diabaikan begitu mudah oleh regulasi nasional, maka apa bedanya Aceh dengan provinsi biasa?

Gejolak seperti ini bukan khas Indonesia. 

Seperti yang telah disitir sebelumnya di atas, di Spanyol, kisah serupa terjadi. 

Catalonia, yang telah diberi otonomi luas, justru disakiti ketika negara pusat membatalkan sebagian hak-haknya dan menolak dialog politik. 

Hak dan aspirasi mereka dibungkam, pemimpinnya ditangkap, dan parlemen lokal dibekukan. 

Bukannya tenang, Catalonia justru bergolak. 

Karena bagi rakyatnya, Spanyol tak lagi bisa dipercaya sebagai rumah bersama.

Jantung persoalan Catalonia bukan semata karena keinginan merdeka. 

Tapi karena janji otonomi yang sah secara hukum dikhianati secara sepihak. 

Aspirasi identitas ditekan, suara lokal dibungkam. 

Ketika kepercayaan runtuh, maka konflik bukan lagi soal politik--tapi soal rasa keadilan yang dilanggar.

Baca juga: 20 Tahun Damai Aceh, Mualem Kecewa Masih Banyak Butir MoU Helsinki Belum Terealisasi

Tanda-tanda kekecewaan

Aceh belum ke titik itu, dan bukan tak mungkin akan sampai ke titik itu. 

Tapi tanda-tanda kekecewaan mulai terasa. 

Kekhususan yang dulu dijanjikan perlahan digerogoti bukan dengan senjata, tapi dengan pasal-pasal dan kebijakan yang menciutkan otonomi. 

Negara memang tidak sedang mengirimkan pasukan, tapi ia mengirim sinyal, bahwa suara Aceh tak lagi penting.

Jangan-jangan, sebagian pihak di pusat memang menganggap bodoh dań bisa terus menerus dibodohi.

Sebagian pihak mungkin menganggap revisi ini adalah bagian dari dinamika hukum yang wajar. 

Tapi kita tidak bisa menilai UUPA seperti undang-undang lainnya. Ia lahir dari luka.

Ia disusun sebagai jembatan antara masa lalu yang berdarah dan masa depan yang seharusnya lebih adil. 

Maka setiap perubahan terhadap UUPA harus dilandasi bukan semata kepentingan birokrasi, melainkan penghormatan terhadap proses damai dan martabat rakyat Aceh. 

Revisi yang tidak berpihak pada substansi perjanjian justru bisa membuka kembali luka yang berusaha kita tutup rapat-rapat.

Kini kita dihadapkan pada pilihan.

Menjadikan revisi UUPA sebagai momentum untuk memperkuat kepercayaan dan keadilan, atau justru sebagai celah untuk melemahkan janji-janji yang telah disepakati. 

Negara harus menunjukkan bahwa ia masih setia pada kata-katanya sendiri. 

MoU Helsinki bukan sekadar dokumen perundingan. 

Perjanjian kesepahaman itu adalah kompas moral dan politik yang seharusnya membimbing semua langkah kita dalam membangun Aceh. 

Aceh tidak meminta istimewa. 

Aceh hanya meminta ditepati apa yang telah disepakati. 

Jangan khianati perdamaian demi kenyamanan politik jangka pendek. 

Jangan abaikan sejarah hanya karena kita merasa sudah terlalu jauh dari masa lalu. 

Karena yang dilupakan hari ini, bisa kembali menjadi bara esok 

Pada aras lain, kita juga harus jujur mengakui bahwa pelaksanaan dana otonomi khusus jilid I tidaklah sempurna. 

Ada kelemahan, ada kekurangan, bahkan beberapa kasus penyalahgunaan dana yang patut menjadi bahan evaluasi serius. 

Namun, mengaitkan kekurangan ini sebagai alasan untuk menghentikan atau meremehkan pentingnya dana otsus jilid II adalah langkah yang berbahaya dan sangat tidak adil.

Dana Otsus jilid I adalah fase pembelajaran bagi semua pihak--pemerintah pusat, pemerintah Aceh, dan masyarakat. 

Kesalahan-kesalahan yang terjadi sejatinya harus menjadi pijakan untuk memperbaiki tata kelola, memperkuat mekanisme pengawasan, dan meningkatkan transparansi dalam penggunaan dana otsus ke depan. 

Kelemahan itu bukan alasan untuk mematahkan semangat pemberian kewenangan khusus kepada Aceh, melainkan panggilan untuk memperbaiki, bukan menghapus.

Baca juga: VIDEO - Jusuf Kalla Minta Otsus Aceh Lanjut, "Jangan Biarkan Rakyat Terlantar"

Tanggung jawab moral

Lalu, mengapa dana otsus jilid II wajib dilanjutkan?

Pertama, Aceh masih menghadapi tantangan pembangunan yang jauh dari kata tuntas. 

Infrastruktur dasar yang memadai, layanan kesehatan, pendidikan, dan pengentasan kemiskinan belum sepenuhnya terpenuhi. 

Dana otsus adalah instrumen utama untuk mempercepat perbaikan kualitas hidup rakyat Aceh, sesuai amanat MoU Helsinki dan UUPA.

Kedua, otsus adalah bentuk konkret pengakuan negara atas luka sejarah Aceh sebagai daerah yang pernah menjadi medan konflik berkepanjangan. 

Dana ini bukan sekadar transfer anggaran, melainkan wujud tanggung jawab moral dan politik pusat terhadap masa depan Aceh. 

Menghentikan dana otsus berarti mengabaikan kewajiban negara untuk menebus masa lalu dan memastikan keadilan berkelanjutan.

Ketiga, otonomi khusus memberikan ruang bagi Aceh untuk merancang kebijakan yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan daerahnya sendiri. 

Ini adalah kunci untuk menciptakan pemerintahan yang responsif, adaptif, dan efektif--sesuatu yang tidak bisa dicapai dengan pendekatan sentralistis yang kaku.

Keempat, pengalaman internasional menunjukkan bahwa wilayah yang pernah mengalami konflik dan mendapat otonomi khusus membutuhkan komitmen jangka panjang dari negara pusat. 

Irlandia Utara, Kurdi di Irak, dan bahkan Catalonia, semuanya menunjukkan bahwa menghormati otonomi dan memberikan dukungan berkelanjutan adalah fondasi stabilitas dan perdamaian jangka panjang yang sejati.

Maka, advokasi kita jelas. 

Jangan biarkan kekurangan masa lalu menjadi alasan untuk menghilangkan hak Aceh atas otonomi dan dana otsus. 

Gunakanlah momen revisi UUPA dan perpanjangan otsus jilid II ini sebagai momentum memperbaiki tata kelola, memperkuat akuntabilitas, dan memastikan dana tersebut benar-benar berdampak positif bagi rakyat Aceh. 

Ini bukan soal subsidi, ini soal keadilan, masa depan, dan penghormatan atas janji damai yang telah dibuat

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved