Kupi Beungoh
AI Membunuh Nalar yang Bahkan Tak Lagi Kritis
Penggunaan Artificial Intelligence (AI) yang semakin marak ternyata tidak selalu membawa kabar baik.
Saya teringat pada masa awal saya mengajar tahun 2018. Saat itu teknologi AI belum berkembang seperti sekarang.
Mahasiswa masih mengandalkan Google untuk mencari referensi tugas. Tentu saja saya tetap mengecam budaya “copy-paste” dari Google. Namun sekarang saya menyadari, apa yang dilakukan mahasiswa dulu ternyata masih lebih baik dibanding sekarang.
Mengapa demikian? Karena meskipun mereka menyalin dari internet, setidaknya mereka tetap harus membaca, memilih bagian yang relevan, dan menyesuaikan kalimat agar sesuai dengan konteks tugas.
Mereka juga harus mengunduh artikel terlebih dahulu, menyimpannya, dan menyeleksi bagian mana yang akan mereka gunakan. Artinya, masih ada proses berpikir, meski singkat dan sederhana.
Baca juga: Wamendikti Prof Stella Sebut AI dan Teknologi Buka Peluang Kerja Baru
Sekarang, dengan kehadiran AI, semua tahapan itu hilang. Mahasiswa tidak lagi perlu membaca atau menyeleksi. Mereka hanya mengetik satu instruksi, dan semua hasil lengkap dengan bahasa yang rapi dan analisis yang tampak logis langsung disediakan oleh AI.
Proses berpikir yang seharusnya menjadi inti dari pembelajaran, kini hilang total. Proses belajar yang memang sudah menjadi sangat sederhana karena bantuan Google, kini berhasil dilenyapkan sama sekalu dengan bantuan AI.
Saya jadi teringat pada sebuah tulisan tahun 2020 berjudul “Media Sosial Membunuh Nalar Kritis Kita”. Tulisan itu menjelaskan bagaimana algoritma media sosial membuat kita tidak lagi mencari informasi secara sadar.
Informasi justru disodorkan terus-menerus kepada kita oleh platform digital.
Akibatnya, pengguna hanya menerima dan menerima, tanpa sempat bertanya kembali, “Apakah ini benar? Apakah ini relevan? Apakah ini penting?” Kini kita berada pada fase baru, dimana “AI Membunuh Nalar Kita yang Sebenarnya Sudah Tidak Lagi Kritis”.
Nalar yang tersisa pun ikut dirampas oleh teknologi. Karena sebenarnya tanpa kehadiran AI pun, daya berpikir kritis kita sebenarnya sudah melemah. Kini, keberadaan AI mempercepat kerusakan itu. Proses belajar yang dulu panjang, perlahan-lahan hilang. Semua dipangkas menjadi satu klik saja.
Saya yakin kegelisahan ini bukan hanya milik saya. Dalam berita Kompas edisi Senin, 25 Agustus, berjudul “Generasi Muda Indonesia Butuh Literasi AI Sedari Sekolah”, seorang guru juga mengungkapkan keresahannya.
Ia menceritakan bagaimana siswanya dengan mudah menjawab soal dari guru hanya dengan bantuan ChatGPT. Guru merasa kewalahan, sudah bersusah payah menyusun soal namun anak-anak menyelesaikannya hanya dalam beberapa menit tanpa perlu berpikir.
Guru tersebut khawatir bahwa ketergantungan siswa pada chatbot berbasis AI akan melemahkan daya kritis mereka.
Mereka tidak lagi memahami konsep secara utuh, karena merasa semua pertanyaan bisa dijawab oleh teknologi.
Cerita saya dan cerita guru tersebut hanyalah potret kecil dari pemanfaatan AI di dunia pendidikan saat ini. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2025 menunjukkan, dari 8.700 responden, sebanyak 27,34 persen sudah menggunakan AI. Angka ini naik dari tahun sebelumnya yang hanya 24,73 persen.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.