Kupi Beungoh

AI Membunuh Nalar yang Bahkan Tak Lagi Kritis

Penggunaan Artificial Intelligence (AI) yang semakin marak ternyata tidak selalu membawa kabar baik.

Editor: Amirullah
For Serambinews.com
Uswatun Nisa, Dosen Ilmu Komunikasi USK 

Generasi Z (kelahiran 1997–2012) dan generasi milenial (1981–1996) menjadi pengguna AI terbesar, masing-masing sebesar 43,7 persen dan 2,3 persen. Konten edukasi dan pembelajaran menjadi konten yang paling sering diakses, yaitu sebesar 43,98 persen, naik signifikan dari 21,84 persen pada tahun sebelumnya.

Namun ironisnya, meskipun adopsi AI di dunia pendidikan semakin tinggi, tingkat literasi AI justru belum memuaskan. Skornya hanya 49,96, yang menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat, khususnya generasi muda, terhadap cara kerja, risiko, dan etika AI masih rendah.

Laporan perusahaan riset Ipsos berjudul “Global Views on AI 2023” juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat kedua dari 30 negara yang percaya bahwa AI bebas dari bias atau diskriminasi, dengan persentase 76 persen. Padahal, di dunia nyata, AI tetap menyimpan potensi bias dan kesalahan.

Pertanyaannya, apakah salah menggunakan AI dalam dunia akademik? Jawabannya tentu tidak. AI bukan musuh. Yang salah adalah cara kita memanfaatkannya.

UNESCO pada tahun 2022 telah menerbitkan Recommendations on the Ethics of Artificial Intelligence yang berisi panduan etis dan praktis untuk memanfaatkan AI secara bertanggung jawab, termasuk di dunia pendidikan. 

Kementerian Pendidikan, melalui Direktorat Pendidikan dan Pembelajaran, juga telah menerbitkan Buku Panduan Penggunaan Generative AI pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi pada tahun 2024.

Buku ini menjelaskan bagaimana dosen dan mahasiswa dapat menggunakan AI secara etis dan produktif, sekaligus mengingatkan tentang risiko seperti plagiarisme, hilangnya kreativitas, dan melemahnya daya berpikir kritis.

Sayangnya, mahasiswa dan pelajar kita belum membentuk pola pikir yang tepat dalam memanfaatkan teknologi ini. Ketika saya bertanya di kelas tentang buku panduan penggunaan GenAI itu, tidak satu pun dari mereka yang pernah mendengarnya apalagi pernah membacanya.

Artinya, pedoman ini belum beredar dan diketahui secara masif. 
Hingga kini mereka belum memahami bahwa literasi AI adalah kebutuhan penting bagi mereka.

 Mereka hanya berpikir bahwa literasi media, termasuk AI hanya dikhususkan bagi mereka yang tidak mampu menggunakannnya.

Bagi mereka yang mampu menggunakannya, literasi AI tidak diperlukan. Ini merupakan pemikiran yang keliru, karena literasi AI bukan hanya membahas keterampilan menggunakan, tapi juga adab menggunakan AI.

Karena itu, benar bahwa yang kita perlukan sekarang bukanlah pelarangan AI, melainkan penguatan literasi AI yang komprehensif, lebih dari sekedar belajar menggunakannya.

Selain harus mengajarkan sejak dini bagaimana AI bekerja, apa risikonya, dan bagaimana menggunakannya secara bijak, mahasiswa juga perlu diajarkan terkait dampak jangka panjangnya pada diri mereka jika mereka ketergantungan terhadap AI. 

Mahasiswa perlu diarahkan untuk menjadikan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti akal sehat. AI seharusnya dipakai untuk memperkaya referensi, memberikan inspirasi, atau mempercepat pekerjaan teknis, bukan untuk menghapus proses berpikir.

Pendidikan sejatinya bukan hanya tentang hasil akhir, tetapi tentang proses berpikir, proses memahami, dan proses membentuk karakter. Jika semua proses itu digantikan oleh teknologi, maka pendidikan kehilangan maknanya.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved