Kupi Beungoh
Akselerasi Pemerataan Dokter Spesialis Lewat Strategi MGBKI
Di tengah situasi inilah, MGBKI hadir dengan gagasan strategis mengusulkan Blueprint Nasional Academic Health System
Keenam, sinkronisasi lintas kementerian. Kemenkes memegang peran standar mutu dan distribusi, Kemdiktisaintek mengawal kurikulum dan riset, Kemenkeu menyediakan pendanaan, Kemendagri memastikan integrasi ke dalam RPJMD daerah, sementara KemenPAN-RB menyiapkan jalur karier ASN.
Roadmap 2025–2029
Rencana lima tahun ini dibagi dalam empat fase. Pada 2025 menjadi tahap konsolidasi dan pemetaan kebutuhan dokter spesialis berbasis data epidemiologi dan demografi.
Tahun 2026 difokuskan pada pilot project di lima provinsi. Tahun 2027 diarahkan pada penyesuaian kurikulum dan optimalisasi dashboard monitoring.
Pada 2028 adalah fase ekspansi nasional ke 15 provinsi defisit. Sementara pada tahun 2029 menjadi momentum konsolidasi nasional dengan audit mutu eksternal, evaluasi komprehensif, serta pengesahan blueprint AHS permanen sebagai kebijakan negara.
Potensi dan Tantangan
Jika dilihat dari perspektif Academic Health System, dokumen MGBKI memiliki sejumlah kekuatan. Dokumen berbasis data, melibatkan multiaktor, serta menyinergikan pendidikan, layanan, dan riset.
Namun, implementasi di lapangan tidak sesederhana di atas kertas.
Baca juga: Sikapi Mogok Terbatas Dokter Spesialis, Bupati TRK Tegaskan Layanan RSUD SIM Jangan Pernah Terhenti
Pertama, kapasitas Rumah Sakit jejaring. Saat ini, baru 54,9 persen RS pendidikan yang tersertifikasi. Sisanya masih dalam proses, yang berarti belum seluruhnya siap menjadi wahana pembelajaran. Tanpa percepatan akreditasi, ekspansi prodi bisa mengorbankan mutu.
Kedua, masih terbatasnya dosen klinik senior di luar Jawa. Skema rotasi residen memang memberi harapan, namun tanpa dukungan pengajar berpengalaman, kualitas pendidikan berisiko menurun.
Ketiga, aspek bioetika dalam penempatan residen juga tidak boleh diabaikan. Rotasi dan fellowship hendaknya dipandang sebagai proses pendidikan, bukan sekadar tambahan tenaga kerja. Supervisi yang memadai, pemenuhan hak belajar, serta jaminan keselamatan pasien harus menjadi prioritas.
Keempat, potensi tumpang tindih regulasi. Saat ini terdapat risiko dualisme kewenangan antara Kemenkes, Kemdiktisaintek, dan kolegium profesi. Tanpa sinkronisasi yang jelas, kebijakan hanya akan berjalan parsial dan berpotensi menimbulkan kebingungan di lapangan.
Dimensi Bioetika dan Keadilan
Pendekatan ini tidak bisa dilepaskan dari prinsip bioetika. Justice menuntut agar akses layanan kesehatan di daerah defisit dijamin secara adil. Beneficence menekankan bahwa program rotasi dan fellowship harus memberi manfaat nyata, baik bagi pasien maupun tenaga kesehatan lokal.
Non-maleficence menjadi pengingat agar ekspansi pendidikan tidak mengorbankan mutu layanan. Sementara autonomy menegaskan pentingnya melibatkan institusi pendidikan dan para residen dalam setiap pengambilan keputusan.
Dengan demikian, keberhasilan blueprint tidak semata diukur dari angka distribusi dokter, melainkan dari sejauh mana mampu menghormati nilai-nilai kemanusiaan dalam pelayanan kesehatan.
Rekomendasi Penguatan
Agar dokumen MGBKI tidak berhenti sebagai wacana, ada beberapa langkah strategis yang perlu diambil. Pertama, Blueprint AHS Nasional perlu dilegalisasi dalam bentuk Perpres agar memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kedua, dashboard monitoring harus diperkuat dengan teknologi kecerdasan buatan sehingga mampu memproyeksikan kebutuhan dokter hingga sepuluh tahun ke depan.
Selamatkan PPP dari Kepemimpinan yang tak Sejalan dengan Nilai-Nilai Dasarnya |
![]() |
---|
Aceh-Malaysia: Jejak Panjang Perdagangan dan Optimisme Baru Menuju Pasar Regional |
![]() |
---|
Bedrotting: Antara Istirahat, Pelarian dan Ancaman Kesehatan Mental |
![]() |
---|
Muktamar X Momentum PPP Kembali Bangkit |
![]() |
---|
Buku Relasi Islam - Kristen - Katolik di Aceh Singkil: Melawan Stigma Negatif terhadap Bumi Syariah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.