Kupi Beungoh
MIGAS Mengalir ke Medan, Kemiskinan Mengendap di Aceh
Namun di balik narasi besar itu, muncul satu pertanyaan mendasar, apa sebenarnya manfaat bagi Aceh sendiri?
Apabila infrastruktur ini dibangun untuk mengalirkan gas ke Medan, maka peluang Aceh untuk membangun kawasan industri berbasis gas semakin kecil.
Bayangkan jika gas itu dimanfaatkan di Aceh, bisa tumbuh kawasan industri baru di Lhokseumawe, Langsa, atau Aceh Utara, yang menyerap puluhan ribu tenaga kerja.
Listrik bisa lebih murah, industri rumah tangga berkembang, dan daya tarik investasi meningkat.
Namun dengan mengalirkan gas ke Medan, multiplier effect itu berpindah lintas provinsi. Aceh hanya menjadi penonton, sementara Medan jadi pusat sorotan.
Kerugian berikutnya adalah munculnya ketergantungan struktural.
Aceh seharusnya membangun kemandirian energinya sendiri. Namun dengan menjadikan Sumatera Utara sebagai penerima utama, Aceh justru menempatkan dirinya pada posisi subordinat yaitu sumber daya diekspor keluar, kebutuhan lokal dipenuhi belakangan.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan pengalaman daerah kaya sumber daya lain di Indonesia, Papua dengan tambang emasnya, Riau dengan minyaknya, Kalimantan dengan batubaranya yang pada akhirnya menyaksikan pertumbuhan ekonomi justru terjadi di kota-kota besar di luar wilayah produksi.
Secara regulasi, Aceh memang memiliki keistimewaan melalui skema Dana Otonomi Khusus dan bagi hasil migas yang lebih besar daripada provinsi lain.
Namun, angka di atas kertas tidak sebanding dengan hilangnya peluang industri.
Bagi hasil hanya berupa transfer uang, sedangkan yang hilang adalah ekosistem ekonomi jangka panjang: lapangan kerja, keterampilan, inovasi, hingga peluang UMKM yang bisa hidup dari industri besar.
Apalagi tarif pengangkutan gas melalui pipa ditetapkan oleh BPH Migas di Jakarta.
Dengan harga yang dikontrol pusat, Aceh tidak punya ruang besar untuk menegosiasikan keuntungan tambahan dari sisi komersial.
Pada akhirnya, daerah hanya menerima “royalti”, sementara industri bernilai tinggi tumbuh di luar wilayahnya.
Kerugian ini tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga sosial dan politik. Bagi masyarakat Aceh, gas adalah simbol kekayaan alam yang pernah menjadi bahan konflik panjang dengan Jakarta.
Perjanjian damai Helsinki 2005 salah satunya dilandasi janji bahwa Aceh akan mendapat porsi adil dari sumber daya alamnya, terutama setelah BPMA didirikan.
CSR: Tanggung Jawab Korporasi Bukan Sekedar Derma |
![]() |
---|
Membangun Sistem Kesehatan yang Berkeadilan |
![]() |
---|
Seabad World Animal Day: Selamatkan Hewan, Selamatkan Planet! |
![]() |
---|
Prof Jarjani Usman: Pria Pedalaman Aceh Utara Pemilik Ijazah Sarjana dari Empat Benua |
![]() |
---|
Fenomena Da’i Tendang Mic dan Dakwah Positif Kunci Komunikasi Bahagia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.