Kupi Beungoh
Prof Jarjani Usman: Representasi Gen X yang Optimistis dan Anti FOMO
Anak muda dari kalangan Gen Z zaman sekarang ini memiliki sejuta alasan dalam berusaha dan mengubah nasib.
Oleh: Rifdah Nurantanzila dan Rissa Kumaladewi
Anak muda dari kalangan Gen Z zaman sekarang ini memiliki sejuta alasan dalam berusaha dan mengubah nasib. Pola instan menjadi trend bagi sebagian Gen Z.
Sebagai contoh, dalam membuat tugas sekolah atau kampus, kalangan Gen Z lebih suka melakukan copy paste (copas) dari AI atau dunia maya. Pola instan ini tentu saja tidak meninggalkan bekas bagi Gen Z itu sendiri.
Berbeda dengan perilaku mayoritas Gen Z, Jarjani Usman dari Gen X dikenal sebagai sosok yang tekun bin rajin atau gigeh istilah dalam Bahasa Aceh. Takdirnya terlahir dari keluarga miskin dan di pedalaman Aceh Utara, tak membuatnya pesimis dan pasrah.
Jarjani kecil tetap optimis. Dia selalu mencari cara agar dapat keluar dari lingkaran “ndeso” dan lingkungan miskin.
“Tak ada cara lain. Pendidikan adalah jalan terbaik dalam mengubah masa depan,” ujar Jarjani dalam bincang-bincang dengan saya beberapa waktu lalu di Darussalam, Banda Aceh.
Berbeda dengan Gen Z yang cenderung bersikap FOMO (Fear of Missing Out) yang kerap dihantui perasaan takut ketika melihat kesusksesan orang lain, Jarjani justru memandang kesuksesan orang lain sebagai pemberi spirit bahwa dia pun dapat meraih kesuksesan walau berasal dari kampung dan keluarga miskin.
Baca juga: Viral Diduga Meteor Melintas di Langit Cirebon, Ternyata Segini Harga Batu Meteor Jika Dijual
Mengubah Nasib dengan Pendidikan
Jarjani Usman dilahirkan di pelosok Aceh Utara pada tahun 1972. Dari remaja Jarjani berkeinginan keluarga dari zona merah kemiskinan dan kebodohan.
Dia pun belajar dan terus belajar sehingga mendapatkan kesempatan kuliah beberapa kali dengan status penerima beasiswa, mulai dari UI Jakarta, Eropa, Amerika Serikat hingga Australia.
Tatkala mantan Presiden RI Joko Widodo dipersoalkan keaslian ijazahnya, gelar pada nama Jarjani justru berjejer bagai rel kereta api: SAg, SS, MSc, MS, PhD. Wow! Sungguh SDM membanggakan yang dimiliki UIN Ar-Raniry.
“Sepertinya Jarjani Usman adalah satu-satunya dosen di lingkungan UIN Ar-Raniry yang memiliki ijazah dari empat benua. Tapi beliau tak sombong, kalian temui saja,” ujar dosen kami dalam MK Writing, Editing dan Reporting pada Prodi KPI FDK UIN Ar-Raniry, Hasan Basri M Nur PhD.
Baca juga: Skandal Perselingkuhan Istri TNI dengan Prajurit Muda, Bermula dari Kegiatan Gabungan
Tularkan Optimisme ke Mahasiswa
Saat ini, di layar ponselnya, Profesor Jarjani Usman memperlihatkan sebuah foto kenangan dirinya duduk di tepi trotoar, dengan latar laut biru yang tenang membentang di belakang. “Itu di depan pantai, waktu kami masih di Australia,” ujarnya sambil tersenyum tipis.
Foto sederhana itu menyimpan makna dalam. Beberapa bulan setelah momen itu diabadikan, ia memutuskan pulang ke Banda Aceh, menutup satu bab perjalanan panjang di negeri orang.
Kepulangan itu bukan sekadar rindu tanah kelahiran, tapi sebuah panggilan jiwa bahwa ilmu dan pengalaman yang diperoleh di luar negeri harus kembali tumbuh di tanah asalnya.
Sejak menjejakkan kaki di Banda Aceh pada 2016, Profesor Jarjani mulai menanam benih pengabdian: mengajar, menulis, dan menyalakan semangat optimisme kepada generasi muda agar mereka berani bermimpi seperti dirinya dulu.
Ia tahu benar, perjalanan hidup tidak pernah mudah. Apalagi bagi anak dari keluarga miskin di pelosok Aceh, yang dulu bahkan untuk membeli buku saja harus berpikir panjang. Namun dari kekurangan itulah, ia belajar tentang arti perjuangan.
Baca juga: Syarat & Cara Daftar Magang Kemnaker di maganghub.kemnaker.go.id, Gaji UMP & Bebas Pilih Perusahaan
Pernah Kena Penyakit Malas
Perjalanannya menuju titik ini tidaklah mulus. Ia tersenyum saat mengenang masa kuliahnya dulu.
“Sebelum semester lima, saya bukan tipe orang yang rajin. Datang ke kampus saja kadang malas,” ujarnya sambil tertawa kecil, matanya memancarkan nostalgia.
Namun, sebuah kesadaran datang perlahan, seperti cahaya yang menembus jendela kamar di pagi hari. Di semester lima, ia mulai bertanya pada dirinya sendiri: “Kalau terus begini, mau jadi apa nanti?”
Pertanyaan sederhana itu menjadi titik balik. Ia mulai menolak ajakan hura-hura. Dia memilih duduk berjam-jam di depan buku.
Awalnya teman-temannya menganggapnya berubah, bahkan aneh. Tapi di balik keheningan baru itu, tumbuh sebuah tekad: ingin menembus batas, ingin membuktikan diri.
Selama dua tahun berikutnya, hidupnya diisi oleh disiplin, riset, dan doa. Ia menargetkan beasiswa luar negeri impian yang semula terasa jauh, tapi kemudian perlahan mendekat.
Dari kebiasaan sederhana untuk belajar sungguh-sungguh, ia menemukan arah hidup yang baru: hidup yang digerakkan oleh kesadaran, bukan sekadar keinginan.
Meniti Ilmu di Negeri Orang
Beasiswa ke Kanada menjadi gerbang pertama menuju dunia yang lebih luas. Jarjani belajar bukan hanya tentang ilmu akademik, tapi juga tentang nilai hidup: disiplin, ketekunan, dan bagaimana keberhasilan sejati tak selalu diukur dengan gelar atau gaji tinggi.
“Saya belajar menghargai proses. Di luar negeri, kita dituntut bukan cuma pintar, tapi juga harus bisa bertahan,” ujarnya dengan nada yang tenang namun penuh makna.
Kanada kemudian membuka pintu ke berbagai kesempatan internasional lain. Ia belajar, mengajar, dan bertemu banyak orang dari beragam latar belakang. Tapi di setiap perantauan, ada satu hal yang selalu menemaninya: kerinduan untuk kembali.
“Saya selalu merasa, Aceh itu rumah. Ilmu yang saya bawa ini, kalau tidak untuk mereka, untuk siapa lagi?” katanya mantap.
Di balik keberhasilan dan segala kesempatan yang pernah ia genggam, terselip kesadaran sederhana: tak ada yang lebih berharga daripada bisa memberi arti di tanah sendiri.
Pulang untuk Mengabdi
Ketika akhirnya pulang ke Banda Aceh pada 2016, Profesor Jarjani tidak membawa kebanggaan, melainkan tanggung jawab.
Ia datang bukan untuk beristirahat, tapi untuk berbuat lebih. Ia mengajar, menulis, membimbing mahasiswa, dan membangun harapan baru di dunia pendidikan Aceh.
Bagi sebagian orang, keputusan itu mungkin tampak seperti langkah mundur meninggalkan kehidupan mapan di luar negeri demi kembali ke daerah dengan segala keterbatasan. Namun bagi Profesor Jarjani, justru di situlah letak kebahagiaan sejati.
“Ilmu itu tidak berhenti di ijazah. Ilmu harus dipakai untuk menolong orang lain,” ucapnya. Kalimat itu seolah menjadi napas dalam setiap gerak hidupnya.
Kini, ia dikenal bukan hanya sebagai akademisi, tapi juga simbol komitmen: seseorang yang berani pulang ketika banyak orang justru berlomba pergi.
Di sela rutinitas yang padat, ia masih menyempatkan diri mengenang masa mudanya masa ketika satu keputusan kecil mengubah segalanya: berhenti bermain, dan mulai belajar dengan sungguh-sungguh.
Pesan untuk Generasi Muda
Di balik sikapnya yang lembut dan tutur katanya yang terukur, Profesor Jarjani menyimpan pandangan tegas tentang perjuangan. Ia percaya, mimpi besar tidak akan tumbuh tanpa komitmen yang nyata.
“Saya dulu juga sendirian. Tidak ada yang menyuruh saya belajar. Tapi saya tahu, kalau saya tidak bergerak, saya akan tertinggal,” ujarnya.
Baginya, belajar di luar negeri bukanlah tentang tempat, melainkan tentang kesungguhan hati.
“Kalau kita sungguh-sungguh, di Aceh pun kita bisa berkembang. Tapi itu semua butuh komitmen,” tambahnya.
Satu nasihatnya yang paling membekas adalah tentang arti komitmen itu sendiri. “Kalau kamu gagal sekali, terus kamu berhenti karena kecewa, itu bukan komitmen. Komitmen itu ketika kamu jatuh, tapi kamu tetap bangun lagi,” katanya sambil tersenyum.
Kata-katanya sederhana, tapi sarat makna. Dari perjalanan panjangnya, ia pulang bukan untuk beristirahat, melainkan menyalakan kembali semangat di tanah kelahiran.
Kini, lewat ilmu dan keteladanannya, ia menanamkan keyakinan bahwa siapa pun dari latar mana pun bisa berhasil, asal mau berkomitmen dan tak menyerah. Karena bagi Profesor Jarjani Usman, pulang bukan akhir, melainkan awal untuk menyalakan cahaya bagi generasi setelahnya.
Saya yang merupakan bagian dari Gen Z merasa beruntung dapat berdiskusi dengan Jarjani Usman. Pertemuan dengan Sang Profesor level internasional ini tentu sangat bermakna bagi saya dalam menata masa depan.
Terima kasih Pak Profesor yang ramah! Anda telah menumbuhkan semangat optimisme dalam jiwa kami. Semoga!
Banda Aceh, 7 Oktober 2025
Penulis, Rifdah Nurantazila Adalah mahasiswa Prodi KPI FDK UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.