Pojok Humam Hamid

Tambang Rakyat di Aceh: Potensi, Prospek, dan Tantangan

Mayoritas lokasi tambang rakyat tidak memiliki standar keamanan minimal, tanpa alat pelindung diri, ventilasi yang memadai, maupun pelatihan teknis.

Editor: Zaenal
FOR SERAMBINEWS.COM
Tokoh masyarakat sipil Aceh, Ahmad Humam Hamid berpidato pada acara Peringatan 20 Tahun Perdamaian Aceh yang digelar ERIA School of Government di Jakarta, Kamis (14/8/2025). 

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

ACEH adalah wilayah yang kaya akan sumber daya alam, termasuk mineral, logam, dan terutama energi fosil yang selama ini menjadi incaran banyak pihak. 

Di tengah kekayaan ini, tumbuhlah tambang rakyat sebagai bentuk inisiatif masyarakat untuk mencari penghidupan yang lebih baik. 

Di daerah pedalaman dan pegunungan, tambang rakyat membuka peluang ekonomi nyata dengan memberikan akses penghasilan jauh lebih besar dibandingkan bertani atau berdagang kecil. 

Bagi banyak keluarga miskin yang tak memiliki akses modal besar atau pekerjaan formal, tambang rakyat menjadi penyambung hidup yang penting.

Namun, realitas yang dihadapi tidak sesederhana itu. 

Sebagian besar aktivitas tambang rakyat berjalan di luar kerangka hukum dan tanpa izin resmi--dikenal sebagai Penambangan Tanpa Izin (PETI). 

Kondisi ini bukan hanya menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara, tetapi juga berdampak serius pada lingkungan dan keselamatan manusia. 

Kerusakan hutan, pencemaran sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat, tanah yang kehilangan kesuburan, serta risiko longsor yang mengancam permukiman sudah menjadi kenyataan di berbagai kabupaten seperti Aceh Selatan, dan Pidie. 

Lebih menyedihkan lagi, banyak kegiatan tambang rakyat justru dikendalikan oleh para pemodal besar dari luar daerah yang hanya menggunakan warga lokal sebagai tenaga kerja murah. 

Ini bukan pemberdayaan ekonomi, melainkan eksploitasi yang justru memperparah kemiskinan.

Selain kerusakan lingkungan, masalah keselamatan kerja juga sangat memprihatinkan. 

Mayoritas lokasi tambang rakyat tidak memiliki standar keamanan minimal, tanpa alat pelindung diri, ventilasi yang memadai, maupun pelatihan teknis.

Akibatnya, kecelakaan fatal yang merenggut nyawa pekerja tambang kerap terjadi, namun nyaris tanpa perhatian serius dari otoritas terkait. 

Nyawa manusia yang hilang di lubang tambang sempit menjadi harga yang terlalu mahal hanya demi keuntungan sesaat.

Baca juga: Usul Wilayah Tambang Rakyat ke Gubernur, Bupati Pidie Diapresiasi 

Perlu Solusi Jangka Panjang

Melihat kondisi ini, Pemerintah Provinsi Aceh mengambil langkah dengan mengeluarkan Surat Perintah Gubernur yang melarang penggunaan alat berat seperti ekskavator di area tambang rakyat ilegal. 

Kebijakan ini menegaskan komitmen pemerintah untuk menertibkan aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan dan membahayakan masyarakat. 

Namun, penertiban semata tidaklah cukup. 

Jika tidak diikuti solusi jangka panjang yang memberikan alternatif dan dukungan kepada masyarakat penambang, risiko sosial dan ekonomi justru akan meningkat, dan praktik ilegal akan terus berulang.

Aceh membutuhkan peta jalan pengelolaan tambang rakyat yang terstruktur, legal, aman, dan berkelanjutan.

Legalisasi Melalui WPR

Pertama, perlu adanya upaya legalisasi melalui pembentukan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang diatur resmi oleh pemerintah. 

Dengan skema ini, masyarakat dapat beroperasi di bawah pengawasan dan pembinaan negara sehingga aktivitas pertambangan bisa berlangsung tertib, produktif, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Perkuat Koperasi Tambang Rakyat

Selain itu, pemerintah daerah harus aktif membangun dan memperkuat koperasi tambang rakyat sebagai motor utama pengelolaan sumber daya. 

Koperasi ini harus mendapatkan pendampingan teknis, pelatihan keselamatan kerja, edukasi pengelolaan lingkungan, serta akses modal terjangkau. 

Model koperasi yang sukses di berbagai daerah lain di Indonesia bisa menjadi referensi pemberdayaan masyarakat tambang yang profesional dan berkeadilan.

Pendampingan berkelanjutan dari pemerintah daerah dan lembaga terkait menjadi kunci agar koperasi tidak hanya legal di atas kertas, tetapi juga mampu mengelola tambang dengan baik dan menjaga kelestarian alam.

Pengawasan Partisipatif

Pengawasan partisipatif berbasis masyarakat juga harus menjadi tulang punggung tata kelola tambang rakyat. 

Warga sebagai pemilik sah ruang hidupnya wajib dilibatkan aktif memantau dan melaporkan kegiatan tambang, sehingga tidak ada ruang bagi praktik ilegal dan merusak. 

One Stop Service

Transparansi dalam perizinan dan pelaksanaan kegiatan tambang perlu didukung sistem “one stop service” yang mudah diakses masyarakat desa dan gampong, tanpa birokrasi berbelit yang justru mendorong praktik ilegal.

Penegakan Hukum

Tak kalah penting, pemerintah harus berani menegakkan hukum dengan tegas terhadap pelaku tambang ilegal dan para pelindungnya. 

Tanpa sanksi yang jelas dan konsisten, kebijakan apapun akan rapuh dan tak efektif. 

Hukum harus mampu menyentuh pihak yang paling kuat dan berkuasa, bukan hanya menghukum masyarakat kecil yang menjadi korban sistem.

 

Sejarah Kelam Jangan Lagi Terulang

Aceh pernah memiliki pengalaman pahit dengan pengelolaan sumber daya alam, seperti kasus kilang LNG Arun yang meski menjadi simbol kemajuan ekonomi, juga meninggalkan luka sosial dalam. 

Jangan sampai sejarah kelam itu terulang dalam skala lebih kecil namun meluas lewat tambang rakyat yang tak terkelola baik. 

Kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang timbul akan menambah beban masa depan Aceh dan menghambat pembangunan berkelanjutan.

Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah, masyarakat, dan semua pemangku kepentingan harus duduk bersama merumuskan kebijakan yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi sistematis dan komprehensif. 

Kebijakan yang hanya mengandalkan penertiban tanpa solusi pemberdayaan akan sia-sia. 

Sebaliknya, pengelolaan tambang rakyat yang legal, berkeadilan, dan ramah lingkungan bisa menjadi model ekonomi inklusif dan berkelanjutan yang mampu mengangkat derajat hidup masyarakat tanpa merusak alam sumber penghidupan mereka.

Baca juga: Mualem Akan Permudah IUP untuk Koperasi dan Masyarakat: Saya Akan Jadikan Tambang Rakyat

Belajar dari Kalimantan, Papua, Peru, dan Ghana

Aceh kini berada di persimpangan penting: memilih membiarkan tambang rakyat beroperasi liar dengan risiko dan kerusakannya, atau mengambil langkah berani dan terukur untuk mengatur, membina, dan mengawasi demi masa depan yang lebih baik. 

Pilihan ini bukan sekadar soal ekonomi jangka pendek, tapi tentang keberlangsungan hidup, kehormatan, dan warisan bagi generasi mendatang.

Dalam konteks pengelolaan tambang rakyat, Aceh bisa belajar banyak dari pengalaman daerah lain, baik di Indonesia maupun negara-negara lain, yang memiliki dinamika dan tantangan serupa.

Di Indonesia, misalnya di Kapias Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, pengelolaan tambang emas rakyat yang terorganisir melalui koperasi dan legalisasi wilayah tambang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sekaligus mengurangi dampak kerusakan lingkungan. 

Pendekatan legalisasi wilayah tambang rakyat dan pembinaan teknis dari pemerintah daerah menjadi kunci keberhasilan model ini. 

Namun, di sisi lain, terdapat juga daerah seperti Nabire, Monokwari, dan Sentani Timur di Propinsi Papua yang mengalami kerusakan lingkungan parah dan konflik sosial akibat pertambangan rakyat yang tidak terkontrol, di mana penegakan hukum dan pembinaan kelembagaan sangat lemah.

Pada tataran global, pengalaman di negara seperti Peru dan Ghana menunjukkan gambaran yang kompleks.

Pengalaman pertambangan rakyat di Peru menunjukkan model yang dapat dijadikan contoh bagi daerah lain. 

Pemerintah Peru secara aktif mendukung legalisasi pertambangan rakyat melalui regulasi ketat dan pelibatan komunitas lokal di wilayah seperti Puno, Madre de Dios, dan Cajamarca. 

Melalui kerja sama dengan organisasi seperti Artisanal Gold Council, pemerintah memberikan pelatihan teknis, alat pelindung, dan mengatur zona pertambangan sehingga kegiatan pertambangan dapat dilakukan secara profesional dan ramah lingkungan. 

Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat penambang, tetapi juga meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.

Sebaliknya, pengalaman di Ghana menghadirkan tantangan besar akibat pertambangan rakyat yang berjalan tanpa pengawasan memadai. 

Aktivitas galamsey-pertambangan rakyat, di wilayah seperti Western Region dan Ashanti Region menyebabkan kerusakan lingkungan parah, pencemaran merkuri, serta konflik sosial antara penambang ilegal dan masyarakat setempat. 

Meskipun pemerintah Ghana telah mengeluarkan operasi penertiban dan membentuk task force khusus, penegakan hukum yang lemah, korupsi, dan keterlibatan pejabat membuat upaya tersebut kurang efektif. 

Kondisi ini menimbulkan kerugian sosial dan lingkungan yang luas, sekaligus mengancam kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada tambang ilegal tersebut.

Pengalaman baik Kalimantan Barat dan Peru menunjukkan pentingnya peran pemerintah dalam menyediakan regulasi yang jelas, dukungan teknis, dan mekanisme pengawasan partisipatif agar tambang rakyat dapat menjadi sumber penghidupan yang berkelanjutan. 

Sementara pengalaman buruk seperti Kasus Papua dan Ghana mengingatkan bahwa tanpa pengelolaan yang tepat, tambang rakyat dapat menimbulkan kerugian sosial dan lingkungan yang besar.

Aceh dapat menjadikan contoh-contoh tersebut sebagai cermin untuk merancang kebijakan yang tidak hanya menertibkan praktik ilegal, tetapi juga memberdayakan masyarakat secara nyata dengan cara yang profesional dan ramah lingkungan. 

Dengan belajar dari keberhasilan dan kegagalan daerah lain, Aceh memiliki peluang untuk membangun model tambang rakyat yang menjadi motor penggerak ekonomi inklusif sekaligus pelindung alam dan budaya lokal.

Pertanyaan kunci yang kini dihadapi oleh pemerintah Aceh adalah mampukah Aceh merancang sistem pertambangan rakyat yang legal, terorganisir, dan berpihak pada masyarakat kecil? 

Siapkah pemerintah membangun kelembagaan yang kuat, menyediakan pendampingan teknis, serta menegakkan hukum secara adil dan konsisten?

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved