Kupi Beungoh

Tambang Aceh untuk siapa?

Ada juga yang menuding bahwa praktek tambang emas ilegal hanya memperkayakan pihak-pihak tertentu, termasuk di dalamnya ada aparat

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Azhari, wartawan peliput konflik, damai, tsunami, dan rehab rekon Aceh, serta mantan Kepala Biro Aceh LKBN Antara. 

Oleh: Azhari*)

SELAMA sebulan ini, soal tambang di Aceh, legal maupun ilegal, sering  dibahas di warung kopi . Rakyat jelata hingga kalangan intelektual dipastikan ikut membicarakan masalah itu.

Isu penambangan mineral baik ilegal maupun legal kini memang sedang menjadi berita hot yang di ulas media mainstream,  media online, koran, televisi dan radio.

Pro dan kontra menjadi warna tersendiri dalam setiap perdebatan di meja-meja diskusi.

Karena ini adalah negara demokrasi, bolehlah berselisih pandangan antara satu pihak dengan lainnya.

Namun jangan menganggap diri sendiri yang paling benar, atau menohok pihak lain selaluan salah.

Tentunya, forum-forum diskusi publik baik resmi maupun tidak, dipastikan membahas soal pertambangan dengan berbagai sudut pandang.

Ada politisi, praktisi, aktivis, birokrat dan tokoh masyarakat, juga kalangan mahasiswa.

Aceh memang daerah kaya.

Lautnya bukan hanya berisi biota laut, ikan atau terumbu karang.

Banyak gas dan minyak di laut sekitar Aceh.

Di daratan apalagi, hutan lebat kawasan Leuser menjadi paru-paru dunia dan nilainya juga cukup dahsyat, perkebunan kelapa sawit yang  luasnya jutaan hektare dan  setiap hari memproduksi minyak dan produk turunannya.

Ada juga kelapa, pinang, kakao dan produk perkebunan lainnya. Di dalam tanah apalagi.

Lihatlah yang sudah ditambang seperti minyak, gas, batu bara, emas, bijih besi, semen dan lain-lain yang belum tergali optimal.

Namun, sumber daya alam (SDA) yang tersohor dan menarik dibahas dalam satu bulan ini adalah emas dan batu bara. 

Sebab, kedua produk itu menjadi viral setelah Pansus DPRA mengungkap praktek ilegal dalam eksploitasinya.

Diskusi tentang praktek legal dan ilegal dalam mengekploitasi emas menjadi sorotan terpanas dalam diskusi publik yang digelar Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) baru-baru ini di salah satu kafe di Banda Aceh.

Bahkan ada pendapat, jangankan penambangan ilegal, namun tambang emas legal juga kita tolak, dengan argumentasi telah menyebabkan bentangan alam telah rusak parah dengan asumsi telah mencapai "lampu merah".

Ada juga yang menuding bahwa praktek tambang emas ilegal hanya memperkayakan pihak-pihak tertentu, termasuk di dalamnya ada aparat penegak hukum.

Aroma "ada setoran" ke aparat penegak hukum yang tidak tanggung-tanggung yakni mencapai Rp30 jutaan per alat berat/bulan.

Namun, sekali lagi belum ada yang bisa membuktikan itu, termasuk Pansus DPRA yang membuka duluan soal tuduhan tersebut.

Bahkan ada yang mungungkapkan dalam forum diskusi publik FJL.

"Di Aceh Timur, ada tambang minyak mentah oleh masyarakat yang lokasinya hanya berjarak beberapa meter dari institusi resmi negara".

Di luar forum diskusi.

Aneh bin ajib, ada kelompok masyarakat yang mengatasnamakan penambang emas di Pidie dan Nagan Raya, berunjuk rasa dan meminta dengan tegas pemerintah tidak boleh menghentikan atau menutup tambang mereka.

Protes warga penambang itu, bermuara setelah Gubernur Aceh Muzakir Manaf meminta seribuan alat berat (eskavator), sesuai laporan Pansus DPRA agar keluar dari hutan-hutan Aceh.

Seperti berburu dengan waktu, Pemerintah Aceh bersama Forkopimda menggelar rapat bersama membahas soal tambang ilegal. 

Berselang hari, kemudian lahirlah  instruksi gubernur yang dengan tegas melarang penambangan ilegal.

Kemudian, munculnya statemen gubernur yang intinya Pemerintah Aceh akan melegalkan tambang ilegal.

Masih hitungan hari, Polda Aceh tak mau kalah, meluncurkan program "green policing" atau pemolisian hijau. 

Kemudian berlanjut lagi, yakni Pemerintah Aceh mengeluarkan statemen yang meminta kabupaten/kota untuk mengusulkan Wilayah Penambangan Rakyat (WPR). 

Baca juga: Tambang Rakyat di Aceh: Potensi, Prospek, dan Tantangan

Buya Krueng dan Ayam Mati di Lumbung Padi

Dari rangkaian isu di atas, lantas ada pertanyaan kira-kira begini.

"Potensi tambang di Aceh itu untuk siapa?

Aceh punya kekhususan yakni Syariat Islam.

Pertanyaan adalah, kenapa soal tambang itu tidak bersandar pada kekhususan tersebut, misal seharusnya ditanya juga kepada alim ulama tentang sumber daya alam itu untuk siapa, dan bagaimana mengelolanya sesuai pandangan agama Islam.

Sehingga tujuan untuk menyejahterakan rakyat dari kekayaan alam yang dianugerahkan Allah SWT kepada Aceh itu benar-benar terwujud. 

Atau ada lah statemen dari Wali Nanggroe Malik Mahmud. Bagaimana pendapatnya soal tambang dan juga seperti pengelolaannya jika ditinjau dari sudut pandang kekhususan Aceh dengan UUPA atau adat-istiadat.

Kalau juga SDA, misal penambangan mineral atau sektor perkebunan tidak bisa di eksploitasi, adakah investasi sektor lain yang bisa ditawarkan untuk investor?

Sebab, investasi penting di suatu daerah atau negara untuk memberi kesempatan kerja bagi rakyat. Setiap tahunnya Aceh pasti "memproduksi" ribuan, bahkan ratusan ribu sarjana, mau kemana mereka?

Kasihan kan, jika kekayaan alam yang melimpah ini tidak dikelola dengan baik, bijaksana dan profesional serta berkesinambungan, yang akhirnya ibarat "ayam mati di lumbung padi".

Pemerintah sebagai pihak pembuat regulasi juga harus profesional dan mempertimbangkan kemaslahatan dan kepentingan daerah serta masyarakat jika mau memberikan izin kepada calon investor.

Tidak ada "kamar khusus atau bisik-bisik" untuk perizinan.

Kalau memang tidak bisa karena merusak alam, ya jangan berikan izin. Atau tidak bermanfaat bagi pemasokan (PAD) daerah, ya juga jangan. Jika kehadiran tambang legal, tapi warga sekeliling hanya jadi penonton, juga jangan. 

Seperti kata pepatah Aceh "lage buya kreung te dong dong, buya tamong mereuzeki".

Ini juga jangan, karena akan memunculkan konflik sosial di Aceh, gara-gara investasi.

Semoga, kekayaan Aceh dari pengelolaan SDA yang profesional dan berkeadilan serta berkesinambungan itu diharapkan berdampak pada kesejahteraan rakyat, sehingga Aceh bisa keluar dari predikat provinsi termiskin di Indonesia.

*) PENULIS adalah Waka Bidang Advokasi/pembelaan wartawan PWI Aceh.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved