KUPI BEUNGOH

Menegakkan Marwah Kekhususan Aceh dalam Bayang-bayang PP Nomor 39 Tahun 2025

Cermin paling jelas dari ketimpangan antara idealisme otonomi dan realitas administrasi dapat dilihat pada sektor pertambangan rakyat.

Editor: Yocerizal
IST/SERAMBINEWS.COM
Delky Nofrizal Qutni, Ketua DPC Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Kabupaten Aceh Selatan. dan Wakil Ketua DPW APRI Aceh. 

Jika ditarik ke konteks Aceh, kebijakan pertambangan rakyat bisa terjebak dalam simulakra otonomi, di mana tampak seolah daerah memiliki kendali atas sumber daya alam, padahal faktanya semua masih bergantung pada regulasi pusat.

Ketika pemerintah Aceh mengeluarkan surat atau instruksi tentang WPR tanpa basis data geologi, tanpa rekomendasi teknis yang memenuhi standar Kepmen ESDM, dan tanpa Qanun yang melandasinya, maka yang muncul bukan kedaulatan, melainkan fragmentasi kewenangan.

Di atas kertas, PP Nomor 39 Tahun 2025 memang mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. 

Namun dalam praktik, pembagian itu sering menimbulkan kebingungan. Pemerintah provinsi diharuskan mengajukan WPR kepada Menteri ESDM, sementara kabupaten harus menyediakan data teknis. 

Ironinya, pemerintah kabupaten yang paling tahu kondisi lapangan justru sering tidak memiliki kapasitas teknis dan anggaran untuk melakukan survei geologi.

Situasi ini diperparah oleh ketiadaan mekanisme partisipatif yang melibatkan masyarakat penambang dan asosiasi seperti APRI dalam proses perencanaan WPR. 

Pendekatan teknokratis tanpa akar sosial hanya akan melahirkan kebijakan yang jauh dari realitas rakyat.

Ketika WPR ditetapkan tanpa mempertimbangkan lokasi aktivitas tambang rakyat yang sudah ada, maka legalisasi justru menjadi alat eksklusi yang menyingkirkan penambang dari tanah yang selama ini mereka garap.

Dalam banyak kasus, ketidakjelasan status wilayah membuat masyarakat penambang terjebak dalam posisi rentan. 

Mereka beroperasi di wilayah yang dianggap ilegal, namun tidak ada wilayah legal yang disediakan untuk mereka. 

Aparat penegak hukum, atas nama penertiban, sering melakukan razia, sementara perusahaan besar dengan izin resmi tetap beroperasi dengan alat berat di wilayah yang sama. 

Baca juga: Gubernur Aceh Mualem Beri Sanksi Penambang Emas Ilegal Bila Tidak Patuh Ultimatum

Baca juga: Razia Kamar Tahanan Rutan Banda Aceh, Petugas Sita Hp hingga Obeng

Ketimpangan ini melahirkan paradoks hukum, di mana rakyat kecil ditindak atas dasar legalitas formal, sementara aktor besar berlindung di balik izin yang lahir dari sistem yang tidak partisipatif.

Karena itu, kehadiran Qanun Pertambangan Rakyat di Aceh menjadi kebutuhan mendesak, bukan formalitas. 

Qanun itu harus menjembatani semangat kekhususan dengan standar nasional, mengatur tata cara penetapan WPR, WIUP BUMD, serta mekanisme pengawasan sosial dan lingkungan yang berpihak pada rakyat dan berorientasi pada keberlanjutan.

Aceh dapat belajar dari daerah lain seperti Kalimantan Barat dan Sulawesi Utara yang aktif melakukan pemetaan partisipatif dan menggandeng lembaga riset untuk memastikan legalisasi tidak merusak lingkungan.

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved