Pojok Humam Hamid

Meritokrasi dan Middle Income Trap: Anies, Weber, dan Kaisar Wu

Integritas menurut Anies adalah kesetiaan pada kebenaran, konsistensi dengan nilai moral yang menjunjung tinggi kepentingan umum

Editor: Muhammad Hadi
For Serambinews
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 


Oleh Ahmad Humam Hamid*) 

Pidato Anies Baswedan dalam Dialog Kebangsaan Gerakan Rakyat Jawa Tengah pada 8 Oktober 2025 mengangkat tema yang sangat krusial dalam konteks pembangunan bangsa Indonesia saat ini.

Ia dengan sangat persuasif kembali menyuarakan pentingnya mengembalikan nilai-nilai dasar integritas, transparansi, dan meritokrasi dalam tata kelola pemerintahan. 

Dalam suasana politik yang kerap kali dikuasai oleh kepentingan jangka pendek dan manuver elektoral, gagasan Anies hadir sebagai pengingat fundamental .

Ia menggarisbawahi bahwa persoalan utama bangsa bukan hanya soal kebijakan teknis, melainkan soal karakter dan etika penyelenggaraan negara.

Anies menegaskan bahwa integritas bukan sekadar kejujuran yang biasa kita pahami secara sederhana. 

Ia memberi gambaran bahwa seseorang bisa saja jujur dalam tindakannya, bahkan seorang preman sekalipun bisa mengatakan apa adanya tentang kejahatannya, namun hal itu bukan berarti orang tersebut memiliki integritas. 

Integritas menurut Anies adalah kesetiaan pada kebenaran, konsistensi dengan nilai moral yang menjunjung tinggi kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. 

Pemimpin yang kehilangan integritas akan memunculkan hilangnya kepercayaan publik, dan kepercayaan yang rusak tersebut tidak bisa diperbaiki dengan pencitraan semu atau kampanye yang kosong. 

Kepercayaan hanya bisa dibangun lewat konsistensi nilai dan tindakan nyata.

Selain integritas, Anies juga menekankan perlunya transparansi sebagai syarat mutlak dalam tata kelola negara yang demokratis dan akuntabel. 

Di era digital di mana informasi dapat diakses dengan mudah oleh siapa saja, pemerintah yang menutup-nutupi proses pengambilan keputusan akan menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan. 

Transparansi tidak hanya soal membuka data dan informasi, tetapi juga soal menciptakan mekanisme yang memungkinkan partisipasi publik sebagai pemilik negara, bukan hanya objek pembangunan. 

Baca juga: Pidato di Munas PKS, Prabowo Mengaku Tak Dendam ke Anies Baswedan

Pemerintah yang takut diawasi sebenarnya belum siap dipercaya, karena transparansi adalah bentuk pertanggungjawaban yang memupuk legitimasi.

Pilar ketiga yang sangat ditekankan Anies dalam pidatonya adalah meritokrasi. 

Ia mengkritik keras praktik di mana penempatan pejabat publik masih didasarkan pada koneksi politik, nepotisme, atau balas budi, bukan pada kapasitas dan prestasi yang nyata. 

Sistem semacam ini tidak hanya merusak efisiensi birokrasi, tetapi juga melemahkan efektivitas kebijakan publik. 

Kebijakan yang lahir dari birokrasi yang tidak kompeten cenderung tidak tepat sasaran, lamban, dan gagal mengatasi masalah mendasar yang dihadapi masyarakat. 

Akibatnya, Indonesia terus terjebak dalam stagnasi ekonomi yang dikenal dengan istilah middle income trap—suatu kondisi di mana negara gagal naik kelas dari status negara berpenghasilan menengah menjadi negara maju.

Meritokrasi bukan hanya soal keadilan dalam rekrutmen pejabat publik, melainkan juga soal menghormati hak rakyat untuk dilayani oleh para pemimpin yang kompeten dan berintegritas. 

Dalam konteks pembangunan nasional, meritokrasi menjadi kunci agar potensi bangsa dapat dimaksimalkan dan birokrasi menjadi produktif serta responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Middle income trap merupakan fenomena di mana negara berkembang mengalami stagnasi pertumbuhan ekonomi dan gagal melakukan transformasi struktural menuju ekonomi berteknologi tinggi dan berdaya saing global. 

Indonesia saat ini masih menghadapi tantangan tersebut. 

Ekonomi Indonesia yang selama ini banyak bergantung pada tenaga kerja murah dan sumber daya alam menghadapi hambatan ketika ingin naik ke tahap berikutnya yang membutuhkan inovasi, produktivitas tinggi, dan kemampuan teknologi canggih.

Baca juga: Ketua MPR RI Akui Kontribusi Masyarakat Aceh Jadi Kekuatan Bagi Indonesia

Salah satu penyebab utama kegagalan transformasi ini adalah tidak efektifnya tata kelola pemerintahan, terutama birokrasi. 

Ketika pejabat publik dipilih berdasarkan kedekatan politik atau hubungan personal, bukan kapasitas dan rekam jejak.

Seringkali keputusan strategis yang diambil tidak berbasis data dan analisis yang tepat. melainkan untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu. 

Kondisi ini melemahkan kepercayaan investor, menghambat inovasi, dan membuat pelayanan publik menjadi buruk.

Meritokrasi menawarkan solusi dengan menempatkan orang-orang terbaik yang memiliki kompetensi, integritas, dan dedikasi tinggi di posisi strategis. 

Pejabat yang dipilih secara meritokratik akan mampu merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang tepat sasaran, inovatif, dan berkelanjutan. 

Dengan demikian, meritokrasi bukan hanya sekadar prinsip keadilan, tetapi strategi penting untuk mempercepat transformasi ekonomi dan keluar dari jebakan middle income trap.

Untuk memahami mengapa meritokrasi begitu penting, kita dapat menengok pemikiran Max Weber, sosiolog Jerman yang dianggap sebagai bapak teori birokrasi modern. 

Weber mengemukakan bahwa birokrasi ideal adalah birokrasi yang rasional dan profesional, dengan seleksi pejabat berdasarkan prestasi dan kapasitas teknis. 

Dalam birokrasi Weberian, terdapat hierarki yang jelas, aturan yang baku, serta prosedur yang obyektif dan transparan. 

Hal ini bertujuan untuk menghilangkan praktik nepotisme, favoritisme, dan kesewanganan  dalam pengambilan keputusan.

Baca juga: Racikan Xi Jinping Untuk Cina Abad 21: Komunis, Konfucius, dan Sun Tzu

Weber percaya bahwa birokrasi yang berfungsi dengan prinsip meritokrasi adalah bentuk administrasi yang paling efektif dan adil untuk mengelola negara modern. 

Tanpa meritokrasi, birokrasi akan kehilangan legitimasi dan keandalannya, dan negara akan sulit memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat.

Namun, ide meritokrasi sebenarnya bukan monopoli pemikiran modern. 

Sejarah panjang di Tiongkok kuno telah membuktikan bahwa meritokrasi telah menjadi pondasi penting bagi pemerintahan yang efektif sejak ribuan tahun lalu. 

Kaisar Wu dari Dinasti Han (141-87 SM) merupakan tokoh penting yang memperkenalkan sistem ujian sipil berbasis nilai-nilai Konfusianisme sebagai cara memilih pejabat publik. 

Sistem ujian ini mengutamakan pengujian kemampuan intelektual dan moral calon pejabat, sehingga jabatan pemerintahan tidak diwariskan atau diberikan berdasarkan keturunan atau kedekatan politik.

Sistem ujian sipil yang dikembangkan Kaisar Wu menjadi cikal bakal meritokrasi birokrasi yang kemudian dikembangkan oleh berbagai dinasti berikutnya, seperti Dinasti Tang dan Song. 

Praktik ini memungkinkan Tiongkok membangun birokrasi yang sangat profesional dan mampu mengelola kekaisaran yang luas secara efektif selama berabad-abad. 

Sistem meritokrasi inilah yang menjadi model awal dari birokrasi modern dan memberi inspirasi bagi negara-negara lain dalam mengatur pemerintahan mereka.

Pengalaman negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Tiongkok sangat relevan untuk Indonesia saat ini. 

Baca juga: Tambang Rakyat di Aceh: Potensi, Prospek, dan Tantangan

Negara-negara tersebut menunjukkan bahwa meritokrasi bukan hanya teori, melainkan strategi praktis yang terbukti mampu mengantarkan negara-negara berkembang menjadi kekuatan ekonomi dunia.

Jepang memulai modernisasi dan industrialisasi secara sistematis sejak era Meiji , akhir abad ke-19.

Salah satu kunci keberhasilan Jepang adalah pembentukan birokrasi yang profesional dan selektif. 

Pemerintah Jepang menempatkan pejabat berdasarkan prestasi dan kemampuan, bukan karena kedekatan politik atau keluarga. 

Sistem ini memungkinkan Jepang merancang kebijakan industri secara terencana dan terstruktur, sehingga mampu bertransformasi dari negara agraris menjadi negara industri maju dalam waktu relatif singkat.

Korea Selatan dan Taiwan mengadopsi pendekatan serupa setelah Perang Dunia II. 

Keduanya membangun sistem pendidikan yang ketat dan birokrasi yang kompetitif berbasis meritokrasi. 

Para teknokrat dan profesional diberi posisi strategis untuk menyusun dan melaksanakan kebijakan ekonomi, terutama di sektor manufaktur dan teknologi. 

Meritokrasi juga membantu mengurangi korupsi dan pemborosan sumber daya, sehingga pembangunan dapat berlangsung lebih efisien. 

Hasilnya, kedua negara ini berhasil keluar dari status negara berkembang dan kini menjadi kekuatan ekonomi dengan daya saing global yang tinggi.

Tiongkok, sejak memulai reformasi ekonomi pada akhir 1970-an, juga menekankan penerapan meritokrasi, terutama dalam pemilihan pejabat daerah dan pusat. 

Para pejabat dipilih dan dipromosikan berdasarkan capaian kinerja, seperti pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan stabilitas sosial. 

Sistem ini mendorong inovasi kebijakan dan fokus pada hasil nyata, yang membantu Tiongkok menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia dalam beberapa dekade.

Baca juga: Manusia, Predator Tanpa Taring

Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alam dan potensi demografis yang besar, seharusnya dapat mengatasi middle income trap dengan lebih mudah. 

Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana membangun sistem pemerintahan yang benar-benar meritokratik dan bebas dari praktik patronase serta politik transaksional. 

Penerapan meritokrasi harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari proses rekrutmen pejabat publik, pengembangan kapasitas sumber daya manusia, hingga penegakan akuntabilitas dan transparansi.

Anies Baswedan, dalam pidatonya, mengingatkan bahwa membangun bangsa bukan hanya soal angka pertumbuhan atau pembangunan infrastruktur, tetapi lebih mendasar pada menata ulang fondasi nilai. 

Integritas, transparansi, dan meritokrasi menjadi tiga pilar utama yang harus dijaga agar tata kelola negara menjadi efektif dan berkeadilan.

Keberhasilan negara-negara Asia Timur mengajarkan bahwa meritokrasi bukan sekadar idealisme, tapi kebutuhan praktis. 

Sistem ini membantu membangun kepercayaan publik, menciptakan birokrasi yang efektif, dan memastikan bahwa kebijakan pembangunan diarahkan untuk kepentingan rakyat banyak, bukan hanya kelompok tertentu.

Reformasi birokrasi secara menyeluruh 

Pidato Anies Baswedan menjadi pengingat penting bagi Indonesia bahwa tanpa mengembalikan nilai-nilai dasar integritas, transparansi, dan meritokrasi, negara ini akan sulit keluar dari jebakan stagnasi ekonomi dan birokrasi yang tidak efektif. 

Sebaliknya, dengan menempatkan orang-orang terbaik yang berkompeten dan berintegritas di posisi strategis, Indonesia bisa mempercepat transformasi ekonominya menuju sektor industri bernilai tambah tinggi dan daya saing global.

Max Weber telah memberikan kerangka teoretis tentang bagaimana birokrasi meritokratik menjadi tulang punggung negara modern yang rasional dan profesional. 

Baca juga: Inflasi: Pencuri yang tak Pernah Ditangkap

Sementara Kaisar Wu dan Dinasti Han membuktikan secara historis bahwa sistem meritokrasi adalah fondasi pemerintahan efektif dan berkelanjutan. 

Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Tiongkok menawarkan contoh empiris yang sangat kuat bahwa meritokrasi adalah kunci keberhasilan pembangunan ekonomi dan sosial.

Indonesia harus belajar berani melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh dan berkelanjutan. 

Dengan fondasi nilai yang kokoh dan tata kelola yang profesional, Indonesia akan mampu mewujudkan cita-cita besar sebagai negara maju yang adil, inklusif, dan berdaya saing di panggung dunia.(*)

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved