Jurnalisme Warga

Suara yang Tak Padam: Kiprah KKR Aceh Sembuhkan Luka

Setelah penandatanganan Nota Kesepahaman Damai di Helsinki, Finlandia, pada tahun 2005, masyarakat Aceh menaruh harapan besar

Editor: mufti
FOR SERAMBINEWS.COM
ADAM JULIANDIKA, Mahasiswa Magister Hukum Tata Negara Universitas Abulyatama Aceh, melaporkan dari Lampoh Keude, Aceh Besar 

Kini, sebagian korban mulai mendapatkan perhatian dan ruang untuk menyuarakan kembali hak-haknya.

Tantangan KKR

Namun, perjalanan KKR Aceh tidak selalu mudah. Dukungan politik yang fluktuatif, keterbatasan dana, dan minimnya pemahaman masyarakat tentang keadilan transisional sering kali menjadi tantangan tersendiri.

Meskipun memiliki kedudukan yang kuat di tingkat daerah, KKR Aceh memiliki keterbatasan dalam kerangka hukum nasional. Rekomendasinya tidak bersifat mengikat bagi lembaga negara sehingga tindak lanjut dari hasil penyelidikan bergantung pada komitmen politik pemerintah pusat dan daerah.

Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri dalam mewujudkan keadilan yang menyeluruh.

Persoalan utama lainnya adalah keterbatasan dukungan politik dan pendanaan dari pemerintah. Tanpa komitmen yang kuat dari pihak eksekutif dan legislatif, kegiatan lembaga ini kerap tersendat.

Beberapa program pemulihan terhenti karena dana operasional yang tidak mencukupi. Kondisi tersebut berdampak langsung terhadap keberlanjutan kerja lembaga dan kepercayaan publik terhadap proses pencarian kebenaran.

KKR juga terbentur pada persoalan hukum. Hingga kini belum ada payung hukum nasional yang membuat rekomendasi KKR bersifat mengikat. Akibatnya, hasil temuan yang telah disusun dengan kerja panjang sering kali berhenti di meja administrasi tanpa tindak lanjut konkret. Ketergantungan pada kemauan politik pemerintah pusat membuat perjuangan korban masih berada di wilayah abu-abu. Situasi ini menimbulkan rasa kecewa sekaligus kekhawatiran bahwa upaya rekonsiliasi dapat kehilangan makna jika tak disertai tindakan nyata.

Rendahnya kesadaran publik menjadi hambatan lain yang tidak kalah serius. Banyak warga menganggap bahwa isu pelanggaran HAM adalah urusan masa lalu yang tak perlu diungkit kembali. Padahal, keadilan transisional tidak hanya berbicara tentang masa lampau, tetapi juga tentang masa depan yang bebas dari kekerasan dan ketidakadilan.

Minimnya pemahaman membuat dukungan sosial terhadap KKR tidak selalu kuat, terutama di kalangan generasi muda yang tidak mengalami langsung konflik Aceh yang hampir tiga dekade.

Di sisi lain, trauma sosial masih membekas di sebagian masyarakat Aceh. Banyak korban memilih diam karena takut stigma atau tekanan lingkungan. Sensitivitas isu konflik menjadikan sebagian wilayah enggan membuka kembali cerita lama. Situasi ini menuntut pendekatan yang ekstrahati-hati agar proses pengungkapan kebenaran tidak melukai, tetapi menyembuhkan.

Tantangan-tantangan ini menunjukkan perjuangan KKR Aceh belum selesai. Ia membutuhkan dukungan nyata agar misi keadilan dapat benar-benar dirasakan oleh semua warga.

Setelah bertahun-tahun berjalan, keberadaan KKR Aceh menjadi penanda bahwa upaya menegakkan keadilan tidak pernah benar-benar berhenti. Masyarakat berharap lembaga ini tidak hanya berakhir sebagai simbol perdamaian tanpa kekuatan nyata.

Kerja KKR perlu dilanjutkan secara berkesinambungan agar temuan dan rekomendasi yang telah disusun dapat benar-benar ditindaklanjuti.

Negara pun perlu hadir untuk memastikan pemulihan korban tidak berhenti pada wacana, melainkan terwujud dalam kebijakan konkret seperti reparasi, bantuan psikososial, dan pengakuan resmi terhadap penderitaan yang dialami masyarakat Aceh.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved