Pojok Humam Hamid
MSAKA21: Dakwah dan Penaklukan: Jejak Islam dari Peureulak ke Afrika Utara - Bagian XV
Wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, adalah ajang yang menjadi ladang ekspansi militer kekhalifahan awal Islam.
Proses penyebarannya berlangsung secara damai melalui jalur perdagangan, dakwah sufistik, dan interaksi sosial yang harmonis, bukan melalui penaklukan militer.
Dari sinilah lahir wajah Islam yang akomodatif terhadap keragaman budaya lokal tanpa kehilangan esensi spiritualnya.
Namun, sejarah tidak pernah bebas dari paradoks.
Dalam konteks kontemporer, Aceh--yang dahulu dikenal sebagai pusat Islam yang damai dan sufistik--justru tampil sebagai wilayah yang menegakkan formalisasi hukum Islam paling ketat di Indonesia.
Melalui penerapan Qanun Jinayat, keberadaan polisi syariah, dan pelaksanaan razia moral, identitas keislaman Aceh kini banyak dipahami melalui dimensi legal-formal, bukan lagi spiritual-kultural.
Pertanyaannya, apakah formalisasi tersebut merupakan bentuk kemajuan dalam memperkuat nilai-nilai Islam, atau justru sebuah regresi sosial yang menjauh dari tradisi Islam Nusantara yang penuh kebijaksanaan?
Kesadaran Spiritual, Bukan Ketakutan Sosial
Jika menilik sejarah, kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara tidak membangun sistem hukum Islam yang rigid.
Kerajaan-kerajaan Islam itu lebih menekankan internalisasi nilai ketimbang institusionalisasi aturan.
Prinsip moral, keadilan sosial, dan keteladanan menjadi fondasi utama penyebaran Islam, bukan instrumen kekuasaan negara.
Dengan demikian, model Islam Nusantara menampilkan wajah yang menumbuhkan kesadaran spiritual, bukan ketakutan sosial.
Sebaliknya, fenomena kontemporer di dunia Islam menunjukkan kecenderungan yang menarik.
Negara-negara di Teluk Arab--seperti Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Qatar--yang pada masa lalu dikenal sebagai pusat penaklukan dan kekuasaan militer Islam, kini bertransformasi menjadi masyarakat kosmopolit.
Kawasan itu kini lebih terbuka terhadap keberagaman.
Kota-kota seperti Dubai, Doha, dan bahkan Riyadh telah beralih menjadi pusat ekonomi global dengan struktur sosial multikultural yang longgar terhadap ekspresi keagamaan.
Kebijakan publik di wilayah tersebut pun merefleksikan pergeseran paradigma.
Uni Emirat Arab, misalnya, telah melegalkan pernikahan sipil bagi non-Muslim, memperbolehkan konsumsi alkohol untuk nonmuslim di ruang terbatas, serta memberikan izin pendirian gereja dan kuil.
Arab Saudi pun mengurangi peran polisi syariah dan mulai membuka ruang bagi berbagai kegiatan budaya seperti konser dan bioskop.
Fenomena ini menunjukkan adanya pelunakan dalam pendekatan keagamaan di jantung dunia Islam.
Ironinya, Aceh--yang pada awalnya menerima Islam tanpa peperangan dan menjadikannya bagian dari kehidupan kultural--kini menampilkan wajah Islam yang legalistik dan normatif.
Transformasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang arah perkembangan Islam di Aceh bahkan Indonesia.
Apakah Islam akan terus tumbuh sebagai kekuatan moral yang menyejukkan, atau berubah menjadi instrumen formalisasi yang mengekang keberagaman sosial?
Perbedaan konteks tentu perlu diakui.
Negara-negara Teluk memiliki kekuatan ekonomi dan kapasitas politik yang memungkinkan modernisasi sistem sosialnya, sedangkan Aceh memiliki sejarah panjang konflik dan otonomi politik yang membentuk orientasi hukumnya sendiri.
Namun, konteks tersebut tidak meniadakan fakta bahwa sejarah Islam Nusantara memberi teladan yang berbeda--teladan tentang Islam yang membangun nilai, bukan sekadar sistem.
Kerajaan Peureulak dan Kesultanan Aceh Darussalam pernah menunjukkan bahwa Islam dapat tumbuh melalui keteladanan, pendidikan, dan cinta.
Sebaliknya, pengalaman Afrika Utara memperlihatkan bahwa Islam yang bertahan melalui kekuasaan formal justru kehilangan vitalitas budaya dan kreativitas intelektualnya.
Oleh karena itu, refleksi atas perjalanan Islam di Aceh bukan sekadar wacana lokal, melainkan cermin bagi arah masa depan Islam di Indonesia.
Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar bagaimana menegakkan hukum Islam, melainkan bagaimana menghadirkan Islam yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan, dan semangat keadilan sosial yang menjadi inti ajarannya.
Islam Aceh dan Nusantara pada dasarnya tidak lahir dari darah dan penaklukan, tetapi dari interaksi, kesantunan, dan kearifan lokal.
Jika karakter ini hilang, maka yang lenyap bukan hanya identitas keislaman Aceh dan Nusantara, tetapi juga jiwa kemanusiaan yang menjadi sumber kekuatannya.
Dengan demikian, tantangan terbesar umat Islam Aceh dan Indonesia bukan pada sejauh mana syariat diformalisasikan, melainkan pada sejauh mana nilai-nilainya diinternalisasikan.
Sebab, bukan Islam yang berubah--melainkan cara kita memantulkan wajahnya yang mentukan apakah ramah atau menakutkan.
*) PENULIS adalah Sosiolog Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Isi dari setiap artikel Pojok Humam Hamid menjadi tanggung jawab penulis.
MSAKA21
sejarah Aceh
Sejarah Islam di Aceh
pojok humam hamid
humam hamid aceh
Serambi Indonesia
Serambinews
| Pembangunan 50 Kota Prioritas Nasional: Mengapa Kota-Kota di Aceh Terabaikan? |
|
|---|
| Utang Kereta Cepat” Whoosh” Cina: Akankah Prabowo Mengikuti Jejak Mahathir? |
|
|---|
| MSAKA21 : Kerajaan Peureulak: Paku Bumi Pertama Islam Nusantara - Bagian XIV |
|
|---|
| Meritokrasi dan Middle Income Trap: Anies, Weber, dan Kaisar Wu |
|
|---|
| Racikan Xi Jinping Untuk Cina Abad 21: Komunis, Konfucius, dan Sun Tzu |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.