Pojok Humam Hamid
Dana Otsus Jilid 2: Lagu Lama vs Otoritas Teknokratis - Bagian 1
Sejak 2008 hingga hari ini, triliunan rupiah dana otsus mengalir, tapi berapa banyak yang sungguh-sungguh membangun fondasi masa depan?
Oleh Ahmad Humam Hamid*)
HAMPIR dapat dipastikan bahwa dana Otonomi Khusus -Otsus Aceh akan diperpanjang setelah 2027, sebagaimana ditegaskan oleh Ketua Badan Legislasi DPR RI, Bob Hasan.
Ia menyebutkan perpanjangan tersebut sebagai kewajiban konstitusional, bukan sekadar opsi politik.
Namun, di balik kepastian itu, masih tersisa dua pertanyaan besar yang akan menentukan arah masa depan Aceh.
Apakah besaran dana akan tetap 2 persen atau meningkat menjadi 2,5 persen dari total Dana Alokasi Umum nasional.
Selain dari itu, apakah masa berlakunya akan diperpanjang lebih dari dua dekade, tidak mengikuti seperti sebelumnya.
Dua isu inilah yang kini menjadi inti pembahasan dalam revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh, karena keduanya bukan hanya soal angka.
Dua komponen itu juga menyangkut sejauh mana pusat mengakui keberlanjutan kekhususan Aceh sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun di balik semua itu, pengalaman Otsus Jilid I yang telah berjalan selama hampir mencapai 20 tahun membuat bulu roma kita bergidik.
Alasannya sangat sederhana.
Mari kita mengingat apa yang telah terjadi dengan uang “darah”dan “pengorbanan” itu, dan apalagi yang mungkin akan terjadi bila dana itu mengalami rute yang telah ditempuh selama ini.
Bayangkan sebuah negeri yang setiap lima tahun kehilangan arah, di mana rencana pembangunan yang indah di atas kertas menguap bersama masa jabatan.
Jalan-jalan dibangun, tetapi tak membawa ekonomi ke mana-mana.
Gedung-gedung megah berdiri, namun pengetahuan yang menopangnya rapuh.
Inilah paradoks Aceh hari ini: wilayah dengan otonomi luas, sumber daya melimpah, dan sejarah panjang peradaban Islam dan perdagangan yang kaya, tetapi masih terjebak dalam pusaran pembangunan yang tidak berkesinambungan.
Baca juga: VIDEO - Mualem: Dana Otsus Aceh Wajib Seumur Hidup Seperti Papua
Lembaga Pembangunan Aceh – Pusat
Dua puluh tahun setelah damai Helsinki, Aceh telah keluar dari perang, tetapi belum sepenuhnya bebas dari perang yang lain--perang melawan ketidakteraturan, ketergantungan, dan kehilangan arah.
Kita merayakan otonomi khusus seolah itu tiket menuju kemakmuran, padahal otonomi tanpa arah hanyalah kebebasan untuk mengulangi kesalahan yang sama.
Sejak 2008 hingga hari ini, triliunan rupiah dana otsus mengalir, tapi berapa banyak yang sungguh-sungguh membangun fondasi masa depan?
Setiap periode pemerintahan datang dengan “visi baru”, padahal visi lama bahkan belum tuntas.
Akibatnya, pembangunan di Aceh bagaikan orkestra yang berganti konduktor di tengah konser-- musiknya terus berbunyi, tetapi tanpa harmoni.
Masalah Aceh bukan pada kurangnya sumber daya, melainkan pada absennya institusi yang menjaga arah.
Karena itu, Aceh memerlukan sesuatu yang lebih berani daripada sekadar perencanaan baru.
Aceh memerlukan revolusi kelembagaan.
Sebuah lembaga yang berdiri di atas pengetahuan, bukan politik.
Sebuah otoritas teknokratik--Lembaga Pembangunan Aceh - Pusat 25 Tahun--yang dipimpin bersama antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat dengan sistem co-chair.
Dalam dunia yang diatur oleh logika jangka pendek, ide ini mungkin terdengar utopis.
Namun justru utopis yang rasionallah yang dibutuhkan untuk membebaskan Aceh dari lingkaran lima tahunan yang mematikan kreativitas dan kontinuitas.
Selama dua dekade terakhir, kita menyaksikan bagaimana siklus kekuasaan lima tahun menjadi racun bagi perencanaan jangka panjang.
Setiap kali pemimpin berganti, semua hal dimulai dari awal, seolah-olah waktu tak pernah meninggalkan catatan.
Proyek besar berhenti, dokumen perencanaan tersimpan di rak, dan aparatur kembali menunggu arah baru.
Dalam iklim seperti ini, pembangunan menjadi ritual administratif, bukan proses strategis.
Kita mengukur kemajuan dengan jumlah proyek, bukan dengan perubahan kualitas hidup.
Padahal pembangunan sejati memerlukan horizon waktu yang panjang, jauh lebih panjang dari masa jabatan siapa pun.
Lembaga teknokratik yang diusulkan bukan sekadar biro baru.
Ia adalah sistem keseimbangan baru.
Lembaga ini bukan sekadar dinas atau tim koordinasi biasa, melainkan entitas dengan struktur jelas, sumber daya profesional, dan mandat eksklusif untuk merancang, melaksanakan, serta mengawasi pembangunan berbasis Dana Otsus.
Ketua lembaga ini adalah Gubernur Aceh secara ex-officio.
Untuk menjaga profesionalitas dan menghindari intervensi politik jangka pendek, operasional lembaga ini dijalankan oleh dua co-chair atau ketua bersama.
Satu co-chair berasal dari kalangan profesional Aceh, yang dipilih melalui proses seleksi terbuka, transparan, dan berbasis merit oleh lembaga independen.
Setelah melalui proses ketat, tiga kandidat terbaik diserahkan ke Gubernur untuk dipilih dan ditetapkan.
Co-chair kedua ditunjuk oleh pemerintah pusat, juga melalui mekanisme seleksi dan uji kelayakan yang kredibel.
Dengan kepemimpinan co-chair, satu dari Aceh dan satu dari Pusat, lembaga ini akan menjadi ruang dialog rasional di mana keputusan besar diambil berdasarkan data dan argumentasi, bukan ego kekuasaan.
Ini penting karena hubungan Aceh-Jakarta sering kali tersandera oleh perbedaan tafsir otonomi.
Satu pihak merasa diatur, pihak lain merasa diabaikan.
Dalam lembaga bersama, keduanya duduk sejajar--bukan dalam posisi instruktif, melainkan kolaboratif.
Dan justru di situlah keistimewaan Aceh menemukan makna barunya.
Baca juga: Tegas! Ketua Baleg DPR RI Sebut Otsus Aceh Wajib Diperpanjang
Eksekutor Program Strategis Dana Otsus
Otoritas teknokratis ini diberikan mandat utama untuk menjalankan program-program strategis Dana Otsus.
Lembaga ini menyusun rencana pembangunan jangka menengah dan panjang, memilih proyek prioritas berdasarkan kebutuhan riil masyarakat, bukan berdasarkan permintaan elite atau tekanan politik.
Terdapat unit khusus untuk perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, hingga pelaporan yang dapat diakses publik secara daring dan real-time.
Lalu, siapa yang menjaga agar lembaga ini tetap berada pada jalur yang benar?
Di sinilah peran Dewan Pengarah muncul, yang terdiri dari menteri-menteri terkait pembangunan: Menteri Keuangan, Menteri PPN/Bappenas, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan, Menteri Pertanian, Menteri Pekerjaan Umum, dan lainnya.
Untuk menjaga keterpaduan dengan “citarasa” daerah, dapat pula beberapa kursi dewan pengarah dialokasikan untuk Aceh, seperti Ketua DPRA, Rektor Perguruan Tinggi, dan Perwakilan Perempuan.
Dewan ini tidak sekadar menjadi pengarah di atas kertas.
Mereka memiliki otoritas untuk menilai performa lembaga, memberikan dukungan kebijakan lintas sektor.
Dengan keterlibatan para Menteri, otoritas teknokratis ini membuka peluang besar dana tambahan pembangunan apabila Aceh menunjukkan kemajuan yang signifikan.
Ini artinya, jika model dana ekstra pembangunan Papua “dikembarkan” dengan judul “dana percepatan pembangunan”, kita di Aceh membuat innovasi dengan membawa berbagai pimpinan kementerian itu kedalam “lokomotif” percepatan pembangunan Aceh itu sendiri.
Dengan demikian, lembaga teknokratis itu sendiri berpeluang besar untuk mendapat dana tambahan dari para anggota Dewan Pengarah ketika dibutuhkan.
Apalagi bila ada momentum pembangunan yang sangat selaras dengan arah pembangunan nasional yang dituju oleh pemerintah pusat.
Model ini bukan hal baru.
Kita pernah punya BRR dengan rekam jejak gemilang dalam mengelola dana pascatsunami.
Selain itu, negara-negara lain seperti Rwanda, Ethiopia, dan Bangladesh juga menggunakan lembaga pembangunan khusus sebagai instrumen lompatan pasca-konflik dan bencana.(Bersambung ke bagian kedua)
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Isi artikel dalam Pojok Humam Hamid menjadi tanggung jawab penulis.
Dana Otsus Aceh Diperpanjang
Dana Otsus Aceh
otonomi khusus aceh adalah
Aceh
pojok humam hamid
humam hamid aceh
Serambi Indonesia
Serambinews
| MSAKA21: Dakwah dan Penaklukan: Jejak Islam dari Peureulak ke Afrika Utara - Bagian XV |
|
|---|
| Pembangunan 50 Kota Prioritas Nasional: Mengapa Kota-Kota di Aceh Terabaikan? |
|
|---|
| Utang Kereta Cepat” Whoosh” Cina: Akankah Prabowo Mengikuti Jejak Mahathir? |
|
|---|
| MSAKA21 : Kerajaan Peureulak: Paku Bumi Pertama Islam Nusantara - Bagian XIV |
|
|---|
| Meritokrasi dan Middle Income Trap: Anies, Weber, dan Kaisar Wu |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.