KUPI BEUNGOH
Santri Dipuji di Podium, Diabaikan dalam Kebijakan
Hari Santri terasa seperti upacara rutin tanpa makna mendalam. Santri dipuji di podium, tetapi diabaikan dalam kebijakan.
Akibatnya, santri kerap direduksi menjadi sekadar ahli ibadah atau penyampai hukum agama, sementara peran sosial dan intelektualnya dalam memberi arah pembangunan daerah semakin terpinggirkan.
Baca juga: Jihan Fanyra Asal Aceh Raih Runner-Up Duta Santri Nasional 2025 di Jawa Tengah, Ini 22 Prestasinya
Padahal, pesantren telah menempa santri dan masyarakat Aceh dengan nilai-nilai kejujuran, disiplin, kemandirian, dan tanggung jawab—modal sosial yang sangat dibutuhkan Aceh hari ini.
Saat moral birokrasi melemah, karakter pejabat memudar, dan perilaku masyarakat mengalami krisis, etos santri justru menawarkan solusi: bekerja dengan niat, membangun dengan integritas, dan melayani dengan hati.
Kolaborasi antara umara dan ulama tidak seharusnya berhenti pada pembangunan fisik, bantuan sosial, atau penghargaan simbolik.
Lebih dari itu, ulama dan santri perlu diberi peran dalam penyusunan fondasi pembangunan agar arah dan visi pembangunan Aceh ke depan tetap berpijak pada nilai-nilai keacehan.
Sudah saatnya dayah dijadikan pusat pengembangan sumber daya manusia yang mengintegrasikan ilmu agama dan pengetahuan umum, membekali santri dengan literasi digital, kewirausahaan, dan kemampuan adaptif terhadap zaman.
Santri masa kini harus menjadi sumber daya paripurna—berilmu agama, melek teknologi, dan berkontribusi nyata bagi pertumbuhan ekonomi umat.
Pemerintah Aceh perlu menempatkan santri sebagai aktor pembangunan, bukan sekadar pelengkap acara. Ulama dan akademisi pesantren harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut pendidikan dan kehidupan sosial.
Dengan begitu, Aceh dapat kembali ke panggung sejarah sebagai daerah yang berjaya dengan peradaban yang mendunia.
Baca juga: Ketua NU Lhokseumawe: Hari Santri Harus Jadi Momentum untuk Memperluas Kiprah Santri dan Dayah
Momentum Hari Santri bukan sekadar untuk mengenang masa lalu, melainkan refleksi untuk menghidupkan kembali peran santri sebagai fondasi pembangunan Aceh modern.
Jika masa Sultan Iskandar Muda mampu melahirkan generasi berilmu dan bermoral, maka tugas kita kini adalah menanamkan semangat yang sama dalam pembangunan hari ini.
Pembangunan tanpa moral hanya akan berorientasi jangka pendek dan pragmatis.
Faktanya, meski Aceh memiliki banyak ilmuwan, teknokrat, dan ekonom hebat, kemajuan daerah ini masih tertatih. Bahkan, jika dibandingkan dengan masa lampau, Aceh seolah mengalami kemunduran.
Sebagai penutup, penulis ingin menegaskan bahwa santri bukan sekadar penjaga masjid, tetapi penjaga masa depan Aceh. Mereka bukan hanya pewaris tradisi, melainkan penerus peradaban.
Aceh yang berdaulat dan bermartabat hanya akan lahir jika santri kembali berdiri di panggung pembangunan—bukan di pinggir sejarah. Sebab, ketika cahaya santri meredup, nurani negeri pun kehilangan arah, dan jantung spiritual Aceh berdetak tanpa makna.(*)
*) PENULIS adalah Dosen Administrasi Publik, Universitas Malikussaleh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
| Misteri Dana Abadi Pendidikan Aceh: Triliunan Rupiah yang Mengendap Tanpa Manfaat |
|
|---|
| Timor Leste dan Tantangan Pendidikan di ASEAN 2025 |
|
|---|
| Pemuda dan Krisis Teladan: Siapa yang Layak Diteladani di Negeri yang Bising Ini? |
|
|---|
| Guru Dayah OD Indrapuri Aceh Besar Ciptakan Kamus Indonesia-Arab-Inggris yang Dicetak Puluhan Kali |
|
|---|
| Sumpah Pemuda, Sumpah Pejabat, dan Ritual Administrasi |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.