Jurnalisme Warga
Haji Pele, Cina Pidie Tukang Tambal Jalan
Di tengah kesibukan Kota Sigli, Kabupaten Pidie, hidup seorang pria sederhana yang dikenal masyarakat dengan panggilan Haji Pele.
Pele menempuh pendidikan di SD Muhammadiyah Sigli, kemudian ia melanjutkan ke sekolah menengah di kota yang sama sebelum hijrah ke Medan, Sumatera Utara.
Di sana, ia mulai menekuni kehidupan beragama dan semakin mendalami ajaran Islam setelah bertemu dengan almarhum Abu Usman Kuta Krueng, seorang ulama karismatik yang mendorongnya menjadi mualaf.
Tahun 2004, sebelum terjadi bencana tsunami, ia menikah dengan seorang gadis dari Desa Sanggeu. Tiga tahun kemudian, pada 2007, mereka menunaikan ibadah haji. Sejak saat itu, Pele mulai dipanggil Haji Pele.
Anak pertama mereka lahir pada 2010 dan anak kedua pada tahun 2013.
“Hidup tidak perlu berlebihan, yang penting cukup dan anak-anak bahagia,” ujarnya pelan tentang jumlah anaknya yang minim.
Setelah ayahnya meninggal dunia tahun 2009, pada tahun 2016 Pele dipercaya mengelola pabrik es milik keluarga. Sejak saat itu, kehidupannya beralih dari sekadar mengurus bisnis menjadi penebar manfaat bagi Masyarakat Pidie.
Menambal lubang jalan
Suatu hari, Pele melihat seorang pengendara terjatuh akibat lubang di jalan pas di depan pabriknya. Peristiwa itu menggugah nuraninya. Dengan peralatan sederhana dan dibantu beberapa karyawan, ia mulai menambal lubang-lubang jalan, dimulai dari sekitar pabrik, lalu meluas ke berbagai titik lain yang rusak di Kabupaten Pidie.
Semua dilakukan tanpa bantuan pemerintah, tanpa imbalan, apalagi ‘reimburst’ (penggantian dana) dari pemerintah. Ia lakukan semua itu hanya dengan niat tulus untuk mencegah kecelakaan dan membantu masyarakat.
Bahan-bahan untuk menambal jalan berlubang ia beli sendiri. Sedangkan pekerjaannya dikerjakan secara gotong royong oleh para karyawannya.
Kini, kegiatan menambal jalan sudah menjadi bagian dari hidupnya. “Kalau seniman melukis di atas kanvas, kami melukis di atas jalanan,” katanya sambil tersenyum.
Baginya, setiap jalan yang kembali mulus setalah ditambal adalah kepuasan batin sekaligus bentuk ibadah, amal kecil yang tak membutuhkan tepuk tangan.
Kisah Haji Pele alias Ramli Hasan alias Lie Ping San adalah potret indah tentang Indonesia yang majemuk, tetapi bersatu. Ia Tionghoa dalam darah, Aceh dalam budaya, dan Indonesia dalam jiwa.
Ia membuktikan bahwa cinta tanah air tidak harus selalu diwujudkan lewat jargon besar, tetapi cukup melalui tindakan sederhana yang bermanfaat bagi banyak orang. Dengan ketulusan dan kerja kerasnya, jalanan di Pidie menjadi lebih aman, mulus, dan wajah kemanusiaan pun kembali terasa hangat di jalan beraspal itu.
Dari tangan-tangan seperti Haji Pele, kita belajar bahwa nasionalisme sejati tumbuh dari niat baik untuk berbuat, bukan dari asal-usul atau nama.
Untuk kemaslahan bersama, selalu kita rindukan kehadiran Haji Pele-Haji Pele lainnya, terlebih pada saat pemerintah abai atau lalai menunaikan kewajibannya di ruas-ruas jalan yang setiap hari dilalui orang banyak. (*)


 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
												      	 
												      	 
												      	 
												      	 
												      	 
				
			 
											 
											 
											 
											 
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.