Pojok Humam Hamid

MSAKA21 - Kerajaan Samudera Pasai: Hikayat Raja Raja Pasai dan Catatan Tome Pires – Bagian XVI

Dalam catatan perjalanannya antara tahun 1512 hingga 1515, Pires menggambarkan berbagai negeri di Asia, termasuk kepulauan Nusantara.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Dalam konteks modern, Pasai mencerminkan bagaimana pertemuan lintas budaya, ekonomi, dan agama membentuk satu peradaban kosmopolitan yang terbuka dan dinamis di Asia Tenggara.

Pada abad ke-13 hingga ke-15 Masehi, Samudera Pasai berdiri di jalur perdagangan internasional yang menghubungkan Timur Tengah, India, Tiongkok, dan kepulauan Melayu. 

Keterlibatan Pasai dalam jaringan global ini menjadikannya laboratorium awal bagi kosmopolitanisme maritim--ruang di mana pedagang, ulama, dan pemikir dari berbagai bangsa bertemu dan bertukar gagasan. 

Dalam kacamata kontemporer, inilah bentuk awal dari globalisasi kultural, di mana interaksi ekonomi juga melahirkan pertukaran nilai, bahasa, dan keyakinan.

Dengan demikian, Islamisasi Pasai dapat dibaca sebagai proses sosial dan ekonomi yang kompleks, bukan sekadar peristiwa spiritual. 

Islam menjadi bahasa universal yang menyatukan jaringan dagang antarnegara dan memperkuat legitimasi politik kerajaan. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa agama berperan sebagai kekuatan integratif dalam dunia yang saling terhubung — suatu realitas yang terasa kembali relevan di era globalisasi digital saat ini.

Baca juga: VIDEO Monumen Kerajaan Samudera Pasai Rusak dan Tak Terawat

Bukan Sekedar Legenda Religius

Dari sudut pandang historiografi modern, narasi Hikayat Raja-raja Pasai juga dapat dibaca sebagai teks politik dan budaya, bukan sekadar legenda religius. 

Kisah Merah Silu yang mendapat petunjuk Ilahi untuk menjadi Sultan Malik al-Saleh, misalnya, bisa ditafsirkan sebagai strategi membangun legitimasi kekuasaan lokal melalui simbol-simbol Islam universal. 

Pembacaan semacam ini memperlihatkan bahwa Islam di Nusantara tumbuh melalui dialog dan akulturasi budaya, bukan melalui dominasi kekuasaan.

Dalam konteks abad ke-21, sejarah Samudera Pasai menghadirkan pesan yang tetap aktual: bahwa keterbukaan, toleransi, dan kemampuan beradaptasi adalah kunci kemajuan peradaban. 

Seperti halnya Pasai pada masa silam, dunia modern juga dihadapkan pada dinamika global-perubahan ekonomi, pertemuan budaya, dan pencarian identitas. 

Dari sejarah Pasai, kita belajar bahwa kekuatan sejati sebuah peradaban tidak lahir dari kekuasaan militer, tetapi dari jejaring ilmu, kepercayaan, dan kemanusiaan.

Dengan membaca Samudera Pasai dari masa lalu hingga kini, kita menemukan bahwa sejarah bukanlah cerita yang berhenti di masa lampau. 

Ia adalah cermin perjalanan manusia mencari makna di tengah perubahan zaman. 

Samudera Pasai menjadi contoh bagaimana pertemuan antara iman, perdagangan, dan kebudayaan dapat melahirkan peradaban yang inklusif -warisan berharga yang tetap menyala dalam identitas dunia Melayu-Islam hingga abad ke-21.(*)

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Isi artikel dalam Pojok Humam Hamid menjadi tanggung jawab penulis. 

Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved