Pojok Humam Hamid

MSAKA21 - Kerajaan Samudera Pasai: Hikayat Raja Raja Pasai dan Catatan Tome Pires – Bagian XVI

Dalam catatan perjalanannya antara tahun 1512 hingga 1515, Pires menggambarkan berbagai negeri di Asia, termasuk kepulauan Nusantara.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

PADA awal abad ke-16, seorang penjelajah Portugis bernama Tome Pires menulis karya terkenal berjudul Suma Oriental que trata do Mar Roxo até aos Chins (Ikhtisar Wilayah Timur, dari Laut Merah hingga Negeri Cina).

Dalam catatan perjalanannya antara tahun 1512 hingga 1515, Pires menggambarkan berbagai negeri di Asia, termasuk kepulauan Nusantara.

Ia merupakan seorang apoteker kerajaan Portugis yang diutus ke Asia untuk mempelajari jaringan perdagangan dan kekuatan ekonomi dunia Timur. 

Dari pengamatannya, Pires menulis bahwa Kerajaan Samudera Pasai adalah salah satu pusat Islam tertua di Sumatra, meski pada masanya kerajaan ini telah melemah akibat kebangkitan Kesultanan Malaka dan Aceh Darussalam.

Menurut Tome Pires, Samudera Pasai dahulu merupakan pelabuhan penting yang ramai didatangi pedagang dari Gujarat, Arab, dan Tiongkok. 

Ia mencatat bahwa masyarakat Pasai hidup menurut ajaran Islam, dipimpin oleh seorang sultan, dan memiliki sistem hukum serta perdagangan yang teratur. 

Namun, menjelang kedatangan Portugis, Pasai mulai kehilangan pengaruhnya karena para pedagang lebih memilih berlabuh di Malaka, yang kala itu telah menjadi pusat baru perdagangan rempah-rempah di Asia Tenggara. 

Meski demikian, catatan Tome Pires menegaskan bahwa Samudera Pasai pernah memainkan peran besar dalam sejarah awal Islam di kawasan ini--sebagai simpul pertemuan antara perdagangan, keislaman, dan kekuasaan maritim.

Baca juga: MSAKA21: Peureulak dan Samudera Pasai, Poros Mula Islam Nusantara - Bagian XIII

Masa Kejayaan Pasai

Dari penggambaran Pires tentang kemunduran Pasai, kita dapat menelusuri ke belakang untuk memahami asal mula kejayaannya. 

Sekitar pertengahan abad ke-13, muncul seorang raja bernama Malik al-Saleh, pendiri kerajaan ini. 

 

Berdasarkan naskah klasik Hikayat Raja-raja Pasai, Malik al-Saleh adalah penguasa pertama di Nusantara yang memeluk Islam setelah bertemu seorang ulama Arab bernama Syeikh Ismail. 

Dari pusat pemerintahannya di pesisir utara Sumatra, ia menjadikan Pasai sebagai pelabuhan internasional yang makmur sekaligus pusat penyebaran Islam pertama di kepulauan Melayu.

Menariknya, dalam naskah tersebut juga tersirat adanya hubungan erat antara Samudera Pasai dan Peureulak (Perlak), kerajaan Islam tertua di Nusantara yang terletak di Aceh Timur. 

Walaupun Hikayat Raja-raja Pasai tidak menjelaskan hubungan itu secara panjang lebar, beberapa bagian kisahnya menunjukkan adanya keterkaitan darah, politik, dan agama antara kedua kerajaan. 

Hikayat ini berfokus pada kisah Merah Silu (Malik al-Saleh), namun dalam versi lain disebutkan bahwa ia menikahi putri dari Peureulak. 

Pernikahan ini melambangkan perpaduan politik dan spiritual antara dua kerajaan Islam awal di Sumatra--Peureulak sebagai akar, dan Pasai sebagai cabang yang menumbuhkan peradaban Islam lebih luas.

Hubungan tersebut menegaskan bahwa Samudera Pasai tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan kelanjutan langsung dari tradisi Islam yang telah berkembang di Peureulak sejak abad ke-9 Masehi. 

Dalam tradisi lisan Aceh, Peureulak sering disebut sebagai tempat awal masuknya pedagang dan ulama Arab ke Nusantara. 

Ketika pusat kekuasaan berpindah ke wilayah Samudera Pasai yang lebih strategis di pesisir utara Aceh, peran sebagai pusat dakwah dan perdagangan Islam pun berlanjut, bahkan semakin meluas ke Semenanjung Melayu, Brunei, dan kepulauan sekitarnya.

Selain sebagai sumber sejarah, Hikayat Raja-raja Pasai memiliki nilai simbolis yang kuat. 

Melalui kisah Merah Silu yang mendapat petunjuk Ilahi sebelum memeluk Islam, hikayat ini memperlihatkan konsep legitimasi keagamaan seorang raja Islam Melayu. 

Raja dipandang bukan hanya sebagai penguasa duniawi, tetapi juga sebagai pemimpin spiritual yang mendapat restu Ilahi. 

Nilai ini kemudian diwarisi oleh kerajaan-kerajaan Islam berikutnya, seperti Malaka dan Aceh Darussalam, yang menegaskan identitas Islam Melayu sebagai perpaduan antara kekuasaan, moralitas, dan budaya.

Baca juga: Kolaborasi Unimal dan PNL Desain Signage Kawasan Heritage Samudera Pasai

Simbol Awal Globalisasi Islam

Melalui dua sumber utama--catatan Tome Pires dan Hikayat Raja-raja Pasai--kita dapat menelusuri perjalanan panjang Samudera Pasai dari masa kemunculan, kejayaan, hingga kemundurannya. 

Catatan Pires menggambarkan realitas ekonomi dan politik pada masa akhir kerajaan, sementara hikayat memberikan pandangan spiritual dan kebudayaan yang melatarbelakangi lahirnya kerajaan tersebut. 

Kedua sumber ini saling melengkapi, membentuk pemahaman bahwa Samudera Pasai merupakan mata rantai penting dalam sejarah Islam di Asia Tenggara. 

Dari akar Islam di Peureulak hingga berkembangnya jaringan perdagangan dan dakwah di Pasai, lahirlah fondasi yang kelak menjadi dasar berdirinya peradaban Islam besar di dunia Melayu.

Dalam pandangan abad ke-21, Samudera Pasai dapat dilihat bukan hanya sebagai kerajaan kuno, tetapi sebagai simbol awal globalisasi Islam dan pembentukan identitas maritim Nusantara. 

Dalam konteks modern, Pasai mencerminkan bagaimana pertemuan lintas budaya, ekonomi, dan agama membentuk satu peradaban kosmopolitan yang terbuka dan dinamis di Asia Tenggara.

Pada abad ke-13 hingga ke-15 Masehi, Samudera Pasai berdiri di jalur perdagangan internasional yang menghubungkan Timur Tengah, India, Tiongkok, dan kepulauan Melayu. 

Keterlibatan Pasai dalam jaringan global ini menjadikannya laboratorium awal bagi kosmopolitanisme maritim--ruang di mana pedagang, ulama, dan pemikir dari berbagai bangsa bertemu dan bertukar gagasan. 

Dalam kacamata kontemporer, inilah bentuk awal dari globalisasi kultural, di mana interaksi ekonomi juga melahirkan pertukaran nilai, bahasa, dan keyakinan.

Dengan demikian, Islamisasi Pasai dapat dibaca sebagai proses sosial dan ekonomi yang kompleks, bukan sekadar peristiwa spiritual. 

Islam menjadi bahasa universal yang menyatukan jaringan dagang antarnegara dan memperkuat legitimasi politik kerajaan. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa agama berperan sebagai kekuatan integratif dalam dunia yang saling terhubung — suatu realitas yang terasa kembali relevan di era globalisasi digital saat ini.

Baca juga: VIDEO Monumen Kerajaan Samudera Pasai Rusak dan Tak Terawat

Bukan Sekedar Legenda Religius

Dari sudut pandang historiografi modern, narasi Hikayat Raja-raja Pasai juga dapat dibaca sebagai teks politik dan budaya, bukan sekadar legenda religius. 

Kisah Merah Silu yang mendapat petunjuk Ilahi untuk menjadi Sultan Malik al-Saleh, misalnya, bisa ditafsirkan sebagai strategi membangun legitimasi kekuasaan lokal melalui simbol-simbol Islam universal. 

Pembacaan semacam ini memperlihatkan bahwa Islam di Nusantara tumbuh melalui dialog dan akulturasi budaya, bukan melalui dominasi kekuasaan.

Dalam konteks abad ke-21, sejarah Samudera Pasai menghadirkan pesan yang tetap aktual: bahwa keterbukaan, toleransi, dan kemampuan beradaptasi adalah kunci kemajuan peradaban. 

Seperti halnya Pasai pada masa silam, dunia modern juga dihadapkan pada dinamika global-perubahan ekonomi, pertemuan budaya, dan pencarian identitas. 

Dari sejarah Pasai, kita belajar bahwa kekuatan sejati sebuah peradaban tidak lahir dari kekuasaan militer, tetapi dari jejaring ilmu, kepercayaan, dan kemanusiaan.

Dengan membaca Samudera Pasai dari masa lalu hingga kini, kita menemukan bahwa sejarah bukanlah cerita yang berhenti di masa lampau. 

Ia adalah cermin perjalanan manusia mencari makna di tengah perubahan zaman. 

Samudera Pasai menjadi contoh bagaimana pertemuan antara iman, perdagangan, dan kebudayaan dapat melahirkan peradaban yang inklusif -warisan berharga yang tetap menyala dalam identitas dunia Melayu-Islam hingga abad ke-21.(*)

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Isi artikel dalam Pojok Humam Hamid menjadi tanggung jawab penulis. 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved