KUPI BEUNGOH

Globalisasi dan Alam Gayo: Antara Kemajuan dan Ancaman Hijau

Sektor pertanian, terutama kopi Arabika Gayo, menjadi contoh paling nyata dari pengaruh globalisasi.

Editor: Firdha Ustin
FOR SERAMBINEWS.COM
Rifki Hasan Gayo, Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala. 

Oleh: Rifki Hasan Gayo *)

Menjaga harmoni antara kemajuan dan kelestarian di tanah tinggi Gayo

“Kemajuan sejati bukan ketika hutan ditebang untuk pembangunan, tetapi ketika pembangunan tetap menjaga hijaunya pepohonan.”

Globalisasi telah menjadi arus besar yang tak lagi dapat dihindari oleh masyarakat di seluruh dunia, termasuk bagi penduduk di dataran tinggi Gayo.

Wilayah yang dahulu dikenal tenang, hijau, dan kaya dengan tradisi kini turut merasakan denyut modernitas. Internet, teknologi, dan budaya luar hadir membawa perubahan besar terhadap pola hidup masyarakat.

Di satu sisi, globalisasi membuka ruang bagi kemajuan ekonomi, pendidikan, dan keterhubungan dunia.

Namun di sisi lain, ia juga menimbulkan ancaman serius terhadap kelestarian alam yang selama ini menjadi identitas dan kebanggaan masyarakat dataran tinggi Gayo.

Sektor pertanian, terutama kopi Arabika Gayo, menjadi contoh paling nyata dari pengaruh globalisasi.

Kopi yang telah menembus pasar internasional ini memberi berkah ekonomi bagi petani dan daerah.

Permintaan ekspor yang tinggi mendorong peningkatan produksi, namun juga menimbulkan dilema ekologis.

Lahan hutan yang semula berfungsi sebagai penyangga air dan habitat keanekaragaman hayati kini banyak dialihfungsikan menjadi perkebunan.

Deforestasi ini tidak hanya mengancam keseimbangan ekosistem, tetapi juga memperparah risiko bencana seperti longsor, kekeringan, dan erosi tanah di kawasan pegunungan.

Selain deforestasi, perubahan iklim global kini menjadi tantangan baru bagi kopi Gayo.

Kenaikan suhu dan pola curah hujan yang tidak menentu mulai memengaruhi kualitas serta produktivitas tanaman Arabika.

Kopi yang selama ini tumbuh optimal di suhu sejuk dan ketinggian tertentu kini menghadapi tekanan dari cuaca ekstrem, meningkatnya serangan hama, serta ketidakstabilan musim panen.

Kondisi ini mengancam keberlanjutan ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada komoditas unggulan tersebut.

Globalisasi juga memengaruhi pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat  Dataran Tinggi Gayo.

Dulu, kehidupan masyarakat sangat dekat dengan alam serba sederhana, hemat energi, dan minim limbah.

Kini, produk modern berbahan plastik, makanan instan, serta barang konsumtif semakin mendominasi. Volume sampah rumah tangga meningkat, sementara kesadaran terhadap pengelolaan limbah masih rendah.

Jika tren ini terus berlanjut tanpa edukasi ekologis, bukan tidak mungkin Gayo akan menghadapi krisis lingkungan yang menggerus wajah hijaunya.

Sektor pariwisata pun ikut bergerak cepat dalam pusaran globalisasi.

Dataran tinggi Gayo kini menjadi destinasi favorit wisatawan domestik maupun mancanegara yang ingin menikmati panorama alam, kebun kopi, dan budaya khas masyarakatnya.

Namun, lonjakan wisata tanpa pengelolaan berkelanjutan justru memunculkan persoalan baru: sampah di kawasan wisata, polusi suara, hingga kerusakan vegetasi alami.

Ironisnya, daya tarik utama Tanoh Gayo yang terletak pada keasrian alamnya bisa hilang jika tidak dijaga dengan bijak.

Dari sisi budaya, arus globalisasi juga menggerus sebagian nilai-nilai lokal yang selama ini menjaga harmoni antara manusia dan alam.

Generasi muda kini lebih banyak terhubung dengan dunia luar melalui media sosial, sementara kearifan lokal seperti larangan menebang pohon sembarangan, tradisi gotong royong menjaga sumber air, atau konsep hidup selaras dengan alam mulai terabaikan.

Pergeseran nilai ini menunjukkan bahwa modernitas tanpa akar budaya dapat membuat masyarakat kehilangan jati diri ekologisnya.

Namun, globalisasi sejatinya tidak harus dipandang sebagai ancaman semata. Jika dikelola dengan visi berkelanjutan, ia justru bisa menjadi peluang untuk memperkuat pelestarian lingkungan.

Teknologi modern dapat dimanfaatkan untuk pertanian ramah lingkungan, energi terbarukan, dan promosi wisata hijau yang menghormati alam.

Dengan demikian, kemajuan dan konservasi dapat berjalan beriringan, asalkan ada kesadaran dan kemauan bersama untuk menata arah pembangunan.

Pemerintah daerah bersama masyarakat Gayo perlu memperkuat pendidikan lingkungan sejak dini, serta menanamkan kembali nilai-nilai lokal yang berpihak pada keseimbangan alam.

Setiap kebijakan pembangunan harus mempertimbangkan daya dukung ekosistem dan risiko ekologis jangka panjang.

Generasi muda harus diberi ruang dalam gerakan hijau, baik melalui komunitas, sekolah, maupun inisiatif sosial. Hanya dengan kesadaran kolektif, Tanoh Gayo dapat bertahan di tengah gelombang global yang terus mengalir.

Tanoh Gayo bukan sekadar tanah tinggi yang indah ia adalah simbol keseimbangan antara manusia dan alam.

Di tengah arus globalisasi, kemajuan sejati bukanlah ketika kita mengorbankan hutan demi pembangunan, tetapi ketika kita mampu menjaga hijau daun kopi, jernih air pegunungan, dan sejuk udara yang menjadi napas kehidupan.

Jika masyarakat dataran tinggi Gayo mampu menjaga harmoni ini, maka dataran tinggi tersebut akan terus lestari sebagai perwujudan cinta manusia terhadap bumi di tengah dunia yang kian modern. (*)

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved