Kupi Beungoh
Menjaga Indonesia dari Paham Agama Keras
Fenomena “paham agama keras” ini bukanlah hal baru. Ia merupakan gelombang panjang dari interpretasi literal terhadap teks agama
Pancasila sudah lama menegaskan keseimbangan antara ketuhanan dan kemanusiaan, antara kebebasan beragama dan tanggung jawab sosial.
Namun, di tengah derasnya arus globalisasi dan fragmentasi digital, semangat itu sering kali terlupakan. Sebagian masyarakat lebih percaya pada ceramah viral di media sosial ketimbang pada ajaran ulama moderat yang berpegang pada tradisi keilmuan dan keseimbangan.
Baca juga: Pengelola Masjid Raya Baiturrahman Tidak Tahu Ada Aktivitas Peusijuek ‘Tongkat Pengobatan’
Mengapa paham agama keras begitu mudah menjalar? Jawabannya kompleks. Salah satu sebabnya adalah ketimpangan literasi keagamaan. Banyak umat beragama (terutama generasi muda) yang haus akan pemahaman spiritual, tetapi tidak memiliki fondasi keilmuan yang kuat.
Di sinilah kelompok-kelompok keras itu mengambil peluang. Dengan bahasa yang tegas dan logika sederhana, mereka menanamkan keyakinan bahwa semua persoalan dunia dapat diselesaikan dengan ketaatan literal.
Pendekatan “pintu ke pintu” yang mereka lakukan pun sangat efektif, karena menyentuh sisi emosional masyarakat yang sering kali merasa terabaikan atau kecewa terhadap kondisi sosial.
Dalam konteks ini, tanggung jawab untuk menjaga masyarakat dari paparan paham inkonstitusional tersebut bukan hanya tugas pemerintah, melainkan juga kewajiban moral seluruh warga negara.
Lembaga pendidikan, ormas keagamaan, dan para tokoh masyarakat harus aktif mengisi ruang dakwah dengan pesan damai, bukan hanya di panggung besar tetapi juga di ruang-ruang kecil tempat benih kebencian sering tumbuh.
Dakwah yang humanis, rasional, dan inklusif perlu diperbanyak agar tidak kalah oleh narasi-narasi ekstrem yang beredar tanpa filter.
Kita tidak boleh menutup mata bahwa sebagian besar masyarakat kita masih mudah terpengaruh oleh simbol-simbol keagamaan. Mereka melihat penampilan luar (cara berpakaian, gaya bicara, atau jargon Arab) sebagai tolok ukur keimanan.
Padahal, ukuran keberagamaan sejati bukanlah pada tampilan, melainkan pada akhlak dan kontribusi terhadap kemanusiaan. Nabi Muhammad SAW sendiri menegaskan bahwa seorang mukmin sejati adalah yang mampu memberi manfaat bagi sesama.
Maka, ketika ada kelompok yang mengajarkan kebencian terhadap sesama manusia, jelas mereka telah melenceng jauh dari semangat Islam rahmatan lil ‘alamin.
Lebih dari itu, ancaman paham keras juga bisa merusak sendi kehidupan bernegara. Ketika mereka menolak sistem hukum yang berlaku dengan alasan “tidak islami”, sesungguhnya mereka sedang menolak konsensus sosial yang telah dibangun dengan susah payah. Indonesia bukanlah negara agama, tetapi negara yang berketuhanan.
Prinsip ini menjaga agar agama tetap menjadi sumber moral, bukan sumber konflik. Menolak konstitusi atas nama agama sama saja dengan menolak Pancasila, dan itu berarti menolak keberadaan Indonesia sebagai rumah bersama.
Baca juga: Setahun Rusak, Jalan Blang Seupeung Jeumpa Diperbaiki, Masyarakat Sudah Mudah Melintas
Masyarakat harus kembali menyadari bahwa keberagaman adalah anugerah, bukan ancaman. Setiap agama mengajarkan kasih sayang, penghormatan, dan keadilan. Dalam Islam sendiri, ayat-ayat Al-Qur’an berulang kali menegaskan pentingnya tasamuh (toleransi), tawasuth (moderat), dan ta‘awun (kerjasama).
Nilai-nilai inilah yang perlu diperkuat di tengah arus ekstremisme. Pendidikan agama di sekolah, khutbah di masjid, dan konten dakwah di media sosial hendaknya diarahkan untuk membangun kesadaran kebangsaan dan kemanusiaan.
| Kemandekan Investasi dan Industrialisasi di Aceh, Bagian I |
|
|---|
| Globalisasi dan Alam Gayo: Antara Kemajuan dan Ancaman Hijau |
|
|---|
| Ketika Buku Berdebu, dan Layar Jadi Teman: Masa Depan Perpustakaan di Era Digital |
|
|---|
| Biaya Hidup Melonjak dan Krisis Pekerjaan di Indonesia: Sebuah Tinjauan Filsafat Ilmu |
|
|---|
| Romantisasi Kerja Tanpa Pamrih |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.