Pojok Humam Hamid

Samudra Pasai dan Jalur Rempah: Pusat Dunia di Ujung Utara Sumatra - Bagian XVIII

Samudra Pasai berdiri tepat di jalur rempah dunia, bagian dari sumbu pelayaran antara Samudra Hindia dan Laut Tiongkok Selatan. 

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HO
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh. 

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

SEBELUM istilah “globalisasi” menjadi bagian dari kosakata modern, jaringan perdagangan telah membentuk dunia yang saling terhubung sejak berabad-abad silam. 

Dan jauh di ujung utara Pulau Sumatra, sebuah kerajaan maritim bernama Samudra Pasai pernah menjadi simpul penting dari jaringan besar itu. 

Bagi para saudagar dari Gujarat, Hadramaut, dan Tiongkok, nama Pasai bukan sekadar tempat persinggahan. 

Ia adalah pelabuhan emas di persimpangan angin musim, tempat bertemunya rempah-rempah dari pedalaman dengan mata uang dari seberang lautan.

Samudra Pasai berdiri tepat di jalur rempah dunia, bagian dari sumbu pelayaran antara Samudra Hindia dan Laut Tiongkok Selatan. 

Ia menjadi tempat di mana kapal-kapal dari berbagai penjuru bersandar, mengisi kembali perbekalan, memperdagangkan komoditas, dan bertukar cerita. 

Dari sini, lada dan kapur barus Sumatra dijual ke dunia Islam dan juga ke Tiongkok, sedangkan sutra dan keramik dari Tiongkok ditukarkan dengan tekstil India dan logam Timur Tengah. 

Para saudagar Arab menjadikan Pasai bukan sekadar titik dagang, tetapi juga pos dakwah. 

Maka, aktivitas ekonomi dan penyebaran Islam tidak berjalan terpisah, melainkan saling menopang dan menguatkan.

Baca juga: Samudera Pasai dalam Rihlah Ibnu Batutah, Catatan Sang Musafir dan Tafisran Orientalis – Bagian XVII

Denyut Perdagangan Global

Ketika Ibnu Batutah mengunjungi Pasai pada pertengahan abad ke-14, ia bukan hanya menemukan kerajaan Muslim yang taat dan bersih secara agama, melainkan juga menemukan denyut perdagangan global. 

Dalam Rihlah, ia mencatat kemakmuran wilayah ini dan bagaimana sultan serta rakyatnya tunduk dan taat pada hukum Islam. 

Tapi catatannya yang singkat justru menjadi bukti betapa pentingnya posisi Pasai dalam imajinasi dunia Islam waktu itu. 

Sebuah kerajaan kecil namun bersinar terang di antara gelombang samudra yang tak pernah diam.

H.A.R. Gibb, sejarawan Inggris yang menafsirkan ulang Rihla Ibnu Batutah dengan pendekatan akademik modern, melihat bahwa kehadiran Ibnu Batutah di Pasai bukan kebetulan. 

Ini adalah titik strategis dalam peta dagang dan dakwah dunia Islam. 

Dalam pandangan Gibb, Pasai adalah representasi dari proses Islamisasi yang berlangsung bukan melalui penaklukan, melainkan melalui pelayaran, perdagangan, dan interaksi sosial. 

Ini menjelaskan mengapa Islam yang tumbuh di kawasan ini lebih inklusif, menyerap unsur lokal, dan menampilkan wajah maritim yang kosmopolit.

Perlu dipahami bahwa jalur rempah tidak hanya memindahkan komoditas. 

Ia juga membawa gagasan, bahasa, makanan, pakaian, dan tentu saja agama. 

Dalam jalur yang menghubungkan Afrika Timur, Teluk Persia, anak benua India, Nusantara, dan Tiongkok itu, Samudra Pasai menjadi semacam “ruang transit” bagi pertukaran gagasan dan identitas. 

Kerajaan ini menjadi jembatan antara dunia Islam dan dunia Asia Timur, antara budaya pelaut dan pedagang dengan masyarakat agraris dan kerajaan-kerajaan daratan.

Posisi ini sangat menentukan arah sejarah. 

Orbit Politik dan Spiritual

Sebelum Malaka naik daun, Pasai adalah pelabuhan yang paling dicari. 

Sultan Pasai mengirim utusan ke Delhi dan Kairo, menunjukkan bahwa kerajaan ini telah menjadi bagian dari orbit politik dan spiritual dunia Islam. 

Hubungan ini tidak hanya simbolik, melainkan juga strategis. 

Koin emas yang ditemukan di wilayah Pasai menunjukkan sistem moneter yang telah mapan, dan menunjukkan kemampuan mereka dalam mengintegrasikan ekonomi lokal ke dalam sistem perdagangan global. 

Beberapa ilmuwan bahkan menyebut bahwa koin-koin Pasai adalah di antara mata uang Islam tertua di Asia Tenggara.

Namun jalur rempah tidak hanya membawa kekayaan. 

Ia juga membawa kompetisi. 

Ketika bangsa Eropa, terutama Portugis dan kemudian Belanda, mulai menjelajahi lautan demi menguasai rempah-rempah, posisi Pasai menjadi incaran. 

Kekuasaan maritim yang sebelumnya dijalankan oleh jaringan Muslim mulai digantikan oleh sistem kolonial yang bersenjata. 

Portugis menyerang Pasai pada awal abad ke-16, menandai awal dari apa yang disebut sejarawan sebagai “rempah berdarah.” 

Ini adalah fase ketika rempah menjadi bukan hanya komoditas, melainkan alasan untuk menaklukkan, menduduki, dan mengatur ulang geopolitik maritim Asia Tenggara.

Namun, sebelum invasi itu datang, Samudra Pasai telah meninggalkan jejak yang dalam. 

Pasai adalah contoh bahwa sebuah kerajaan kecil, dengan pandangan ke laut dan jaringan sosial yang terbuka, dapat memainkan peran global. 

Ia adalah bukti bahwa Islam tidak datang dengan pedang, melainkan dengan layar dan kompas. 

Ia adalah cermin dari sebuah masa ketika dunia belum dibelah oleh imperium modern, dan ketika para pelaut lebih percaya pada arah angin dan kejujuran timbangannya.

Pelajaran dari Pasai

Hari ini, nama Samudra Pasai mungkin hanya dikenal di ruang kuliah atau kitab sejarah. 

Namun dalam jejaknya, kita menemukan akar dari kemaritiman Aceh, bahkan Nusantara yang sejati. 

Di sana ada semangat keterbukaan, keberanian menjelajah, dan keberanian untuk menjadi bagian dari dunia yang lebih luas. 

Dalam konteks hari ini, ketika banyak bangsa mencari kembali identitas maritimnya, Samudra Pasai memberi pelajaran bahwa laut bukan pemisah, melainkan penghubung.

Dan pada titik itu, Samudra Pasai bukan hanya bagian dari sejarah Aceh, atau sejarah Islam Asia Tenggara. 

Ia adalah bagian dari sejarah dunia--sebuah simpul peradaban yang pernah membuat Sumatra menjadi pusat, bukan pinggiran.

Sejarah Samudra Pasai menunjukkan bahwa perdagangan global tidak pernah hanya soal barang dan uang, tetapi juga soal jaringan sosial, politik, dan budaya yang saling terkait. 

Pasai, sebagai pelabuhan maritim di ujung utara Sumatra, menjadi titik temu bagi pedagang dari Gujarat, Hadramaut, Tiongkok, dan wilayah lain. 

Di sana, rempah-rempah, tekstil, keramik, dan logam berpindah tangan, tetapi bersamaan dengan itu juga terjadi pertukaran gagasan, bahasa, agama, dan norma sosial. 

Hal ini mencerminkan bahwa perdagangan menciptakan hubungan lintas wilayah yang lebih luas daripada sekadar ekonomi.

Pelajaran dari Pasai relevan bagi abad ke-21, ketika globalisasi membawa integrasi pasar yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

Negara dan perusahaan yang memahami keterkaitan ekonomi internasional dapat memanfaatkan jaringan global untuk pertumbuhan, sementara diversifikasi pasar dan rantai pasok menjadi kunci ketahanan terhadap guncangan ekonomi atau perang dagang. 

Di sisi lain, fenomena deglobalisasi, proteksionisme, dan tarif tinggi mengingatkan kita pada risiko fragmentasi yang pernah dialami Pasai ketika jalur perdagangan strategis dikuasai pihak negara negara penjajah Eropa.

Selain ekonomi, Pasai menegaskan pentingnya diplomasi dan integrasi sosial dalam perdagangan. 

Jalur rempah membawa ideologi, budaya, dan nilai-nilai, menunjukkan bahwa perdagangan yang sukses membutuhkan stabilitas sosial dan hubungan antarnegara yang harmonis. 

Dengan demikian, meneladani Pasai berarti tidak hanya memprioritaskan keuntungan materi.

Untuk hari ini, hikmah Pasai juga mengingatkan bahwa membangun jaringan inklusif, fleksibel, dan berkelanjutan sangatlah penting, agar ekonomi modern tetap tangguh dalam menghadapi tantangan globalisasi, deglobalisasi, dan dinamika geopolitik abad ke-21.(*)

 

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Isi dari artikel ini menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved