Kupi Beungoh

Aceh, Dana Otsus, Janji 10 Triliun, dan Anjuran Fahri Hamzah

Fahri Hamzah, kawan dekat Prabowo menghadiri Ngobrol Opini Terkini (Ngopi) GPS, di Warkop SMEA Premium Jeulingke, Banda Aceh, Minggu 17/11/2025

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Risman Rachman, pemerhati politik dan pemerintahan. 

Oleh: Risman Rachman*)

“Musuh kita bukan kita-kita. Kita harus cari lawan yang sepadan. Jangan yang kecil. Menang malu, apalagi kalah.”

Begitulah kata Fahri Hamzah, kawan dekat Prabowo dalam acara Ngobrol Opini Terkini (Ngopi) GPS. 

Lokasinya Warkop SMEA Premium Jeulingke, Banda Aceh, Minggu 17 September 2023. 

Ada banyak orang hebat yang mendengar. 

Ada Irwandi Yusuf mantan Gubernur Aceh. 

Ada juga Sofyan Dawood mantan Jubir GAM. 

Pemandu diskusi pagi itu adalah Akmal Abzal.

“Aceh hari ini beda sekali. Sudah tumbuh dan berkembang. Dulu, tidak ada kehidupan. Baik malam, maupun siang.” 

Begitu pengakuan Fahri Hamzah yang kini dipercaya sebagai Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman. 

“Tinggal sekarang ini adalah keberanian kita untuk mengakui bahwa agresifitas kita untuk mengejar ketertinggalan harus lebih tinggi.” 

Peserta yang mendengar umumnya tertawa. Tapi, ada juga yang diam, terasa seperti “ditampar” oleh Fahri Hamzah.  

Waktu itu, saya fokus merekam. 

Katanya, masa depan kita bukan pada anggaran negara. Tapi pada kegiatan bisnis masyarakat. 

Menurut Wamen yang mengunjungi Aceh dalam upaya membahas dukungan Pusat untuk perumahan dan pemukiman di Aceh bersama Kadis Perkim T Aznal Zahri ini, pengaruh anggaran negara itu kecil pada ekonomi. 

“yang besar itu pada kegiatan masyarakat,” ujarnya. 

Pernyataan Fahri itu merespon keluhan tentang Aceh yang masih miskin, banyak pengangguran, sementara Dana Otsus akan segera berakhir pada 2027. 

Dan, saya kaget dan seperti tertampar lagi walau yang lainnya tertawa saat Fahri mengutip angka IPM Aceh. 

“Saya baca IPM Aceh di atas rata-rata nasional. Jadi, ini keluhan publik atau keluhan pribadi. Kalau keluhan pribadi kita selesaikan masing-masing. Jangan urusan pribadi kita jadikan urusan publik, ndak boleh,” kata Fahri. 

Fahri lantas mengingatkan tentang posisi Aceh. 

Aceh itu, kata Fahri punya sejarah yang besar. 

“Aceh itu terlalu besar. Dia peradaban masa lalu yang kalau menjadi etalase dunia dia (Aceh) berhak.”

Dan, Fahri berpesan, banyak orang pingin berbisnis di Aceh. 

“Tapi, jangan  cuma bisnis sumber daya alam, bisnis yang lain juga,” tutup Fahri. 

Kita, kata Fahri sudah melewati tiga kali Pilkada sejak damai. 

Pilkada 2024 ini, jadi 4 (empat) kali. 

Dan, di keempat Pemilu ini, energi kita habis untuk bertengkar dengan sesama kita. 

Padahal, baik peserta, pengusung, maupun penyelenggara, semuanya kawan. 

Tapi, energi yang kita habiskan justru mengintip kelemahan untuk menjatuhkan. 

Emosi akhirnya membuat kita tidak mau lagi melihat isi kepala (visi, misi, program) kandidat yang disusun oleh tim suksesnya. “Padahal, di situlah pertengkaran pikiran harus dilakukan,” tambahnya, saat itu. 

***

Pernyataan Fahri itu jelas bukan sekadar retorika politik, melainkan sebuah tamparan data yang wajib diakui oleh publik Aceh. 

Kini, dengan ancaman darurat anggaran 2026 di depan mata, di mana pendapatan Aceh tinggal sebesar Rp 9,969 triliun, pesan Fahri menjadi semakin relevan untuk dipegang. 

IPM di Atas Nasional: Tamparan Pertama

Saat Fahri melontarkan kritiknya, ia mengutip fakta yang sering diabaikan: "Saya baca IPM Aceh di atas rata-rata nasional."

Fakta BPS per 2024/2025 membuktikan hal itu. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh mencapai 76,23, melampaui rata-rata nasional sebesar 75,90. 

Angka ini menegaskan bahwa secara fundamental, kualitas sumber daya manusia, kesehatan, dan pendidikan di Aceh sudah berada di kategori Tinggi. 

Keberhasilan ini meredam keluhan bahwa Aceh masih terpuruk total, sebaliknya, membuktikan bahwa fondasi pembangunan manusia sudah kuat, dan itu jelas ada kontribusi dana Otsusnya, yang saat ini masih terus dipertanyakan, termasuk oleh Benny K Harman baru-baru ini. 

Baca juga: IPM Aceh Tahun 2022 Naik Lagi, Pendapatan per Kapita Orang Aceh Tumbuh 4,08 Persen

Laju Pemulihan Tercepat Berkat Otsus

Kualitas SDM yang tinggi ini dicapai tentu melalui perjuangan yang luar biasa, yang tidak terlepas dari dukungan damai Aceh yang ikut ditopang oleh Dana Otsus. 

Bayangkan, Aceh memulai dari titik terburuknya di tahun 2005, di mana kemiskinan mencapai puncaknya 32,60 persen akibat konflik dan Tsunami.

Berkat dukungan Dana Otonomi Khusus (Otsus), Aceh berhasil menciptakan akselerasi ekonomi yang dramatis. 

Hingga September 2024, kemiskinan telah turun menjadi 12,64 persen. 

Penurunan absolut sebesar 19,96 poin persentase ini menjadikan laju penurunan kemiskinan di Aceh sekitar 2,70 kali lebih cepat dibandingkan rata-rata nasional dalam periode yang sama. 

Laju ini adalah bukti nyata efektivitas Dana Otsus dalam proses catch-up ekonomi dan pemulihan daerah.

Meskipun laju penurunannya tercepat dan IPM-nya tinggi, harus diakui angka kemiskinan absolut Aceh (12,64 persen) masih jauh di atas rata-rata nasional (8,57 % ) dan tergolong tinggi di Sumatera.

Mengkritik angka absolut yang tinggi ini secara "telanjang" jelas tidak adil. 

Angka tersebut adalah cerminan dari ketertinggalan struktural historis yang diwarisi dari konflik dan bencana. 

Ketika Aceh memulai berlari mulai 2008, provinsi lain sudah lebih dahulu berjalan. 

Kini, tantangan terbesar bukanlah lagi masa lalu, melainkan masa depan yang terancam darurat fiskal. 

Dana Otsus diprediksi turun drastis hingga sekitar Rp 9 triliun pada tahun 2026. 

Dengan kondisi anggaran yang tergerus habis untuk belanja wajib, belanja penunjang dan belanja prioritas sehingga program-program pembangunan visioner yang termuat dalam visi misi Pemerintah Aceh terancam tidak memiliki alokasi anggaran yang memadai alias belum tertampung. 

Baca juga: Kekonyolan Bobby dan “Hikayat Ketergantungan”: Yunnan, Bihar, Minas Gerais, dan Aceh

Kunci Agresivitas: Melawan Ketergantungan

"Masa depan kita bukan pada anggaran negara. Tapi pada kegiatan bisnis masyarakat," tegas Fahri Hamzah.

Pesan ini menjadi kunci. 

Keberhasilan Aceh hingga hari ini didorong oleh transfer dana. 

Tugas para elit Aceh dan seluruh energi politiknya--yang seringkali habis untuk "bertengkar dengan sesama"--harus diubah menjadi agresivitas dalam membangun ekonomi sektor riil.

Aceh harus berani berinvestasi agresif pada hilirisasi sumber daya, menciptakan sistem perizinan yang paling efisien, dan menjadi tujuan investasi swasta terbaik di Sumatera. 

Hanya dengan begitu, penurunan kemiskinan yang cepat dan IPM yang tinggi dapat dipertahankan. 

Masalahnya, agresifitas yang diperlihatkan oleh Gubernur Aceh, mengharuskan tim SKPA kunci juga perlu bergerak cepat dan tangkas. 

Waktu Aceh untuk bertransisi dari ekonomi berbasis fiskal ke ekonomi berbasis rakyat kini tinggal menghitung bulan menuju masa penentuan nasib Dana Otsus. 

Masa depan Aceh ditentukan oleh seberapa agresif daerah mampu menciptakan mesin ekonomi mandiri sebelum sumber pendanaan utama mengering. 

Itulah "lawan sepadan" yang sesungguhnya sebagaimana diingatkan Fahri Hamzah

Tentu saja kabar baik yang disampaikan Gubernur Aceh terkait dukungan 8 triliun dan 2 triliun dari Presiden Prabowo patut disyukuri. 

Namun itu semua bukan seperti membalik telapak tangan. Sekda Aceh harus cukup cakap untuk menggerakkan tim SKPA utama. 

Dan, tentu saja tidak boleh memadamkan agresifitas Aceh dalam mewujudkan sektor ekonomi ril seperti yang disarankan Fahri Hamzah.(*)

*) PENULIS adalah Pemerhati Politik dan Pemerintahan. Berdomisili di Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved