Kupi Beungoh

Melupakan MoU Helsinki, Apa Tidak Salah Bung Benny K. Harman? 

MoU Helsinki bukan sekadar dokumen, melainkan narasi besar baru yang memberi rakyat Aceh mimpi tentang kesejahteraan

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/IST
Risman A Rahman, Pemerhati Politik dan Pemerintahan. 

Ikrar damai yang disepakati di desa Lamteh, Banda Aceh pada tanggal 8 April 1957 antara pemerintah Republik Indonesia dan DI/TII Aceh, lahir dari kelelahan rakyat dan keinginan untuk menutup luka.

Perjanjian ini merupakan bagian penting dari sejarah Aceh dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah pusat Indonesia dengan Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Tgk Daud Beureueh.

Meski gagal bertahan lama karena lemahnya dukungan politik dan minim legitimasi, Ikrar Lamteh tetap penting sebagai bukti bahwa rakyat Aceh tidak hanya tahu cara melawan, tetapi juga pernah berusaha berdamai.

MoU Helsinki adalah kelanjutan sekaligus koreksi.

 BACA JUGA: Salah Paham tentang Ikrar Lamteh

Jika Lamteh gagal, Helsinki berhasil karena ia memiliki legitimasi internasional, dukungan politik nasional, dan komitmen moral dari kedua belah pihak. 

MoU Helsinki bukan sekadar dokumen, melainkan narasi besar baru yang memberi rakyat Aceh mimpi tentang kesejahteraan dalam bingkai NKRI. 

Ia adalah halaman baru yang ditulis bersama, bukan hanya oleh Aceh, tetapi juga oleh Indonesia, juga dunia. 

Di sana ada banyak nama, bukan hanya SBY dan Jusuf Kalla. 

Bukan juga cuma Malek Mahmud, Zaini Abdullah dan lainnya. 

Ada juga nama-nama dari berbagai negara. 

Ada Marttti Ahtisaari, Juha Cristensen, Pieter Feith, dan banyak nama lainnya. 

Narasi damai ini adalah energi baru. 

Sebagaimana Yuval Noah Harari menekankan, manusia bertahan hidup karena imajinasi kolektif. 

Yuval Noah Harari adalah sejarawan dunia yang terkenal dengan buku Safiens. 

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved