Kupi Beungoh
Ice Melon dari Aceh, Inovasi Medis Mendunia
Ice Melon Aceh sebuah inovasi yang lahir dari ruang operasi dalam menghadapidari kebutuhan nyata pasien anak
Oleh: Prof. Rajuddin, dan Prof. Ali Baziad
Dalam beberapa beberapa hari yang lalu, dua kabar ilmiah dari Banda Aceh muncul di ruang public yaitu inovasi teknik operasi bernama Ice Melon Aceh yang dipresentasikan di World Congress of Pediatric Surgery (WOFAPS) 2025 di Turki, dan hasil penelitian molekuler terbaru mengenai penyakit Hirschsprung yang dilakukan oleh Dr.dr. Munthadar, Muhammad Isa, SpB.,Subsp.Ped, tim dari Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala dan RSUD dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh.
Sekilas, keduanya tampak berbeda yang satu berbicara tentang inovasi teknik bedah, yang lagi tentang tentang penelitian ekspresi gen penyakit Hirschsprung. Namun sesungguhnya, keduanya bercerita tentang hal yang sama yaitu kebangkitan budaya riset dan inovasi di daerah yang selama ini hanya menjadi pengguna teknologi, bukan produsen pengetahuan medis.
Ice Melon Aceh sebuah inovasi yang lahir dari ruang operasi dalam menghadapidari kebutuhan nyata pasien anak dengan kelainan bawaan usus penyakit Hirschsprung. Selama puluhan tahun, operasi jenis ini dilakukan secara kompensional dalam dua atau tiga tahap.
Teknik Ice Melon Aceh menawarkan solusi satu tahap yang lebih aman, lebih murah, dan lebih manusiawi. Bukan hasil hibah teknologi asing, tetapi buah ketekunan dari tim dokter Munthadar.
Baca juga: Layanan Bedah Anak RSUDZA Dilirik Dunia, Berkat Inovasi “Ice Melon Aceh” di WOFAPS 2025 Turki
Inovasi Teknik Ice Melon Aceh
Berawal dari penelitian yang dilakukan oleh Dr. dr. Munthadar Muhammad Isa, SpB., Subsp.Ped dari Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala dan RSUDZA Banda Aceh memperkuat temuan tersebut. Selama empat tahun (2019–2023), tim peneliti menganalisis jaringan operasi 57 pasien Hirschsprung dan membandingkannya dengan 19 jaringan kontrol non-Hirschsprung.
Berbeda dengan penelitian tradisional yang fokus pada teknik operasi, penelitian ini menyoroti empat gen utama yaitu gen RET, NRG1, SEMA3C, dan RARB yang berperan dalam pembentukan sistem saraf usus sejak masa embrio. Penelitian ini dilakukan pada populasi anak-anak etnis Aceh, kelompok yang selama ini diketahui memiliki angka kejadian Hirschsprung lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional.
Temuan ini menjadi sangat signifikan karena penurunan ekspresi gen tidak hanya terjadi pada segmen usus yang tidak memiliki sel saraf, tetapi juga pada bagian yang secara histologis dinyatakan “normal.” Fakta tersebut memperkuat teori global bahwa Hirschsprung bukan sekadar kelainan yang terbatas pada satu area anatomi, melainkan merupakan gangguan perkembangan sistem saraf usus yang bersifat menyeluruh.
Hirschsprung adalah kelainan bawaan yang menyebabkan sebagian usus besar tidak memiliki sel saraf (aganglionosis), sehingga sistem pencernaan bayi tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Akibatnya, bayi tidak dapat buang air besar sejak lahir, perutnya membesar, muntah berwarna hijau, hingga mengalami infeksi usus berat yang dapat berujung pada kondisi gawat darurat.
Mengapa hal itu terjadi masih menjadi pertanyaan ilmiah besar, dan penelitian mulai membuka pintu ke arah jawabannya. Hasil penelitian Dr Munthadar menunjukkan pola yang konsisten terhadap ekspresi keempat gen yaitu gen RET, NRG1, SEMA3C, dan RARB mengalami penurunan bermakna pada jaringan pasien Hirschsprung dibandingkan jaringan kontrol.
Temuan ini paling menonjol pada gen RET dan gen RARB, dua regulator penting dalam migrasi dan diferensiasi sel saraf enterik selama perkembangan janin. Dengan kata lain, gangguan pada tingkat mekanisme molekuler dini dapat menjadi kunci mengapa sel saraf gagal mencapai seluruh panjang usus secara menyeluruh (global enteric nervous system dysregulation).
Baca juga: Ramai Isu BSU BPJS Ketenagakerjaan Tahap II Cair November 2025, Benarkah? Ini Penjelasan Menaker
Prevalensi Hirschsprung tinggi di Aceh
Pandangan ini sejalan dengan kajian internasional yang mulai menempatkan Hirschsprung dalam kelompok penyakit neurokristopati, kelainan yang berkaitan dengan gangguan migrasi sel turunan neural crest. Dimensi ilmiah penelitian ini semakin bernilai karena melibatkan populasi Aceh, wilayah yang dalam sejumlah laporan epidemiologi menunjukkan kecenderungan prevalensi Hirschsprung lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional.
Faktor genetik, struktur populasi, hingga kemungkinan adanya founder effect yaitu kondisi di mana variasi gen tertentu bertahan dan menguat dalam kelompok populasi tertutup kini menjadi hipotesis ilmiah yang layak diuji dalam studi lanjutan. Selain memberikan kontribusi penting bagi pemahaman dasar penyakit, temuan ini membuka peluang penerapan klinis di masa depan.
Apabila pola ekspresi gen ini dapat divalidasi melalui penelitian multi-senter dan dikembangkan menjadi panel diagnostik, diagnosis Hirschsprung berpotensi dilakukan lebih awal bahkan sebelum bayi mengalami komplikasi berat seperti enterokolitis atau obstruksi usus.
Lebih jauh lagi, pemahaman mengenai mekanisme molekuler penyakit dapat menjadi fondasi menuju pendekatan precision medicine di bidang bedah anak, yaitu terapi yang disesuaikan dengan karakter biologis individual pasien, bukan semata berdasarkan gejala klinis.
Dengan demikian, studi ini bukan hanya laporan ilmiah, tetapi sebuah langkah awal menuju perubahan cara memahami dan menangani Hirschsprung dari penyakit yang ditangani setelah muncul gejala, menjadi penyakit yang suatu hari dapat dideteksi, diprediksi, bahkan dicegah melalui pendekatan biologis dan molekuler yang lebih presisi.
Baca juga: Daftar Negara yang Lolos 8 Besar Piala Dunia U17 2025, Prancis dan Inggris Tersingkir
Mengapa Aceh Menjadi Penting dalam Kajian Ini?
Hingga kini, sebagian besar penelitian genetika terkait penyakit Hirschsprung berasal dari Eropa, Tiongkok, dan Jepang. Sementara itu, kajian pada populasi Asia Tenggara termasuk Indonesia masih sangat terbatas. Padahal, perbedaan latar genetik antar populasi dapat memengaruhi kerentanan penyakit, variasi gejala klinis, hingga respons terhadap terapi.
Dengan demikian, studi berbasis populasi lokal tidak hanya melengkapi peta ilmiah global, tetapi juga sangat relevan bagi pengembangan strategi klinis yang lebih presisi. Penelitian ini menunjukkan bahwa pola ekspresi gen pada pasien Hirschsprung di Aceh sejalan dengan tren global.
Namun terdapat satu temuan yang menarik perhatian yaitu ekspresi gen RARB, yang berperan dalam jalur asam retinoat (vitamin A) selama pembentukan sistem saraf, tampak menonjol sebagai penanda penting dalam populasi ini.
Temuan tersebut memunculkan pertanyaan ilmiah lanjutan: Apakah peran dominan gen RARB ini dipengaruhi faktor genetik khas etnis Aceh? Ataukah ada kontribusi faktor lingkungan, termasuk pola nutrisi ibu hamil, paparan biologis, atau struktur populasi yang relatif homogen?
Pertanyaan-pertanyaan ini belum memiliki jawaban pasti dan membutuhkan penelitian lanjutan, baik melalui studi genetik populasi, analisis epigenetik, maupun pendekatan multi-variabel yang menghubungkan data klinis, lingkungan, dan molekuler.
Namun yang jelas, temuan awal ini memberikan dasar yang kuat bahwa Aceh bukan sekadar bagian dari peta epidemiologi penyakit Hirschsprung, melainkan salah satu lokasi yang memiliki karakter genetik unik dan layak menjadi pusat referensi kajian genetika medis di Indonesia.
Dalam konteks kesehatan jangka panjang, ini bukan hanya kontribusi bagi ilmu pengetahuan global, tetapi juga peluang untuk merancang model deteksi dini, pencegahan, dan terapi yang lebih sesuai dengan karakteristik biologis masyarakat Aceh.
Penutup
Apa yang terjadi di Aceh dalam beberapa waktu terakhir memberi pesan yang penting namun sering terlupakan: Indonesia tidak pernah kekurangan sumber daya manusia unggul. Yang kita butuhkan bukan sekadar alat canggih atau gedung megah, tetapi ekosistem yang memberi ruang bagi rasa ingin tahu.
Keberanian bereksperimen, dan keyakinan bahwa inovasi dapat lahir dari mana saja termasuk dari wilayah yang pernah luluh lantak oleh bencana tsunami. Karena itu, pertanyaan utama hari ini bukan lagi: bisakah Indonesia menghasilkan inovasi kedokteran kelas dunia? Jawabannya sudah tampak nyata di Banda Aceh.
Apakah kita siap membangun sistem yang memastikan inovasi semacam ini menjadi bagian dari budaya ilmiah yang berkelanjutan?
Jika jawabannya ya, maka apa yang terjadi di ruang operasi dan laboratorium penelitian RSUDZA bukan titik akhir, melainkan penanda awal fase baru dalam perjalanan ilmu kedokteran Indonesia yang lebih percaya diri, lebih berbasis riset, dan lebih relevan bagi kemanusiaan.
Penulis adalah GGuru Besar Universitas Syiah Kuala dan Guru Besar Universitas Indonesia
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
| Wahai Umat Islam: Mari Saling Peduli Menjaga Generasi Dari Bahaya HIV/AIDS Karena Zina dan LGBT |
|
|---|
| Retak Harmonisasi Kampus: Lemah Kebijakan Manajemen Konflik Perguruan Tinggi |
|
|---|
| Membaca Ulang “Semak Liar/Nipah”sebagai Masa Depan Ekonomi Hijau Aceh Barat |
|
|---|
| Gula Darah Melonjak, Tubuh Mengirim Sinyal Bahaya |
|
|---|
| Melupakan MoU Helsinki, Apa Tidak Salah Bung Benny K. Harman? |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.