Mengenang Tsunami
Selamat Jalan Syuhada Tsunami
Tanpa Kusadari, tanganku menulis coretan ini, menjawab puisimu.
ANAKKU Dedek Radhi, 6 Desember 2011, hari kelahiranmu tidak ada ucapan selamat dari orang-orang yang kau sayangi Nyanyak, Papah, Cut Abang, Cut Ngoh, Polem, Cut Adek, Kak Ida, Kak Shila, Kak Nana dan para keponakanmu, karena dunia kita kini berbeda, engkau pergi sebagai syuhada tsunami pada 26 Desember 2004. Demikian juga kemarin tanggal 2 Desember 2011, ulang tahun adikmu Cut Rai Han dan kini kalian telah bersama berdua di alam Barzah.
Aku baru menyelesaikan shalat subuhku pagi ini, tafakur diam anak lelakiku Dedek Rahdhi dan akan perempuanku satu-satunya, keduanya telah pergi mendahului diriku kepangkuan ilahi, keduanya lahir di Tanah Rencong tercinta ini pada tanggal 2 Desember dan 6 Desember dan hanya mereka berdua yang lahir di sini. Hingga hari ini aku belum bisa memecahkan makna di balik tanggal 2 Desember dan 6 Desember tersebut hari kelahiran mereka berdua dan begitu juga dengan tsunami tanggai 26 Desember 2004, orang mengatakan itu kebetulan saja, tetapi bagi diriku tidak demikian, pikiranku melayang jauh kebelakang kembali Minggu 26 Desember 2004, Jumat 22 Desember 2004, aku bersama suamiku berangkat ke Medan.
Dedek Radhi mengantar kami ke Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Aceh Besar, kukatakan padanya, “Dedek ngak usah menunggu keberangkatan kami, nanti ada razia di jalan.” Seperti biasa Dedek menyalami kami berdua dan kucium pipi dan dahinya.
Ketika aku hendak masuk ke pintu bandara kulambaikan tanganku pada Dedek Radhi tetapi Dedek Radhiku menatap dengan pandangan yang kosong kepadaku dan dari jauh aku terus melambaikan tanganku tetapi Dedek Radhiku hanya menatap dengan pandangan kosong tanpa sekalipun membalas lambaian tanganku. Dan aku ditegur suamiku "Ayo Masuk" dan kukatakan Kenapa Dedek melihatku dengan pandangan yang kosong yang dan tidak membalas lambaianku ...dan siapa yang pernah melihatku dengan pandangan seperti itu dan tadi malam ketika aku baca kan surat Al-Ikhlas untuknya, aku tak bisa membayangkan wajahnya, padahal Dedek Radhi tidur di kamar sebelah. Pukul 02.00 dini hari aku hubungi Ayang anakku yang sedang menuntut ilmu di Keudah Malaysia, dan kuceritakan kejadian ini, dia juga mencoba membaca surah Al-Ikhlas dan mengirim keadiknya dan sama sepertiku juga tak bisa membayangi wajah adiknya “Kita berdoa saja,” katanya kepadaku.
Malam itu. ...kegelisahan merayapi seluruh sendi-sendiku. Sampai Minggu 26 Desember 2004, ketika aku shalat Dhuha di Medan gempa datang dan kupikir biar selesai rakaat terakhirku dahulu baru aku keluar. Tetapi tiba-tiba aku hampir terjerembab ke lantai, goyangan sangat keras, aku berlari keluar sekitar 20 menit goyangan gempa berhenti aku semakin gelisah dan berlari menuju rumah, kucoba menelpon ke Banda Aceh atau siapa saja yang bisa aku hubungi di Banda Aceh, semuanya gagal, aku berteriak “Bang buka siaran Metro TV!” langsung terbaca “Gempa melanda Aceh, kuala Tripa Ambruk.”
Astaghfirullah anak-anaku di Banda Aceh Dedek dan Cut Adek. Kuhubungi Zul di Bandara Polonia Medan memesan tiket ke Aceh, yang ada hanya kelas VIP, selang 10 menit Zul menelpon kembali pesawat dari Medan yang menuju Banda Aceh pulang kembali ke Medan tak bisa mendarat Bandara penuh air.
Aku bergegas ke jalan Majapahit ke Bus Kurnia, masih ada tempat berdua dan suami kularang ikut, besok saja naik pesawat sebab pada saat itu keadaan di jalan Medan-Banda Aceh tidak kondusip banyak teror dan penculikan di perjalanan.
Jam 12.00 siang Bus Kurnia berangkat, aku berdua Mar anak yatim yang tinggal bersamaku.
Di perbatasan Besitang aku mulai bertanya-tanya, kenapa pemeriksaan tidak ada, dan tidak ada satu pun aparat di sana. Sepanjang perjalanan memasuki Aceh Timur Bus Kurnia sebentar sebentar berhenti untuk menaikkan penumpang. Bus Kurnia penuh sesak dan berjalan sangat perlahan. Pukul 18.00 sore kami memasuki daerah Idi, penumpang terus memaksa untuk dapat diangkut dengan Bus. Dan jeritan Histeris dari seorang wanita yang baru naik menyadarkan diriku. Wanita tersebut terus berteriak- teriak memanggil suami dan anak -anaknya yang tinggal di Lhokseumawe yang menjadi korban air laut.
Suasana sore menjelang malam yang mencekam, jeritan kepiluan dan mayat-mayat diletakkan hampir sepanjang jalan. Orang-orang di luar Bus dengan membawa obor terlihat jelas mengangkut mayat- mayat.
Sampai di Lhokseumawe bus Kurnia berhenti aku mendapat kabar, di Lhokseumawe korban telah mencapai tiga ribu orang dan di Banda Aceh lebih banyak lagi. Aku berlari-lari mencari wartel mencoba menghubungi Banda Aceh ke rumah, tetapi tidak bisa, aku hubungi Medan Alhamdulillah tersambung aku katakan kepada sauamiku, besok seandainya tidak ada pesawat ke Banda Aceh, abang harus tetap pulang naik apa saja, mungkin sambung-sambung kendaraan. Harus pulang, kita tidak tau situasi Banda Aceh, menurut orang-orang korban di Banda Aceh sangat banyak. Setelah menelpon aku tak mengerti muntah terus- menerus, setelah lega aku naik kembali ke Bus Kurnia, aku seperti kapas tidak bertenaga, aku hanya membaca surat AI-Ikhlas dan berdoa kepada-Nya "Ya Rabb, ketika kecil anak-anakku aku bungkus dengan kain dan hari ini aku bungkus mereka berdua dengan kalimat tauhidmu. Selamatkan anak-anakku, dan kepada Mar aku katakan dalam bahasa Aceh
"Mar Droe Aneuk Yatim Kameu do'a aneuk metuah agar Mak dan Keluarga Tanyoe selamat Mandom- mandom, doa aneuk Yatim Isya Allah geuteurimong.”
Kami menangis berdua, tetapi dari jauh aku melihat bapak sopir juga sebentar sebentar mengusap mata dengan handuk. Ketika Bus Kurnia tiba di Lambaro jam menunjukkan pukul 02.55 Wib menit dini hari, Bus berhenti dan bapak sopir turun menuju Kantor PMI (Palang Merah Indonesia), keadaan gelap gulita, samar-samar terlihat dari jauh kantong-kantong berwarna kuning memenuhi seluruh halaman. Kami melihat kesibukan yang luar biasa.
Satu jam kemudian sopir kembali, baru kami mengetahui dari pak Sopir, kantong-kantong yang berwarna kuning itu semua berisi mayat dan yang ditutup koran juga mayat-mayat. Pak sopir mencari anaknya di antara mayat-mayat, anaknya masih kuliah di Darussalam.
Pukul 04.00 Wib pagi kami sampai di Terminal Setui, sepanjang jalan ke terminal, kiri kanan diletakkan mayat-mayat, ada yang ditutup ada juga yang tidak ditutup. Kota seperti kota mati gelap gulita dan bus berhenti di depan Masjid Mekeutop. Sekali-kali gempa datang, terdengar teriakan-teriakan histeris anak-anak dari arah masjid satu beca lewat menuju masjid dan kata orang membawa mayat.