Mengenang Tsunami

Selamat Jalan Syuhada Tsunami

Tanpa Kusadari, tanganku menulis coretan ini, menjawab puisimu.

zoom-inlihat foto Selamat Jalan Syuhada Tsunami
dok serambi

Aku turun dari bus dengan Mar, ada beca kedua, kustop dan meminta di antarkan ke Ajun Jempit dan penarik becak itu menjawab tidak bisa lewat dari Lamteumen. “ Bapak Ion baroe poh 12 ceut uroe dari Medan, ka poh limong bengeuh goh trok u rumoh, menyoe hanjut lewat cit, Ion truen di sinan.”

Alhamdulillah bapak becak mau mengantar kami, sepanjang jalan di ketapang, kami melihat orang-orang tidur di jalanan, hatiku berdetak ketika hampir sampai ke rumah, di depan, Reed Cross atau Palang Merah Internasional sebatang pohon tumbang dan ujung pohon tersebut menutupi jalan, kemungkinan besar becak tidak dapat lewat, aku turun dari becak dengan hati yang tidak menentu, kepegang ujung ranting yang menutupi jalan, ya Allah bantu kami aku sangat lemah dan aku tak sanggup jalan kaki, bantu kami ya Allah agar becak bisa lewat. Aku katakan pada bapak becak, coba lewat bapak, pelan-pelan. Aku lihat muka si Bapak cemberut tapi becaknya dijalankannya juga. Entah bagaimana akhirnya becak kami bisa melewati pohon terebut, sampai di rumah, setelah membayar ongkos becak aku katakan kepada si papak penarik becak. "Insya Allah, Droen Akan gebantu Allah".

Di keremangan pagi aku masuk ke rumah dan aku hanya melihat pak Fauzi besanku bersama dua orang lelaki. Satu orang pun penghuni rumah tidak ada. Aku terduduk dan berkata

"Pak Ka Habeh Mandom Pak" hana Buk, aneuk mit jiwoe u Gampong Indrapuri, menan cit Cut Adeuk. Dedek Radhi pat, hana ge woe lom dari Paroy. "Subhanallah anakku lima belas meter di depan laut".

Gempa menggoyangkan rumah, aku tidak bisa berjalan lagi, hanya duduk di kursi tamu, aku melihat guci-guci dari keramik pecah di depan mataku begitu juga piring-piring antik yang ada pada pajangan, mana yang dikatakan Dedek Radhi nggak boleh, semuanya hancur berkeping- keping karena guci ada gambar ular yang timbul keluar, begitu juga dengan piring- piring antik.

Pukul 12.00 Wib siang aku mendengar suara kendaraan di luar, aku keluar dan kulihat suamiku bersujud di tanah baru datang dari Medan.

Aku menangis dan memeluknya, “Dedek Radhi bang, Dedek Radhi,”

Secara berurutan anak-anakku dari Kuala Lumpur, Keudah dan Jogjakarta pulang Ke Aceh.

Tidak pernah kurasakan pedih seperti ini, aku antara sadar dan tidak sadar, menanti kepulangan Dedek Radhi dari Paroy, mulutku terus menerus membaca surat AI-Ikhlas untuknya sampai hari ketiga tsunami, Rabu siang tepat pukul 12.00 Wib aku berdiri tersentak air laut di Dodik dari Ulee Lhee dan air laut dari Lhoknga. Jarak dari rumah tidak sampai 1 km, mengapa air tidak sampai ke sini kata orang pada saat tsunami ada orang berpakaian putih menadahkan tangan kelangit berdoa dan aku baru saja membaca tentang “Aulia Allah bulan lalu" dan ada hadistnya isinya antara lain:

“Jangan Hina Aulia Allah karena Allah sendiri yang akan membalasnya kepada orang yang menghina aulianya,"

Bukankah dari cerita yang kudengar, ketika di peringatkan jangan lakukan semua.... itu di kuburan Syiah Kuala dan...... Berapakah kekuatan orang yang sudah mati? Aku tersentak bangun dan menuju ke tempat orang yang menadahkan tangan ketika tsunami.

"Ya Allah bila aku salah datang kemari, jangan aku dihukum dengan dosa syirik, ya Allah aku datang ketempat Auliamu, dengan keberkatan auliamu, tunjukkan dimana anakku, bila telah kembali padamu, tunjukkan dimana jasadnya, ya Allah tunjukkan kebesaranmu padaku mudah-mudahan penguat imanku, bila benar ada darah auliamu pada darah anakku tunjukkan di mana anakku.

Aku rela takdir-Mu dan tiba-tiba suara pesawat yang sangat kencang terdengar keluar di sekitarku, aku terduduk di tanah sampai suara itu hilang aku melihat istri Wak Den di sampingku sudah putih pias seperti kapas, mana dalam keadaan hamil enam bulan suaminya pergi bersama anakku, ku hampiri dan kupeluk, “ Ndun ini Nyanyak Neuk,” gambit menunjukkan ke arah pohon yang kebetulan berlubang di tengahnya. Dan itu Nyanyak ada tapi nggak nampak, aku hanya menjawab, mudah-mudahan jawaban dari alam gaib untuk kita.

Ketika kutoleh ke sebelah kiriku kulihat Nyak Na istri Anak angkatku Jamal telah pias putih seperti kapas juga, kuhampiri dan kupeluk juga Nyak Na nyoe Nyanyak, gambit menunjuk ke arah yang sama Nyak Na mengatakan "Na Sue Me Antoek" aku mengajak pulang hampir Dhuhur, aku khawatir apabila berlama-lama ada yang pingsan.

Sejak pulang dari situ aku yakin anakku telah tiada, dan aku tidak terkejut lagi ketika sore hari aku mendapat kabar, Dedek Radhiku telah meninggal dan di kubur di kebun sendiri di Paroy.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved