Kupi Beungoh

Tes Massal Covid-19 di Aceh, Kebutuhan Atau Hanya Keinginan Menghabiskan Anggaran?

Lalu pertanyaan menjadi lebih mendalam, jika hasil tes seseorang negatif, apakah bisa menjamin orang tersebut tidak lagi terinfeksi virus corona?

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Muhammad Daud, SKM., M.Si, Ketua Lembaga Komunitas Kesehatan Aceh (KKA) dan juga Alumni Magister Ilmu Kebencanaan Unsyiah. 

Harganya pun hampir seragam.

Di Unsyiah rapid test Rp 400.000 dan swab Rp 1,5 juta.

Sementara di RSUDZA, rapid test Rp 650.000 dan swab Rp 1,5 juta.

Kolase foto beredar di media sosial berisi tarif atau biaya pemeriksaan Covid-19 di Unsyiah dan RSUDZA Banda Aceh.
Kolase foto beredar di media sosial berisi tarif atau biaya pemeriksaan Covid-19 di Unsyiah dan RSUDZA Banda Aceh. (KOLASE SERAMBINEWS.COM)

Nah, mari kita hitung-hitung, jika pemeriksaan massal jadi dilaksanakan.

Jika tes swab dilakukan untuk 500.000 masyarakat Aceh atau 10 persen penduduk Aceh, dikalikan Rp 1,5 juta rupiah per orang, maka menghabiskan anggaran sebesar Rp 750 miliar.

Ditambah dengan rapid test dan bagi sembako, maka anggaran Rp 1,7 triliun untuk penanganan Covid-19 di Aceh, akan terserap dalam waktu cepat.

Apa hasil yang didapat rakyat Aceh?

Kemungkinan besar adalah kepanikan massal.

Karena hasil rapid test, bahkan juga swab, bisa saja berubah-ubah.

Sebagaimana kasus pria berinisial I asal Banda Aceh dan perempuan As (42) asal Manggeng Aceh Barat Daya.

Rumah sakit akan penuh dengan orang-orang yang tiba-tiba sakit secara massal.

Maka, ujung-ujungnya anggaran akan semakin cepat terserap.

Tenaga medis pun kewalahan dan bermunculanlah poster-poster yang berharap belas kasihan, meminta masyarakat duduk di rumah.

Maka dari itu, sebaiknya Pemerintah Aceh atau siapa pun juga menghentikan kegiatan rapid test yang selama ini gencar dilakukan di warung-warung kopi dan tempat keramaian lainnya.

Hentikan pula wacana untuk melakukan pemeriksaan massal.

Karena ini jelas-jelas perbuatan yang tidak bermanfaat dan menimbulkan kepanikan yang luar biasa.

Apalagi, hampir semua hasil rapidtest yang dinyatakan positif, setelah dilakukan tes swab hasilnya malah negatif.

Sabang Buka Kembali Objek Wisata, Hotel, dan Penginapan

Hanya Butuh Bagi yang Ingin Bepergian

Kalau memang pemerintah atau pihak lainnya sudah terlanjur membeli alat rapid test dan swab, sehingga mubazir jika tidak digunakan, maka sebaiknya buka saja klinik di bandara dan empat pintu perbatasan Aceh-Sumatera Utara.

Lakukan pemeriksaan massal di sana.

Barangsiapa yang ingin ke luar atau masuk ke Aceh, wajib ikut rapid test atau swab dan tinggal di perbatasan selama tiga hari, sampai hasil swabnya ke luar.

Jika negatif, silakan masuk Aceh.

Bagi yang reaktif atau positif, silakan balik kanan, kembali ke daerah asal.

Dengan cara ini, barang yang telah dibeli tidak mubazir, anggaran cepat terserap, dan masyarakat Aceh terlindungi dengan baik.

Pemeriksaan massal pun tidak berujung kepada timbulnya kepanikan massal. Wallahuaklam.

*) PENULIS adalah Ketua Lembaga Komunitas Kesehatan Aceh (KKA) dan juga Alumni Magister Ilmu Kebencanaan Unsyiah.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved