Kupi Beungoh

Tes Massal Covid-19 di Aceh, Kebutuhan Atau Hanya Keinginan Menghabiskan Anggaran?

Lalu pertanyaan menjadi lebih mendalam, jika hasil tes seseorang negatif, apakah bisa menjamin orang tersebut tidak lagi terinfeksi virus corona?

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Muhammad Daud, SKM., M.Si, Ketua Lembaga Komunitas Kesehatan Aceh (KKA) dan juga Alumni Magister Ilmu Kebencanaan Unsyiah. 

Oleh Muhammad Daud, SKM., M.Si*)

Tiga berita tentang hasil swab seorang pria Banda Aceh berinisial I (38) yang dilansir Serambinews.com tiga hari lalu, menjadi perbincangan publik di Aceh.

Pasalnya, ketiga berita itu mengabarkan tentang tiga kali uji swab terhadap pria berinisial I, dengan hasil yang berbeda-beda.

Pertama negatif, kedua positif, dan ketiga negatif lagi.

Berikut ketiga link berita dimaksud.

UPDATE - Pulang dari Medan, Satu OTG Warga Banda Aceh Positif Corona Hari Ini

OTG asal Banda Aceh yang Positif Corona Dites Swab 2 Kali, 26 Mei Hasilnya Negatif, Esoknya Positif

Hasil Swab Terbaru OTG asal Banda Aceh Kembali Negatif

Sebelumnya, kasus hampir serupa juga dialami oleh As (42), perempuan asal salah satu gampong di Kecamatan Manggeng, Aceh Barat Daya (Abdya).

Akhirnya, Negatif Hasil Swab Perempuan Manggeng yang Dirawat di RSUZA Banda Aceh 

Hasil swab yang berbeda ini tentu membingungkan publik.

Berbagai pertanyaan, asumsi, dan spekulasi pun bermunculan, di media sosial maupun di warung kopi.

Pasalnya, ketika tiga berita tentang tiga kali swab dengan tiga hasil berbeda terhadap pria berinisial I ini mengemuka, ada wacana yang meminta Pemerintah Aceh melakukan tes massal Covid-19 di Aceh.

Orang yang melemparkan wacana tersebut juga bukan orang sembarangan, melainkan Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof Dr Ir Samsul Rizal MEng IPU.

Dalam keterangannya yang dimuat Serambinews.com dan beberapa media lain, Prof Samsul Rizal menyarankan Aceh harus secepatnya melakukan tes massal Covid-19.

Tes massal ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran riil tentang perkembangan kasus corona di provinsi paling barat Indonesia ini.

Sebagai bandingan, Prof Samsul Rizal menyebutkan bahwa Kalimantan Timur mendapatkan banyak tambahan kasus baru Covid-19 setelah mengaktifkan tes massal swab berbasis rapid test polymerase chain reaction (RT-PCR).

"Kepentingan tes massal ini adalah untuk mengetahui kondisi riil kasus di lapangan saat ini dikaitkan dengan kemungkinan melakukan new normal dan mencegah gelombang baru Covid-19," kata Rektor Unsyiah kepada Serambinews.com di Banda Aceh, Kamis (28/5/2020) pagi.

Baca Selengkapnya:

Aceh Sebaiknya Lakukan Tes Massal Covid-19

Nah, saran Rektor agar Aceh melakukan tes massal Covid-19 kemudian dibenturkan dengan hasil swab terhadap pria berinisial I tadi.

Muncul pertanyaan, jika hasil swab saja bisa berbeda-beda, bagaimana dengan yang berbasis Rapid Test?

Lalu pertanyaan menjadi lebih mendalam, jika hasil tes seseorang negatif, apakah bisa menjamin orang tersebut tidak lagi terinfeksi virus corona?

Kalau jawabannya, tidak ada jaminan, lalu untuk apa dilakukan tes massal?

Agar rumah sakit penuh?

Agar masyarakat yang tidak merasa sakit menjadi merasa sakit?

Okelah, jawabannya adalah untuk mendapatkan gambaran riil tentang perkembangan kasus corona di Aceh.

Muncul lagi pertanyaan, untuk apa gambaran riil itu?

Apakah gambaran riil itu bisa menjamin tidak akan ada ledakan kasus Covid-19 di Aceh?

Atau jangan-jangan, dengan adanya gambaran riil itu malah akan menimbulkan kepanikan di masyarakat.

Lalu, banyak orang merasa pesimis dengan hidupnya.

Secara kesehatan, ketika rasa pesimis muncul, imun tubuh akan drop.

Ketika imunitas ngedrop, akan membuat virus mudah menyerang.

Saat itulah, rumah sakit akan penuh, kepanikan akan muncul di mana-masa.

Itulah sebabnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) jauh-jauh hari menyarankan kepada Pemerintah Indonesia untuk tidak melakukan rapid test untuk mendeteksi Covid-19.

Di negeri jiran Malaysia, pihak Kementerian Kesehatan Malaysia (KKM) beberapa kali menegaskan tidak menyarankan penggunaan perangkat uji cepat  atau rapid test kit (RTK) untuk mengetahui seseorang positif COVID-19 atau tidak.

Jubir Covid-19 Aceh: Hasil Rapid Test Reaktif, Belum Tentu Penderita Covid-19

Komisi V DPR Aceh Akan Panggil Dirut RSUZA Terkait Tarif Rapid dan Swab Tes

Mempercepat Habis Anggaran?

Saat bersamaan dengan dua berita itu, saran tes massal dan hasil swab pria berinisial I, di media sosial muncul postingan ada sejumlah wartawan yang merasa menjadi korban prank dari kabar akan adanya pemeriksaan massal Covid-19 di Masjid Raya Baiturrahman.

Berdasarkan selembar surat yang beredar di kalangan wartawan, pemeriksaan massal itu akan berlangsung setelah Shalat Jumat (29/5/2020) di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Para wartawan pun berdatangan dan menunggu momen tersebut.

Namun, mereka harus pulang dengan kecewa, karena tidak ada kegiatan apapun di sana.

Belakangan mereka baru ngeh, bahwa surat dari salah satu universitas terkemuka di Aceh itu baru sebatas meminta dukungan dari Dinas Kesehatan Aceh.

“Mungkin karena tak ada dukungan dana, maka pemeriksaan massal ini dibatalkan,” ungkap salah satu wartawan yang hadir ke Masjid Raya pada hari itu.

Kembali ke warung kopi, beragam pertanyaan tentang manfaat pemeriksaan massal Covid-19 di Aceh, diiring berbagai dugaan.

Jangan-jangan, ini hanya sekedar proyek untuk menghabiskan anggaran penanganan Covid-19 di Aceh.

Pasalnya, ada kabar Pemerintah Aceh sudah menganggarkan dana sekitar Rp 1,7 triliun untuk penanganan Covid-19 di Aceh.

Dengan kasus yang minim, tentu anggaran ini akan sulit dihabiskan.

Cara termudah adalah menyalurkan sembako sebanyak-banyaknya, atau melakukan pemeriksaan massal terhadap seluruh masyarakat Aceh.

Dugaan ini tidaklah berlebihan, karena dalam seminggu terakhir beredar pula brosur tentang list harga pemeriksaan Covid-19 (rapid test maupun swab) di Unsyiah maupun di RSUDZA.

Harganya pun hampir seragam.

Di Unsyiah rapid test Rp 400.000 dan swab Rp 1,5 juta.

Sementara di RSUDZA, rapid test Rp 650.000 dan swab Rp 1,5 juta.

Kolase foto beredar di media sosial berisi tarif atau biaya pemeriksaan Covid-19 di Unsyiah dan RSUDZA Banda Aceh.
Kolase foto beredar di media sosial berisi tarif atau biaya pemeriksaan Covid-19 di Unsyiah dan RSUDZA Banda Aceh. (KOLASE SERAMBINEWS.COM)

Nah, mari kita hitung-hitung, jika pemeriksaan massal jadi dilaksanakan.

Jika tes swab dilakukan untuk 500.000 masyarakat Aceh atau 10 persen penduduk Aceh, dikalikan Rp 1,5 juta rupiah per orang, maka menghabiskan anggaran sebesar Rp 750 miliar.

Ditambah dengan rapid test dan bagi sembako, maka anggaran Rp 1,7 triliun untuk penanganan Covid-19 di Aceh, akan terserap dalam waktu cepat.

Apa hasil yang didapat rakyat Aceh?

Kemungkinan besar adalah kepanikan massal.

Karena hasil rapid test, bahkan juga swab, bisa saja berubah-ubah.

Sebagaimana kasus pria berinisial I asal Banda Aceh dan perempuan As (42) asal Manggeng Aceh Barat Daya.

Rumah sakit akan penuh dengan orang-orang yang tiba-tiba sakit secara massal.

Maka, ujung-ujungnya anggaran akan semakin cepat terserap.

Tenaga medis pun kewalahan dan bermunculanlah poster-poster yang berharap belas kasihan, meminta masyarakat duduk di rumah.

Maka dari itu, sebaiknya Pemerintah Aceh atau siapa pun juga menghentikan kegiatan rapid test yang selama ini gencar dilakukan di warung-warung kopi dan tempat keramaian lainnya.

Hentikan pula wacana untuk melakukan pemeriksaan massal.

Karena ini jelas-jelas perbuatan yang tidak bermanfaat dan menimbulkan kepanikan yang luar biasa.

Apalagi, hampir semua hasil rapidtest yang dinyatakan positif, setelah dilakukan tes swab hasilnya malah negatif.

Sabang Buka Kembali Objek Wisata, Hotel, dan Penginapan

Hanya Butuh Bagi yang Ingin Bepergian

Kalau memang pemerintah atau pihak lainnya sudah terlanjur membeli alat rapid test dan swab, sehingga mubazir jika tidak digunakan, maka sebaiknya buka saja klinik di bandara dan empat pintu perbatasan Aceh-Sumatera Utara.

Lakukan pemeriksaan massal di sana.

Barangsiapa yang ingin ke luar atau masuk ke Aceh, wajib ikut rapid test atau swab dan tinggal di perbatasan selama tiga hari, sampai hasil swabnya ke luar.

Jika negatif, silakan masuk Aceh.

Bagi yang reaktif atau positif, silakan balik kanan, kembali ke daerah asal.

Dengan cara ini, barang yang telah dibeli tidak mubazir, anggaran cepat terserap, dan masyarakat Aceh terlindungi dengan baik.

Pemeriksaan massal pun tidak berujung kepada timbulnya kepanikan massal. Wallahuaklam.

*) PENULIS adalah Ketua Lembaga Komunitas Kesehatan Aceh (KKA) dan juga Alumni Magister Ilmu Kebencanaan Unsyiah.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved