Advertorial

Mewujudkan Kembali Peradaban yang Gemilang  Melalui Implementasi Undang-undang Pemerintahan Aceh

ACSTF bekerja sama dengan Global Partnership for the Prevention of Armed Conflict (GPPAC) melakukan review implementasi UUPA.

for serambinews.com
Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF) menggelar diskusi terkait implementasi peraturan pelaksana Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan turunannya sebagai keberlanjutan perdamaian Aceh, pada 16 Desember 2020. 

BANDA ACEH - Darussalam memiliki pondasi bernegara yang jelas dan kuat sebelumnya, terutama pada era Aceh di bawah kepemimpinan kesultanan.

Kerajaan Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah (1514-1530) setelah berhasil mengusir Portugis dari Pasai dan Pedir, serta menaklukkan Daya.

Sebelumnya, kerajaan Samudera Pasai (1297, tahun wafatnya Sultan Malik As-Salih, raja pertama) yang sudah terlebih dahulu meraih kemakmuran. Termasuk, Kerajaan Peureulak yang dipimpin oleh Sultan Alaudin Syah (1161-1186).

Ketiga kerajaan tersebut menjadi pondasi peradaban Aceh, bahwasanya “nation building” yang tumbuh dan berkembang dari masa ke masa telah membentuk karakter berbangsa rakyat Aceh untuk memiliki dan mempertahankan wilayahnya sampai zaman milenial ini.

Baca juga: ACSTF Akan Optimalkan Implementasi UUPA

Baca juga: Beleidsregel Menegasikan UUPA

Baca juga: Anggota Dewan Ini Tegaskan Pilkada Aceh Harus Tetap Tahun 2022, UUPA Jadi Rujukannya

Kurang lebih 742 tahun, Aceh menjalankan pemerintahan di bawah Kesultanan, baik Peureulak, Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam, tentunya para endatu Aceh memiliki kemampuan dan kapasitas kepemimpinan yang kuat.

Termasuk kemampuannya untuk berinteraksi dengan bangsa dan budaya dunia, ditunjukkan oleh beberapa manuskrip kerajaan Aceh di beberapa museum yang ada di Inggris maupun negara Eropa lainnya.

Tentunya, banyak manuskrip Aceh tersebar di seluruh belahan dunia, termasuk tata kelola pemerintahan yang dikenal dengan manuskrip “Bustanussalatin”.

Keruntuhan Aceh

Maklumat perang Belanda 26 Maret 1873 menjadi titik tolak keruntuhan kesultanan Aceh. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903) langsung memimpin perang melawan Belanda. Perjuangan tersebut berdampak negatif terhadap pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Aceh.

Hanya kalangan Ulee Balang saja yang mendapatkan kesempatan untuk belajar di sekolah-sekolah Belanda. Lembaga pendidikan yang aktif adalah dayah-dayah yang tersebar di seluruh tanah Aceh.

Konsentrasi perang menyebabkan tidak cukup masa untuk mengembangkan diskursus tentang bernegara.

Bahkan pasukan Aceh melakukan perlawanan dengan Belanda sampai ke Medan area, memastikan Belanda dan Jepang keluar dari Pulau Sumatera (1942).

Namun demikian, pada 23 Januari 1951, Aceh dileburkan dalam Sumatera Utara oleh Kabinet Natsir, sehingga 21 September 1953 perlawanan Aceh dipimpin langsung oleh Tgk Daud Beureueh dimulai.

Baca juga: Forbes DPR/DPD RI asal Aceh Minta Jika UUPA Direvisi, Dana Otsus Harus Abadi

Baca juga: Ketua JASA Langsa: 14 Tahun Perjalanan UUPA, Namun Butir MoU tidak Berjalan Signifikan di Aceh

Baca juga: Ketua Banleg DPRA Kembali Temui Kemendagri, Bahas Soal UUPA

Perjuangan pertama dalam menuntut keadilan bagi Aceh berakhir dengan musyawarah pada 9 Mei 1962.

Beberapa kebijakan republik diberlakukan, salah satu perdagangan Internasional Aceh yang tadinya dapat dilakukan di beberapa pelabuhan di Aceh, namun dipindahkan ke Belawan Sumatera Utara.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA
    KOMENTAR

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved