Kupi Beungoh
BPS Perlu Lebih Arif Tampilkan Angka Kemiskinan Aceh, Stop Framing Aceh Sebagai Daerah Termiskin
Setiap kali berita resmi statistik dirilis, terkesan dimanfaatkan pihak lain untuk mendiskreditkan Pemerintah Aceh.
Oleh Cut Sri Mainita
BADAN Pusat Statistik (BPS) Aceh perlu lebih arif menampilkan angka-angka kemiskinan di Aceh.
Setiap kali berita resmi statistik dirilis, terkesan dimanfaatkan pihak lain untuk mendiskreditkan Pemerintah Aceh.
Kemudian berlanjut dengan kontroversi di ruang public.
Setiap BPS Aceh merilis data ekonomi makro dan tingkat kemiskinan hampir selalu terjadi kontroversi di lini massa.
Bahkan tampak dipolitisir oleh pihak-pihak tertentu yang tidak suka terhadap Aceh dan Pemerintahannya.
Baca juga: Pengamat: Aceh Miskin Karena Salah Kebijakan

BPS diberi otoritas oleh negara untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data-data statistik.
Namun, data-data kemiskinan di Aceh seyogyanya dapat disajikan dengan arief dan bijaksana.
Sangat tidak arief ketika BPS Aceh hanya menyajikan data kemiskinan di Aceh tanpa menampilkan data-data kemiskinan menurut kabupaten/kota.
Kita tahu angka kemiskinan Aceh yang disajikan BPS dan dirilis oleh hampir semua media massa itu merupakan resultan dari kemiskinan di 23 kabupaten/kota di Aceh.
Akibat tidak disajikan data menurut kabupaten/kota, data kemiskinan versi BPS Aceh itu pun acap diangkat sebagai isu politik dan mendiskreditkan Pemerintahan Aceh di tingkat provinsi.
Hal ini terjadi setiap tahun dengan isu yang sama, "Dana besar tapi rakyat tetap miskin,"
Padahal, dana pembangunan Aceh dari pendapatan asli daerah atau dana transfer dari Pemerintah Pusat yang dinilai sangat besar setiap tahun itu tidak hanya dikelola Pemprov.
Tetapi juga dikelola Pemkab/Pemko dan bahkan di tingkat gampong ada dana desa setiap tahunnya.
Baca juga: Aceh Miskin tapi Bahagia
Uniknya lagi, ketika Pemerintahan Aceh dijadikan samsak politik hampir setiap tahun, bupati/wali kota tampak tak terusik.
Padahal bupati/wali kota juga memiliki kewenangan penuh mengelola anggaran untuk mengurusi rumah tangganya sendiri, yakni menekan angka kemiskinan.
Sedangkan kewenangan provinsi mengintervensi program pemberantasan kemiskinan lintas kabupaten/kota.
Selain tidak menampilkan data-data kemiskinan menurut kabupaten/kota, data-data kemiskinan versi BPS Aceh yang dianggap banyak pihak sahih dan “suci” itu acap kali tampak tidak berkesesuaian dengan fenomena sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan.
Bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran dan dinyatakan dalam garis kemiskinan (GK) dengan satuan rupiah.
GK itu sendiri merupakan nilai minimum pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan makanan dan kebutuhan nonmakanan.
Baca juga: Tidak Ada Alasan Rakyat Aceh Miskin
Mahar kawin dan kenduri di Aceh
Lantas, bagaimana BPS Aceh menjelaskan fenomena mahar atau mas kawin, kenduri, dan konsumsi barang-barang mewah di Aceh?.
Kita jarang mendengar mahar kawin di Aceh secukupnya atau seperangkat alat shalat saja, seperti ditemui di banyak daerah lain di Indonesia.
Mahar kawin di Aceh umumnya berupa emas murni 99,99 karat dengan berat paling minimal tiga mayam, atau sekitar 10 gr.
Bila dikonversi dalam nilai rupiah saat ini hampir mencapai lima juta rupiah.
Itu baru mas kawin saja, belum lagi dihitung biaya perhelatan pernikahan dan upacara pestanya.
Kebiasaan di Aceh, hampir seluruh keluarga dekat ikut terlibat mulai acara pelamaran dan upacara pernikahan.
Pada saat pesta perkawinan digelar, semua warga sekampung plus jiran dan kerabat dekat keluarga itu diundang.
Semua undangan disungguhkan makanan padat menu dan minuman aneka rupa.
Baca juga: Kemiskinan Masih Tinggi, Partai Pengusung Sebut Pemerintah Aceh Miskin Terobosan
Acara kenduri yang melibatkan orang sekampung dengan suguhan makanan dan minuman itu bukan hanya terlihat pada acara pesta kawin, melainkan juga setiap kenduri lainnya di Aceh.
Misalnya kenduri khitanan, kenduri turun tanah, atau kenduri untuk anggota keluarga yang meninggal dunia.
Bila ada anggota keluarga yang meninggal dunia, kenduri makanan dan minum bisa berlangsung tujuh hingga 10 hari, siang dan malam hari.
Bahkan kenduri maulid untuk memperingati kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW, bisa berlangsung selama tiga bulan penuh di Aceh.
Umumnya kenduri maulid di Aceh sangat meriah dan mewah.
Kenduri-kenduri itu sangat menggambarkan daya beli makanan, dan lebih jelas lagi pada kepemilikan hewan ternak dan kepemilikan kendaraan.
Keluarga yang “divonis” miskin di Aceh rata-rata memiliki hewan ternak berupa ayam, itik, kambing, lembu, atau kerbau.
Baca juga: Rokok Ikut Tambah Warga Aceh Miskin
Bagi orang Aceh di pedesaan, ternak-ternaknya itu merupakan “tabungan” sumber protein hewani bagi keluarganya.
Selain itu, juga sebagai aset yang sewaktu waktu dijual untuk kebutuhan nonmakanan, seperti biasa masuk universitas anaknya.
Kemudian, lihatlah kendaraan yang dimiliki masyarakat Aceh.
Bila di banyak daerah di Indonesia masih sangat mudah menemukan penduduk sedang mengayuh sepeda pancal untuk ke pasar atau ke tempatnya bekerja, di Aceh justru terlihat langka, kecuali dalam situasi demam gowes akhir-akhir ini.
Selanjutnya, hampir setiap rumah orang “miskin” di Aceh tampak sepeda motor terparkir di luar rumahnya.
Bahkan, antena parabola acap terlihat menyembul dari atap rumahnya.
Antena parabola atau antene UHF tersebut terhubung dengan unit telivisi full coulor di dalam rumahnya.
Baca juga: Rakyat Aceh Miskin Karena Merokok, Ah Yang Benar?
Lantas, bagaimana menjelaskan fenomena “orang termiskin” di Sumatera itu memiliki budaya mahar dengan emas murni 99,99 karat.
Kemudian acap menggelar kenduri dengan aneka rupa sajian makanan?
Jadi, stop memframing Aceh sebagai daerah termiskin.
BPS Aceh mestinya juga menjelaskan fenomena kemiskinan Aceh tanpa sepeda pancal ke pasar itu dengan Provinsi Bengkulu yang dinilai lebih kaya itu. (*)
*) PENULIS, Direktur Kajak Institute, Cut Sri Mainita
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.