Kupi Beungoh
Ekonomi Gampong: Bakongan, Barsela, Reaganomics, dan Kekeliruan Sri Mulyani (I)
Soalnya sangat sederhana. Reagan dipermalukan oleh Carter, karena dia salah dalam menguraikan terminologi resesi dan depresi ekonomi AS.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
KETIKA masih menjadi calon Presiden AS pada tahun 1980, Ronald Reagan berperang issue dan kata, tentang krisis ekonomi AS pada saat itu dengan lawannya, inkumben, Presiden Jimmy Carter.
Soalnya sangat sederhana. Reagan dipermalukan oleh Carter, karena dia salah dalam menguraikan terminologi resesi dan depresi ekonomi AS.
Jangankan menggunakan definisi para ahli, definisi kamus Meriam Webster pun tidak ia gunakan.
Reagan, seorang komunikator ulung tidak hilang akalnya.
Ia kemudian mencari cara menjelaskan situasi kerumitan ekonomi itu menggunakan bahasa rakyat, bukan bahasa akademik.
Alih-alih meminjam bahasa ekonomi pemenang nobel hebat, sekelas Milton Friedman, ia menggunakan bahasa kampung, yang membuat kesannya terdengar sangat kampungan.
Ia menggunakan bahasa jalanan, bahkan bahasa buruh kasar AS.
Ia menyebutkan resesi itu adalah “ketika tetangga anda tak bekerja alias nganggur”.
Sedangkan depresi adalah “ketika anda juga tak bekerja”.
Ia bahkan menambahkan, recovery -pemulihan ekonomi akan terjadi setelah Carter pensiun dari Presiden, alias Reagan terpilih dan memerintah.
Ungkapan yang disampaikan oleh Reagan menjadi salah satu “master piece” kampanyenya yang dihafal publik untuk mengolok-ngolok program ekonomi Jimmi Carter.
Reagan kemudian memenangkan Presiden AS.
Baca juga: 60 Lembaga Internasional Serukan Bantuan ke Negara Miskin, Covid-19 Ciptakan Resesi Ekonomi
Baca juga: Indonesia Resesi, Ekonomi RI Terkontraksi 3,49 Persen, Pastikan Anda Lakukan Persiapan Ini
Bakongan: Ekonomi Gampong vs Depresi Ekonomi Global
Apa yang disebut oleh Reagan tentang dua kata itu kini paling tidak terjadi di 3 kecamatan di bekas Kecamatan Bakongan di Aceh Selatan, yaitu Kota Bahagia, Bakongan, dan Bakongan Timur.
Jawaban yang diberikan oleh warga Bakongan saat ini terhadap kekawatiran petinggi ekonomi dan para ilmuwan tentang krisis ekonomi dunia sangat sederhana dan ringkas.
Tidak ada krisis ekonomi di Bakongan.
Kenapa demikian? Karena memang dengan meminjam istilah Reagan, di Bakongan tidak ada resesi apalagi depresi.
Warga Bakongan, tidak hanya dirinya dan tetangganya bekerja.
Bahkan dalam waktu yang hampir setahun mereka bekerja dan dapat uang tidak biasa.
Berapa uangnya, atau tepatnya berapa penerimaan mereka?
Jawabannya banyak, dan bahkan lumayan banyak.
Hampir semua individu di ketiga kecamatan itu berani mengatakan kondisi ekonomi rumah tangga mereka, tetangga mereka, seluruh isi kampung mereka, dan warga seluruh kecamatan tidak mengalami resesi dan depresi, seperti kata Ronald Reagan pada tahun 1980.
Mereka bekerja setiap hari, mempekerjakan tetangganya yang tidak mempunyai usaha lain, dan bahkan mempekerjakan orang lain dari kecamatan tetangga mereka, seperti warga Kecamatan Kluet Utara dan kecamatan lain yang berdekatan dengannya.
Ketika mendengar, menyaksikan dengan mata, dan mengajukan berbagai pertanyaan tentang keadaan ekonomi mereka sehari-hari, terutama semenjak pertengahan tahun 2020, terasa ada keganjilan.
Karena apa? Karena nyaris tak ada media lokal, media nasional, dan bahkan media internasional yang setiap hari tidak memborbardir pembaca, pendengar, atau pemirsanya dengan kata-kata resesi, depresi, kontraksi.
Itu sama sekali tak ada di Bakongan.
Baca juga: Waled Marhaban Bakongan, dari Ulama hingga Tokoh Perdamaian Aceh
Ketiga kata itu yang telah digunakan selama satu setengah tahun, kini telah tertanam dalam benak semua orang.
Telah terjadi kiamat ekonomi global, regional, nasional, dan bahkan lokal.
Keyakinan para ahli menjadi persepsi publik, dan dalam perjalannya telah menjadi keyakinan publik.
Presiden, para Menteri, Anggota Dewan, Gubernur, Bupati, dan jajaran birokrasi setiap hari melaporkan tentang keadaan yang belum membaik, dan belum tahu lagi kapan akan membaik.
Baca juga: Indonesia Masuki Fase Resesi Ekonomi, Penjualan Sepeda Motor Hanya 3,6-3,7 Juta Unit
Ilusi Sri Mulyani dan Janet Yellen
Keadaan lapangan di Bakongan, Aceh Selatan ternyata 100 persen terbalik dengan apa yang hampir setiap hari keluar dari ucapan Sri Mulyani, atau Rizal Ramli, atau Profesor ekonomi ternama dari kampus hebat nasional sekalipun.
Ternyata, cerita rakyat Bakongan juga tidak sama dengan apa yang dikuliahkan oleh Janet Yellen, Gubernur Bank Sentral AS kepada mitra kerjanya, petinggi ekonomi, baik dari negara-negara G7, maupun dari negara-negara G 20, tentang keparahan ekonomi dunia.
Pendek kata, melihat kenyataan rakyat Bakongan hari ini membuat kita-paling kurang saya-, yakin, untuk kasus Bakongan dan yang sejenisnya, berbagai ungkapan Sri Mulyani, Rizal Ramli, Paul Krugman, bahkan Janet Yellen sekalipun itu hanya cerita pergantar tidur, hanya ada di benak dan kepala mereka.
Berbagai cerita tentang kontraksi ekonomi, pemutusan hubungan kerja, pengangguran, hilangnya pendapatan, tak ada, dan tak berlaku di Bakongan.
Apa alasan Bakongan tidak punya cerita krisis ekonomi seperti yang dialami di hampir semua tempat di dunia akibat Covid-19?
Hari ini semua orang tahu, mulai dari orang awam, akademisi, profesional, para politisi, dan para pemimpin, bahwa Covid-19 telah membawa kerusakan besar dunia.
Covid-19 telah menimbulkan pandemi ekonomi yang menghajar apa saja dan siapa saja yang berurusan dengan uang dan sumber daya.
Dan itu adalah kiamat ekonomi, yang butuh waktu tahunan untuk menyembuhkannya.
Apa yang membuat Bakongan menjadi lain adalah komoditi yang ditanam dan yang menghasilkan pada hari ini.
Komoditi itu adalah kelapa sawit.
Memang benar, pada semester pertama Covid-19 pada tahun 2020, keadaan agak parah, karena harga tandan buah segar sekitar 1.000 rupiah atau lebih rendah pada saat itu.
Harga TBS itu kini sudah mencapai 1.500 rupiah atau lebih, dan itu terjadi semenjak tahun 2021.
Itulah yang membuat kondisi ekonomi Bakongan menjadi sangat berbeda dengan uraian Sri Mulyani, mantan direktur pelaksana Bank Dunia, dan Menteri Keuangan saat ini.
Baca juga: Harga TBS Kelapa Sawit Masih Stabil
Petani Sawit, Pensus Gubernur Aceh, dan Gaji Kepala SD
Dengan rata-rata luas lahan 4 hektare, mayoritas rumah tangga petani sawit di ketiga kecamatan itu, dengan harga antara 1.400-1.500 rupiah per kilogran TBS, mereka menerima uang sebanyak 4 juta rupiah untuk setiap 20 hari.
Durasi 20 hari itu adalah lamanya waktu tunggu panen TBS.
Itu artinya dalam setiap bulan, pendapatan rata-rata petani Bakongan mencapai sekitar 6 juta rupiah.
Ketika harga sawit lebih tinggi lagi, pendapatan rata-rata mereka dapat mencapai Rp 7 juta per bulan.
Pendapataan rata-rata Rp 6-7 juta sebulan untuk ukuran ekonomi pedesaan sesungguhnya tidak hanya mengesankan, akan tetap juga hebat.
Bahkan menggunakan istilah motivator Mario Teguh, jumlah itu adalah super.
Kenapa tidak, pendapatan petani Bakongan itu justru menyamai honor Pensus Gubernur Aceh yang jumlahnya puluhan itu.
Bahkan pendapatan melebihi honor anggota tim pekerja Gubernur Aceh yang hanya mendapatkan Rp 3,5 juta per bulan.
Tidak berlebihan, pendapatan petani sawit Bakongan itu bahkan lebih tinggi dari tipikal ASN, terutama yang tinggal dan bertugas di pedesaan.
Mereka adalah semisal guru atau pegawai kantor Camat.
Hampir dapat dipastikan penerimaan rata-rata guru atau ASN lainnya di kawasan seperti Bakongan antara Rp 3-4 juta per bulan.
Jumlah ini tentu saja lebih kecil dari penerimaan petani sawit Bakongan.
Kalaulah ada pegawai yang lebih hebat atau setara pendapatannya dengan petani itu, hanyalah kepala SD senior yang pendapatannya antara Rp 5-7 juta per bulan.
Pendapatan Rp 6-7 juta per bulan itu umumnya berlaku untuk rata-rata keluarga petani sawit.
Baca juga: Harga TBS Kelapa Sawit Abdya Tembus Rekor Tertinggi Rp 1.540 Per Kg Tingkat Petani, Produksi Anjlok
Namun demikian, di antara sekian banyak mayoritas yang seperti, beberapa diantaranya justeru mempunyai pendapatan dua kali dari rata-rata pendapatan rumah tangga biasa.
Dengan luas lahan yang relatif sama, mereka bisa mendapatkan pendapatan dua kali lipat, bahkan berlebih, antara 12-15 juta per bulan.
Siapakah mereka?
Petani yang mendapatkan pendapatan lebih banyak itu tidak banyak jumlahnya, antara 2-5 persen dari jumlah total rumah tangga biasa.
Profil dari kluster yang pendapatannya lebih banyak ini lebih dicirikan dengan tingkat pendidikan yang relatif lebih tinggi, melek teknologi budi daya sawit.
Mereka juga sering mempunyai keluarga dan lingkaran pergaulan yang berasosiasi dengan kewiraswastaan, mengikuti perkembangan pemberitaan kelapa sawit, terutama harga, dan cenderung berada dalam gugus kelompok kelas menengah pedesaan.
Mereka bahkan cenderung mempunyai lahan yang lebih luas dari rata-rata rumah tangga biasa, bisa mencapai 10 hektare atau lebih.
Sengaja atau tidak, realitas kegiatan ekonomi budi daya kelapa sawit seperti yang ditemui di Bakongan, telah menghasilkan kelompok kelas menengah pedesaan, yakni kelas menengah baru yang sepenuhnya tumbuh dari kegiatan ekonomi kelapa sawit.
Baca juga: Penurunan CPO Global belum Pengaruhi Harga Kelapa Sawit di Aceh Singkil
Baca juga: Sempat Sentuh Rp 1.950 Sekilo, Kini Harga TBS Kelapa Sawit di Subulussalam Turun Lagi
Disamping itu budi daya sawit juga telah mengangkat kelas menengah lama yang hampir hilang eksistensinya akibat mandeknya ekonomi pedesaan sebelumnya, namun kini mempunyai celah baru dengan budi daya kelapa sawit.
Satu hal yang penting untuk dicatat, pantai Barat Selatan adalah kawasan dimana perkebunan kelapa sawit sangat dominan, baik perkebunan swasta, BUMN, maupun perkebunan rakyat.
Sepanjang jalan mulai Lamno sampai dengan perbatasan Aceh Sumatera Utara, kecuali dari Labuhan Haji-Tapak Tuan, kelapa sawit adalah tanaman perkebunan yang menonjol.
Bakongan adalah sebuah potret kecil yang menggambarkan sebuah potret besar relatif ekonomi gampong kawasan Barat Selatan Aceh.(*)
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.