Kupi Beungoh

Ekonomi Gampong Bakongan: Menanam Jagung di Kebun Sawit, Tesis Denys Lombard Benar di Trumon (IX)

Penanaman jagung telah membuat gulma di kebun sawit terkontrol, apalagi dengan kehadiran petani setiap hari ke lahan jagung dan sawit itu.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

DALAM beberapa tahun terakhir, keuntungan komoditi jagung yang sebelumnya dinikmati gratis oleh petani Alas, sudah berpindah tangan ke petani lokal.

Virus kecakapan dan ketrampilan menanam jagung, kini sudah sepenuhnya dikuasai oleh petani Trumon.

Dengan menanam sendiri jagung di kebun sawit, petani Trumon mendapat  dua keuntungan sekaligus.

Pertama, penanaman jagung mencegah tumbuhnya gulma liar yang kalau dibiarkan akan membuat peluang keberhasilan tanaman sawit menjadi nol.

Penanaman jagung telah membuat gulma di kebun sawit terkontrol, apalagi dengan kehadiran petani setiap hari ke lahan jagung dan sawit itu.

Keuntungan kedua, petani lokal Trumon, sama dengan saudaranya dari Alas yang “mengajarkan“ budidaya jagung kepada mereka kini mendaparkan hasil jagung dari rata-rata 3 kali tanam setahun dengan rata - rata hasil 5-7 ton.

Bayangkan saja dengan  harga 3,2 juta rupiah  per ton saja, dengan luas, katakan saja 2 hektare saja, pemasukan yang didapatkan oleh petani Trumon dapat mencapai lebih dari Rp 100 juta per tahun.

Jika pemasukan itu dikurangi dengan berbagai biaya, maka sekitar Rp 65-70 juta ton, akan menjadi pendapatan bersih petani.

Jumlah itu tentu saja tidak hanya akan membantu petani dalam megawatt sawitnya, baik untuk membeli pupuk, herbisida, biaya pemeliharaan dan perawatan nongulma, akan tetapi juga cukup memberi kemakmuran kepada kehidupan keluarga dan masyarakat.

Tidaklah mengherankan jika taraf hidup masyarakat di banyak desa di ketiga kecamatan Trumon- Trumon Timur, Trumon Tengah, dan Trumon, dalam beberapa tahun terakhir telah memberikan perobahan yang sangat signifikan.

Baca juga: Ekonomi Gampong: Bakongan, Barsela, Reaganomics, dan Kekeliruan Sri Mulyani (I)

Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: Mitos Malas, Migran, Pasar, dan Solusi  Petani Trumon (VIII)

Menunggu Tanaman Menghasilkan Itu Lama

Banyak orang yang tidak tahu bahwa punca dari kegagalan mayoritas perkebunan rakyat, terutama yang menyangkut dengan komoditi eskpor perkebunan, adalah waktu menunggu yang relatif lama antara tanam dan menghasilkan.

Membuka lahan, mempersiapkan bibit, dan menanam adalah pekerjaan yang biasanya dapat ditangani dan dijalani dengan baik oleh petani.

Persoalan akan menjadi lain ketika menyangkut dengan pemeliharaan dan perawatan tanaman.

Menunggu sampai tanaman berproduksi-untuk sawit rakyat 3.5-4 tahun bukanlah pekerjaan mudah.

Jangankan biaya perawatan sawit, bagi rakyat pekebun sawit, biaya hidup sehari-hari saja amat sukar untuk ditangani.

Kesuburan dan ketersedian lahan yang begitu luas dan  terbuka di kawasan Trumon pasca tahun 2000 telah membuat eksplorasi dan migrasi “musiman” suku Alas terjadi, dan tanaman jagung mulai diperkenalkan.

Pasca-Aceh damai, dengan harga sawit yang relatif baik, ditambah dengan kemudahan pemasaran ke sejumlah PKS di Subulussalam, penanaman sawit rakyat di kawasan pantai barat selatan mulai bergerak.

Harga dan bencana alam banjir adalah dua “hama non biologi” yang membuat  penanaman jagung naik turun.

Akan tetapi ketika tahun-tahun awal penanaman jagung seperti 2011, jumlah lahan seluruh Aceh Selatan sekitar 5.000 hektare, pada tahun 2019 untuk tiga kecamatan Trumon saja, luas penanaman jagung mencapai 2220 hektare, sementara untuk seluruh Aceh Selatan mencapai 4274 hektare (BPS Aceh Selatan 2020).

Setelah lebih kurang 4 tahun  “persaudaraan’ antara jagung dan sawit berjalan, tiba masanya jagung tidak bisa di tanami lagi, dan terjadi pengurangan  tanaman jagung untuk lahan lama, namun diikuti dengan pembukaan lahan baru.

Pengurangan jumlah areal penanaman jagung terjadi, disamping persoalan harga yang kadang turun, juga terjadi karena banyak lahan sawit yang dahulunya ditanami jagung pada tahun-tahun awal sawit, kini telah sepenuhnya tertutup dengan tanaman sawit yang telah berstatus TM sawit -tanaman menghasilkan.

Jika antara tahun 2005-2012 jumlah lahan sawit rakyat di Aceh Selatan sekitar 4.373 hektare, pada tahun 2019 jumlah itu telah menjadi 11.578 hektar (BPS Aceh Selatan 2020).

Semuanya tersebar di Aceh Selatan bagian timur, di seluruh wilayah eks kecamatan Kluet dan Pasi raja, eks kecamatan Bakongan, dan eks kecamatan Trumon.

Jumlah itu terus bertambah, misalnya dari tahun 2018 -2019 saja bertambah 810 hektare.

Dan itu adalah perkebunan rakyat, dengan jumlah petani yang menanam lebih dari 10 hektare cukup terbatas.

Di tiga kecamatan Trumon jumlah areal sawit hampir setengah dari seluruh jumlah lahan sawit yang ada di Aceh Selatan, yakni 4.746 hektare, dengan penguasaan perusahaan BUMN PT ASN sebesar 1.400 hektare.

Baca juga: Mewujudkan Pusat Logistik Berikat dan Industry Processing di Aceh, Mungkinkah?

Baca juga: Cari Warga Trumon Hilang di Bakongan Timur, Tim SAR Gabungan Sisir Perkebunan Sawit, Begini Hasilnya

Alatas dan Lombard: Trumon, Lada, dan Sawit

Apa yang terjadi dengan petani sawit Trumon secara gamblang mengambarkan mitos pribumi malas itu sama sekali tidak relevan.

Hal itu telah terjadi ketika lada, tiga abad yang lalu, dan kini terjadi lagi ketika sawit.

Uniknya,kedua komoditi itu adalah komoditi strategis global pada masanya.

Lada adalah komoditi global selama tiga abad lebih yang bahkan membuat perusahaan dan negara-negara Eropa melakukan perdagangan dan penaklukan di bagian Timur dunia, umumya di wilayah Nusantara.

Komoditi sawit yang diperkenalkan pada abad ke 20 dari Afrika, yang di dalam perjalananya menjadi alternatif lemak nabati kompetitif di pasar global.

Dengan segala kelebihan biologi dan produktivitas yang dimilkinya, komoditi sawit bahkan diperkirakan akan menjadi andalan konsumsi lemak nabati global dominan saat ini dan dimasa yang akan datang.

Tidak hanya itu, berbeda dengan perdagangan lada tiga abad yang lalu yang berurusan dengan uang, perang, dan kekerasan, komoditas sawit hari ini mampu melahirkan sebuah rezim transnasional yang saling berkerjasama untuk memperoleh keuntungan masing-masing, terutama pada setiap rantai pasok komoditi. 

Mitos malas pribumi yang ditulis oleh ilmuwan kolonial barat dan dibantah oleh Alatas dan Lombard, sebenarnya sudah terbantahkan jauh hari sebelum penjajah datang ke Nusantara.

Cerita Trumon prakolonial tentang sebuah negeri yang sangat subur dan cocok untuk lada.

Negeri subut yang penduduknya jarang justru menjadi kawasan didatangi oleh migran dari berbagai wilayah Aceh, dan luar Aceh.

Kedatangan migran ke wilayah Trumon pada masa itu sangat terkait dengan ketrampilan bercocok tanam lada-karena migran itu umumnya dari kawasan penghasil lada pantai Timur Aceh, dan Pantai Sumatera Barat-.

Dinamika antara kesuburan lahan, migran berikut dengan pengetahuan dan ketrampilan budidaya ladanyang dimilikinya, dan adopsi budidaya lada oleh masyarakat lokal, menjadikan Trumon sebagai salah satu sentra lada Aceh dan pantai Barat Sumatera yang dikenal mancanegara.

Lada sebagai komoditi yang membawa kemakmuran bahkan membuat kerajaan Trumon menjadi salah satu kerajaan terkuat di pantai barat Aceh, yang menjadi andalan daerah bawahan dari Kerajaan Aceh Darussalam.

Puluhan ribu pikul lada setiap tahun dikeluarkan dari kawasan ini yang mencakup kawasan Bakongan dan Singkil. 

Persoalan pribumi malas seperti label yang ditolak oleh Lombard dan Alatas untuk kedua komoditi ini menjadi tidak berlaku di Trumon.

Yang terjadi adalah penetrasi pasar-dan bahkan pasar global untuk kedua komoditi itu telah membuat perilaku ekonomi masyarakat lokal berobah.

Sejarah lada terulang untuk komoditas sawit.

Kehadiran migran dengan ketrampilan budidaya jagung, yang kemudian menjadi komoditi penting memfasllitasi perwujudan budidaya sawit.

Tanpa kehadiran budi daya jagung di Trumon, sukar membayangkan kesuksesan perkebunan sawit, mengingat persyaratan biaya perawatan tanaman untuk masa 3,5 sampai 4 tahun yang tergolong tinggi untuk tingkat ekonomi masyarakat pedesaan Trumon.

Jagung yang juga menjadi komditas penting pangan nasional, dengan harga yang menjanjikan telah menjadi variabel kunci dalam mewujudkan pekebun sawit Trumon berhasil.

Konektivitas, pasar, adopsi dan diffusi ketrampilan agronomi komditi, dan kehadiran migran, adalah elemen-elemen luar yang sebelumnya tidak bekerja dalam merobah perilaku ekonomi masyarakat Trumon.

Ketika elemen-elemen itu hadir, maka perobahan segera terjadi. Bahkan banyak petani di kecamatan Trumon Timur yang mengalihkan lahan sawah karena tidak berfungsinya irigasi menjadi lahan sawit.

Baca juga: Danrem Gowes Rute Subulussalam-Aceh Selatan, Lepas Penat di Objek Wisata Sigantang Sira Trumon 

Baca juga: Perusahaan Kelapa Sawit di Nagan Bantu Bangun Rumah Warga Kurang Mampu

Lombard, Alatas , dan Otoritas

Lombard dan Alatas benar bahwa masyarakat kurang dinamis ketika tidak tersentuh dengan yang apa yang sedang terjadi di luar mereka.

Ketika elemen-elemen luar itu datang, berikut dengan komoditi yang cocok dengan lingkungan egroekologi lokal mereka, maka perobahan akan terjadi.

Apa tugas otoritas?

Pertama, hentikan menuduh masyarakat malas, kedua pastikan semua elemen itu bekerja dan berfungsi secara ptimal.

Terakhir, perbaiki dan minimalkan belenggu struktural yang memungkin petani sawit tumbuh dan berkembang.

Yang pasti salah satu elemen penting belenggu struktural itu adalah sumber pembiayaan untuk pemeliharaan tanaman sampai dengan tahun berproduksi.

Untuk sawit disebut dengan TM- tanaman menghasilkan.

Agroekologi Trumpon memungkin jagung untuk tanaman sela.

Untuk TBM petani sawit kawasan lain yang berbeda agroekologi dengan Trumon, mungkin ada tanaman sela lain yang bernilai ekonomi seperti jagung.

Yang pasti Trumon telah memberi satu contoh solusi untuk pembiayaan TBM- tanaman belum menghasilkan  petani  sawit.

Petani kita tidak malas, Lombard dan Alatas benar. Trumon contohnya.

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved