Kupi Beungoh

Ekonomi Gampong Bakongan: Kisah Pengusaha Aceh di Medan dan Program Sawit Berkelanjutan (XI)

Akhirnya sang pengespor Medan itu mengakui kepada pengusaha Aceh itu, seluruh informasi dan foto itu dikirimkan oleh pembelinya di Amsterdam.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

BEBERAPA bulan yang lalu salah seorang pelaku industri pengolahan dan pemilik kebun sawit di kawasan Pantai Timur Aceh mendadak pusing dan terkejut.

Ia mendapat kabar dari pembeli minyaknya di Medan, bahwa CPOnya bermasalah.

Sang pembeli yang juga salah satu satu pemain ekspor CPO besar di Medan itu menyebutkan ia tak mau bisnisnya bermasalah dengan pembeli, terutama pembeli Eropa.

Sang pengusaha Aceh tentu saja tidak tahu dan tidak dapat menerima kesalahannya yang tak jelas itu, terutama bila itu menyangkut dengan kuailitas CPO yang dijualnya.

Komplainnya itu kemudian direspons oleh pembeli Medan itu dengan mengatakan bahwa sang pengusaha terbukti membeli sawit yang berasal dari lokasi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Tak puas dengan pernyataan itu, pengusaha Aceh berbicara lagi dengan sang eksportir, sembari bertanya bukti apa yang dimiliki oleh sang eksportir sehingga ia berani menyimpulkan bahwa TBS yang dibelinya berasal dari perkebunan dalam ekosistem Leuser.

Kini si eksportir terpaksa membuka semuanya.

Via WA sang eksportir dia mengirimkan foto truk yang sedang memuat TBS lengkap dengan nomor polisi berikut dengan keterangan jam dan tanggal muat TBS itu di dalam Kawasan Ekosistem Leuser.

Tidak cukup dengan itu, ada pula foto bongkar TBS di PKS milik pengusaha Aceh lengkap dengan truk dan nomor polisi yang sama, hari, tanggal, dan jam bongkar.

Untuk melengkapinya sang eksportir juga mengirim foto truk yang sedang bongkar CPO pengusaha Aceh di Belawan, tempat di mana konsentrasi CPO yang akan diekspor oleh pengusaha Medan itu berlokasi.

Foto itu juga memberikan gambar penuh truk, nomor polisi, hari, tanggal, dan jam kejadian itu.

Akhirnya sang pengespor Medan itu mengakui kepada pengusaha Aceh itu, seluruh informasi dan foto itu dikirimkan oleh pembelinya di Amsterdam.

Pengimpor Belanda itu tidak mau kesulitan dengan pemasaran produk mereka yang menggunakan CPO dari sang eksportir Medan itu.

Akhirnya sang eksportir memperingatkan pengusaha Aceh untuk kelancaran pemasaran ke depan, agar ia tidak membeli lagi TBS dari kawasan Ekosistem Leuser, ataupun kawasan bermasalah lainnya.

Sang pengusaha pun semenjak saat itu sangat hati-hati dalam pembeli TBS baik dari rakyat, maupun perusahaan yang berlokasi di dalam ekosistem Leuser.

Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: Pasar dan Adab Baru Global  Agribisnis Sawit (X)

Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: Menanam Jagung di Kebun Sawit, Tesis Denys Lombard Benar di Trumon (IX)

Konsumen yang Mulai Memerintah

Kasus CPO yang berasal dari Ekosistem Leuser yang mendapat pantauan dari pembeli luar negeri itu barulah babak pendahuluan dari penerapan prinsip-prinsip sawit berkelanjutan global.

Apa yang menjadi unik dari kasus ini adalah kekuatan konsumen yang mulai “memerintah” produsen untuk taat kepada prinsip menjaga lingkungan dan sosial ekonomi dalam sistem rantai pasok komoditi sawit.

Geliat pasar tentang semakin ketat dan njelimetnya konsumen-terutama di negara maju, telah direspons dengan baik oleh pemain pasar raksasa sekelas Nestle, PepsiCo, P&G, dan Unilever.

Mereka memberikan jaminan kepada konsumen bahwa produk yang mereka hasilkan yang sebagiannya berasal dari komoditi sawit adalah “halal lingkungan”.

didapatkan dari perkebunan yang menjaga prinsip-prinsip lingkungan, dan sepanjang rantai pasok taat dengan prinsip-prinsip keadilan sosial ekonomi.

Kekuatan pasar itu kini menjadi alat perintah kuat kepada perilaku produsen.

Jika produsen tidak mematuhi perintah pasar, maka produsen “nakal” itu akan dinomorduakan, bahkan akan ditinggalkan.

Itu terjadi untuk semua komoditi, dan itu juga terjadi untuk sawit.

Akan ada metode pemeriksaan ketat yang sangat transparan untuk setiap komoditi.

Apalagi untuk komoditi seperti kelapa sawit yang tidak hanya berurusan dengan imej buruk, akan tetapi juga “bumbu” buruk tambahan yang akan diberikan oleh pelaku minyak nabati bukan sawit lainnya di Eropa dan AS.

Setelah persaingan produksi dan produktivitas antar negara, seperti Malaysia dan Indonesia misalnya, kini arena persaingan baru adalah sawit berkelanjutan, seperti yang dipromosikan oleh RSPO itu.

Persaingan itu akan terjadi antarnegara, dan antarperusahaan, bahkan antarkawasan petani.

Kekuatan pasar untuk prinsip sawit sawit berkelanjutan kini semakin terbukti.

Lembaga nirlaba RSPO yang memberikan sertifikat lulus atau tidaknya produk bahan baku sawit yang didirikan pada tahun 2004 oleh beberapa lembaga dan perusahaan kini telah tumbuh sangat pesat.

Pertumbuhan itu terbukti sampai dengan hari ini tidak kurang dari 94 negara menjadi anggota lembaga ini.

Selanjutnya lebih dari 5,000 pelaku komoditi sawit juga menjadi anggota lembaga nirlaba ini.

Mereka adalah pelaku dalam alur panjang rantai pasok, mulai dari produsen TBS-perusahaan, petani-, industri pengolahan, produsen makanan dan kebutuhan rumah tangga, sampai dengan supermarket.

Semua bergabung menjadi satu, lintas negara, lintas benua. 

Mereka memastikan bahwa produk sawit yang beredar di pasar adalah benar-benar berasal dari lahan yang tidak merusak lingkungan dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial ekonomi yang ketat.

Tentang kepastian itu dijamin dengan transparansi yang sangat lengkap dan terukur.

Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: Mitos Malas, Migran, Pasar, dan Solusi  Petani Trumon (VIII)

Baca juga: Dasar Hukum Potong Timbangan Kelapa Sawit di Pabrik Rugikan Petani Rp 54 Miliar Setahun

Detektif Lokal dan Teknologi Digital

Kasus CPO pengusaha Aceh dengan eksportir Medan adalah sebuah kasus permulaan yang belum canggih.

Foto-foto tentang “riwayat” TBS itu didapatkan oleh sang eksportir dari pembelinya di Amsterdam.

Jelas kalau itu kejadiannya, maka yang ditugaskan untuk memantau adalah sejenis “detektif lokal” yang dibayar oleh pengimpor Belanda itu untuk menjaga produk yang mereka beli tidak bermasalah dengan konsumen Eropa nantinya.

Di masa depan, bahkan saat inipun untuk memastikan produk setengah jadi sawit yang akan dilanjutkan menjadi produk akhir untuk dipasarkan, akan menggunakan teknologi canggih untuk menjamin tidak ada pelanggaran.

Secara sangat sederhana, seperti apa yang sedang dikerjakan oleh perusahaan Unilever, adalah penggunaan teknologi digital via satelit yang akan memberikan informasi kepada mereka apa yang terjadi di sepanjang rantai pasok, terutama antara lapangan sampai dengan prosesing CPO.

Pergerakan orang, kenderaan, dan apapun yang diperlukan lainnya, akan terpantau selama 24 jam, karena memang dalam perjanjian jual beli telah disepakati sebelumnya.

Teknologi dan kecanggihannyanya mungkin mirip, walaupun tak sama dengan mesin pemantau pergerakan manusia setiap saat yang dipakai oleh Israel dalam  observasi Gaza, Palestina, di Timur Tengah.

Tidak ada peluang untuk manipulasi.

Lebih dari itu, saat ini RSPO telah mengeluarkan langkah transparansi terbarunya untuk menjamin tidak ada deforerstasi, penanaman baru di lahan gambut, monitoring kebakaran hutan, dan lahan hotspot.

RSPO kini bahkan mensyaratkan anggota untuk mengumumkan semua peta konsesi mereka terbuka aksesnya untuk publik.

RSPO bahkan kini menyediakan peta interaktif GeoRSPO yang dapat diakses publik kapan saja dan dimana saja.

Sampai dengan akhir tahun 2019, jumlah areal sawit yang telah mendapatkan sertifikasi adalah 3.89 juta hektare yang tersebar di 16 negara. 

Dari jumlah luasan itu dihasilkan 14.29 juta metrik ton CPO ditambah dengan 3.21 juta ton minyak kernel.

Jumlah produksi CPO bersertifikat itu hampir mencapai seperempat dari total produksi CPO global untuk tahun yang sama.

Pertumbuhan luasan itu naik 22 persen dari tahun 2018, dengan kecenderungan akan terus naik setiap tahunnya di hari-hari mendatang.

Baca juga: Kelapa Sawit ‘Penyelamat’ Perekonomian Warga Subulussalam Saat Pandemi, Begini Penjelasan Apkasindo

Siapkan Petani Aceh

Di Indonesia, sejumlah pemain besar sawit  seperti Wilmar, Sinar Mas, Bakrie, London Sumatera, Asian Agri, Musim Mas, dan cukup banyak pemain lain telah menjadi anggota RSPO dan menerapkan prinsip-prinsip yang ditetapkan.

Produk mereka juga telah terjamin laku dengan baik di pasar.

Perusahaan seperti Musim Mas bahkan telah mulai menggarap petani, dan sekarang tidak kurang dari 2092 petani sawit Riau telah menjadi anggota RSPO.

Apa yang terjadi di Riau oleh Musim Mas, sepertinya juga akan diikuti oleh kawasan-kawasan lain di Indonesia yang mempunyai perusahaan dan juga petani sawit.

Di Aceh juga akan terjadi, walaupun kita belum tahu siapa yang akan masuk ke situ.

Di samping itu, sekalipun Aceh punya luasan sawit yang termasuk 10 besar nasional, ada beberapa perusahaan sawit yang produknya tidak diterima oleh pemain anggota RSPO, karena berada dalam kawasan Ekosistem Leuser atapun lahan gambut.

Kekuatan pasar untuk mendikte persyaratan produksi kelapa sawit, baik oleh perusahaan maupun petani kini semakin dahsyat.

Dalam zaman digital dan globalisasi perdagangan yang sangat kuat, kekuatan “dikte” pasar itu akan terus masuk ke dalam sistem rantai pasok sawit kita.

Maka, jajaran pemerintahan di Aceh perlu membimbing perusahaan dan petani sawit di daerah kita, untuk memastikan sawit Aceh menjadi sawit berkelanjutan yang akan menjadi penyokong ekonomi gampong.

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved