Kupi Beungoh
Ekonomi Gampong Subulussalam: Peremajaan Sawit Rakyat Aceh, Database, dan Kelembagaan (XIII)
Kesahihan database saja telah memperkecil ruang manipulasi, termasuk seperti dugaan kasus korupsi proyek peremajaan sawit rakyat di Provinsi Aceh.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
PERSOALAN verifikasi keberadaan petani berikut dengan usahanya akan sangat efisien jika database SDTB tersedia.
Kesahihan database saja telah memperkecil ruang manipulasi, termasuk seperti dugaan kasus korupsi proyek peremajaan sawit rakyat di Provinsi Aceh.
Hal ini sangat dimungkinkan karena SDTB itu sendiri mengandung berbagai keterangan tentang nama pemilik, tempat/tanggal lahir, nomor KTP dan alamat, data kebun yang mencakup lokasi/titik koordinat kebun (desa/kecamatan).
SDTB juga menyangkut dengan status kepemilikan lahan (sertifikat hak milik/adat/SKT/sewa), nomor surat kepemilikan, luas areal, jenis tanaman, produksi per hektare/tahun, asal benih, jumlah pohon, pola tanam (monokultur/campuran dengan tanaman), jenis pupuk, mitra pengolahan, jenis tanah-mineral/gambut/mineral + gambut, tahun tanam dan usaha lain di lahan perkebunan sawit rakyat.
SDTB ini dipastikan akan berkontribusi besar terhadap perkembangan industri sawit nasional.
Baca juga: Program Peremajaan Sawit Rakyat di Subulussalam Capai 2.356 Hektare, Total Anggaran Rp 78 Miliar
Data dan Pintu Masuk Manipulasi
Ketiadaan data, menyebabkan berbagai instrumen kebijakan terkait pengembangan perkebunan sawit rakyat menjadi tidak tepat sasaran, seperti program revitalisasi perkebunan, program peremajaan tanaman, program bantuan bibit, dan program bantuan pupuk.
Ini tentu menjadi masalah yang terus membelenggu pengembangan perkebunan sawit rakyat.
Ketiadaan data secara berlanjut juga menyebabkan peluang korupsi menjadi terus menerus terbuka selama tiga tahun berturut.
Seperti yang ditegaskan oleh Kejaksaan Tinggi Aceh, dugaan kasus korupsi itu menyangkut dengan realisasi peremajaan sawit rakyat di Aceh.
Kasus itu menyangkut dengan realisasi anggaran 2018, sebanyak Rp 16 miliar, tahun anggaran 2019 sebesar Rp 243,2 miliar, dan tahun anggaran 2020 anggaran mencapai Rp 425,5 miliar.
Hal lain yang juga sangat krusial yang menyebabkan kasus penyalahgunaan peremajaan sawit rakyat di Aceh adalah persoalan kelembagaan petani.
Seperti halnya hukum besi pembangunan, apalagi yang menyangkut dengan pembangunan pedesaan seperti program sawit rakyat adalah kelembagaan petani sebagai subjek.
Dalam kasus peremajaan sawit rakyat Aceh, dugaan sementara yang tercermin dari temuan Kejati Aceh menunjukan bahkan kelembagaan yang menjadi prasayarat program itu dibuat secara instan.