Opini

Bumi dalam Nestapa

Persoalan ekologi yang nyata di depan mata tampaknya belum menjadi suatu kejeraan berarti bagi manusia

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Bumi dalam Nestapa
FOR SERAMBINEWS.COM
Siti Arifa Diana, S. Sos, MA. Alumni Magister Sosiologi di Selcuk University, Konya, Turki

Kejadian serupa juga dialami oleh warga di Desa Ceuruemen, Kabupaten Aceh Barat, tatkala gajah-gajah liar memasuki area perkebunan sawit setempat dan merusak lahan seluas empat hektar milik warga.

Sebelum itu, sempat viral berita tentang harimau yang turun ke pemukiman warga dan memangsa lima ternak sapi milik warga pada tahun 2019, di Desa Leubok Pusaka, Aceh Utara (Kompas.com).

Baca juga: Anggota DPRA Tuding Kerusakan Hutan Penyebab Banjir di Aceh, Kapolda dan Pangdam Harus Pantau Hutan

Sorenson menyatakan sifat superior dalam diri manusia mendorong ambisinya untuk mengakumulasi lebih banyak kekayaan alam hingga membiarkan makhluk hidup lain terbelenggu dalam kepunahanan habitat, serta populasi mereka.

Sebuah Keniscayaan

Saya sadar setiap tahunnya opini bertemakan ‘kerusakan alam’ akan selalu menjadi topik yang tak pernah kering untuk dibahas.

Namun percayalah ocehan ini bukan hanya dibuat untuk menanamkan sisi moralitas kita sebagai individu terhadap lingkungan, namun bagaimana cara kita selaku manusia menyelesaikan persoalannya (memenuhi kebutuhan hidup) dengan mempertimbangkan rasionalitas untuk tidak membebani lingkungan secara ekstrim.

Mungkin cara kita untuk menghemat listrik, mengurangi pemakaian plastik, tidak membuang sampah sembarangan adalah langkah sederhana untuk menjadi manusia yang bijak.

Tapi kita sedang berbicara tentang problem corak produksi, dan mentalitas kita dalam ketidaksiapan menghadapi resiko (bencana) yang telah kita buat.

Tuntunan kebutuhan memaksa untuk terus memproduksi dan memproduksi, bentang hutan yang luas diekstrak sedemikian untuk membangun infrastruktur, mendorong perkembangan industri tambang, dan distribusi kayu, mobilitas manusia terfokus pada produksi yang kelewat batas terhadap ekosistem untuk mengakumulasi modal sehingga menghasilkan keuntungan segila-gilanya.

Memang era globalisasi telah menuntut kebutuhan hidup manusia dalam ruang capital untuk memenuhi bahan baku, tenaga kerja, menunjang teknologi dan serta perambahan untuk menampung padatnya penduduk di dunia.

Akan tetapi corak-corak produksi yang dilakukan selama ini sangat memaksa alam bekerja keras terhadap manusia, tanpa disadari bahwa sumber daya yang ia miliki juga punya ambang batas tertentu.

Ironinya, parelitas kegiatan kapitalis ini terus melahirkan dampak penindasan alam tak berkesudahan.

Pemerintah maupun PT PT yang bekerja sama atas izinnya lantas begitu semarak mengkampanye aksi tanam pohon, dan gerakan hijau sebagai bentuk loyalitas terhadap lingkungan, dan mengklaim CSR perusahaan mereka mempunyai kontribusi merestorasi alam dengan menanam puluhan hektar tanaman untuk bumi.

Akan tetapi ada banyak kecacatan yang ditimbulkan dari mekanisme AMDAL yang dijalani, bagaimana masyarakat desa yang notabennya hidup berdampingan dengan ekosistem dan hutan, harus rela mendapatkan perlakuan tidak adil dari efek pencemaran lingkungan, banjir, serta krisis air bersih.

Memang sangat mustahil untuk mengakhiri keniscayaan akan bumi nestapa, tanpa kita segera mengkhiri mobilitas kapitalis di dunia ini.

Baca juga: Jokowi Cabut 2.078 Izin Tambang, Tertibkan Izin Sektor Kehutanan

Baca juga: Ini Dugaan Penyebab Banjir Luapan di Pandrah, Bukan Karena Tanggul Patah Tapi Dampak Hujan di Gunung

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved