Jurnalisme Warga

Daya Tarik Rencong di Mata Gadis Betawi

Dengan mengangkat penelitian yang berlatar belakang sejarah Aceh, saya memulai perjalanan hingga sampai di ‘Tanah Aulia’ tersebut

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Daya Tarik Rencong di Mata Gadis Betawi
FOR SERAMBINEWS.COM
MELINDA RAHMAWATI, Mahasiswi Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Prof.Dr.HAMKA, mantan peserta Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka di Kampus Universitas BBG, melaporkan dari Jakarta

OLEH MELINDA RAHMAWATI, Mahasiswi Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Prof.Dr.HAMKA, mantan peserta Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka di Kampus Universitas BBG, melaporkan dari Jakarta

9 Februari 2022 pukul 14.30 WIB merupakan hari yang terkenang bagi saya.

Saat itu, sebagian dari tanggung jawab sebagai mahasiswi telah terpenuhi.

Dengan mengangkat penelitian yang berlatar belakang sejarah Aceh, saya memulai perjalanan hingga sampai di ‘Tanah Aulia’ tersebut.

Sebuah perjalanan panjang yang awalnya saya bayangkan akan menemui banyak rintangan.

Setelah saya perlahan menjalaninya, membuat saya selalu terkenang dengan segala yang telah saya lakukan di Aceh.

Perjalanan tersebut dimulai dari akhir semester enam perkuliahan yang saya jalani.

Sebagai mahasiswi yang disiplin menjalankan tugas dan tanggung jawab, saya sudah mulai merancang untuk tugas akhir sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S-1).

Dengan merancang jauh sebelum waktunya tentu dapat lebih memudahkan dalam pengerjaan dan penyelesaiannya, demikian hemat saya.

Baca juga: Merindukan Cita Rasa Kuliner Aceh di Betawi

Baca juga: Aceh dalam Kenangan Gadis Betawi

Inspirasi penelitian saya hadir setelah berkali-kali menonton film ‘Tjoet Nja’ Dhien’ yang diperankan Christine Hakim tahun 1988.

Sebagai film bergenre perang dan sejarah, film ini cukup memberikan gambaran mengenai kerasnya perlawanan yang dilakukan oleh istri Teuku Umar tersebut.

Inspirasi saya muncul tepat pada bagian awal dari film ini, saat Teuku Umar dan seluruh penduduk kampung harus mengungsi untuk melindungi diri dari pembantaian yang dilakukan pihak Belanda kala itu.

Hanya satu pesan Teuku Umar kala itu, “Didiklah anak-anak kalian.

Bacakan hikayat Prang Sabi dalam hidup mereka agar mereka menjadi anak-anak yang terdidik dan mendengarkan petuah dari orang-orang tua kita.

Silat jawara Betawi meramaikan grand opening Atjeh Coffee Premium
Silat jawara Betawi meramaikan grand opening Atjeh Coffee Premium (Serambinews.com)

Insyaallah, jika kami semua syahid, mereka akan bangkit bersama perjuangan kita di jalan Allah.

” Dialog ini yang mendorong saya untuk memulai perjalanan penelitian tugas akhir saya ke provinsi paling ujung Pulau Sumatra.

Untuk mendapat informasi lebih lanjut, saya mendatangi Anjungan Provinsi Aceh di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang berlokasi di Jakarta Timur.

Sebuah tempat destinasi wisata yang dibangun oleh almarhumah Ibu Tien Soeharto yang terinspirasi dari kunjungan beliau ke Disneyland, Amerika Serikat.

Baca juga: Mendarat di Aceh, Menag Cicipi Makanan Khas Tanah Rencong, Thimpan

Baca juga: Andre Abubakar, Punggawa Tidore yang Betah di Tanah Rencong

Di anjungan itu saya tidak sengaja bertemu dengan Muhammad Taufik yang saat itu sedang berada di kantor pengelola anjungan.

Perbincangan kami membuahkan sebuah hasil berupa nomor kontak dari Kepala Museum Aceh, Bapak Mudha Farsyah.

Kemudian, saya diperkenalkan kepada rekan beliau, Muhammad Iqbal yang saat ini menjabat Kepala Perpustakaan Anjungan.

Perbincangan yang cukup panjang dengan beliau.

Hingga akhirnya, beliau memperkenankan saya untuk memiliki rencong yang telah dia miliki selama lebih dari 15 tahun.

“Datanglah kembali ke sini (anjungan), akan saya berikan rencong saya untukmu.

Rencong ini telah saya miliki sejak masa bujang.

Kini saya telah memiliki empat anak dan baru saya lepas rencong ini padamu.

Semoga sukses dengan penelitian yang kamu lakukan.

Baca juga: Cinderamata Rencong Batu Inovasi Poltas Masuk dalam Daftar Nominator Anugerah Pesona Indonesia 2020

Kamu orang Jakarta, tidak ada keturunan Aceh sedikit pun, tetapi berani melakukan penelitian tentang sejarah di Aceh dan bersedia untuk datang ke Aceh.

Saya bangga dengan semangatmu,” itulah ujaran beliau yang masih teringat hingga saat ini.

Kedatangan kedua saya yang selang beberapa minggu kemudian membuktikannya, rencong tersebut benar-benar dia bawa dan diserahkan kepada saya.

Rencong itu pula yang pada akhirnya menginspirasi saya untuk melakukan kunjungan ke Gampong Baet Lamphuot, Aceh Besar, saat saya masih menjalankan program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) di Aceh.

Walaupun saya sudah mendengar sedikit cerita tentang filosofi dari rencong ini, tetapi saya baru memahami lebih banyak mengenai filosofi, kegunaan, dan pembuatan rencong, saat saya mengunjungi Baet Lamphuot.

Seperti tulisan saya sebelumnya berjudul “Menelusuri ‘Kampung Rencong’ di Suka Makmur, Aceh Besar” pada 29 November 2021, terdapat setidaknya empat macam bentuk rencong seperti: rencong meupucok, rencong meucugek, rencong pudoi, dan rencong meukuree.

Baru saya sadari bahwa rencong yang sekarang saya miliki ternyata masuk dalam kelompok rencong meucugek dengan bahan dasar logam kuningan.

Jenis rencong ini umum dipakai para hulubalang (uleebalang) dan para laksamana/bentara dengan penggunaannya yang diselipkan di samping pinggang maupun tertutup lipatan kain.

Rencong menjadi senjata yang unik, tetapi mematikan jika digunakan.

Berbeda dengan keris di Jawa ataupun golok di Jakarta yang mata pisaunya sejajar dengan arah gagang untuk pegangannya.

Baca juga: Rencong Batu, Inovasi Poltas yang Tembus Nominasi API 2020

Mata rencong justru bertolak belakang dengan arah gagang untuk pegangannya.

Dengan ukurannya yang kecil dan runcing di ujung mata pisaunya, serta didukung dengan bentuk mata pisau yang demikian memudahkan untuk melumpuhkan musuh dengan jarak dekat tanpa disadari sebelumnya.

Tidak cukup sebatas itu saja, saya pun baru menyadari bahwa rencong itu sendiri sejatinya secara imajiner membentuk tulisan basmalah.

Hal ini dapat dilihat secara saksama dari gagang pegangannya.

Jika kita perhatikan saksama, lengkungan pada bagian gagangnya secara imajiner membentuk huruf ‘ba’ dalam bahasa Arab.

Begitu pula berlanjut pada bujurnya yang membentuk huruf ‘sin’, lalu pada bagian di bawah pangkal yang melekat dengan besi tubuh pisau membentuk huruf ‘mim’, hingga ujung tubuh pisau yang runcing membentuk huruf ‘ha’.

Filosofi yang tertangkap dari wujud senjata ini adalah selalu mengingat Tuhan dalam setiap perjalanan hidup kita dan meyakini tidak ada tempat memohon perlindungan yang lebih baik daripada memohon perlindungan Tuhan dari segala bahaya.

Juga saat kita sedang berjuang dalam perang kita telah termasuk dalam golongan mujahid hingga saat kita mati, kematian kita termasuk dalam syahid yang mendapat kemuliaan tertinggi.

Demikianlah, rencong tersebut menginspirasi dan memberikan semangat kepada saya melalui filosofi yang dikandungnya.

Saya selalu diingatkan sebagai hamba Allah yang sudah sepatutnya mengingat Sang Pencipta alam semesta ini.

Tidak ada tempat saya memohon perlindungan selain memohon kepada-Nya.

Usaha yang sedang atau akan saya jalankan sekiranya tidak hanya mengharap hasil semata, melainkan mengharap rida dan kemuliaan dari-Nya.

Refleksi atas diri saya semakin mendalam saat menggali informasi dan coba untuk mengerti filosofi dari senjata rencong ini.

Begitu pula kekaguman saya terhadap bumi mulia ini dengan segala atmosfer keislamannya yang masih kental terasa.

Hingga sampai pada satu waktu di Betawi, saya termenung, lalu terlintas kesadaran, “Di Aceh, saya tidak hanya menyelesaikan studi sarjana saya lewat penelitian yang saya lakukan.

Namun, saya juga secara lebih dalam merefleksikan diri dalam rohani yang selama ini jarang dilakukan karena kesibukan duniawi di kota metropolitan. ”

Baca juga: Tokoh Rabithah Alumni Mudi Perwakilan Jakarta Peusijuek Ulama Betawi

Baca juga: Tips Memasak Sayur Asem Betawi, Cocok, Enak, dan Segar untuk Hidangan Akhir Pekan

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved