Breaking News

Opini

Tata Cara Eksekusi Jaminan Fidusia

Beberapa waktu yang lalu Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengeluarkan putusan yang sangat monumental terkait dengan tata cara eksekusi

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Tata Cara Eksekusi Jaminan Fidusia
FOR SERAMBINEWS.COM
Hesphynosa Risfa, S.H., M.H. Advokat/Praktisi Hukum

* (Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi)

Oleh Hesphynosa Risfa, S.H., M.H.Advokat/Praktisi Hukum

Beberapa waktu yang lalu Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengeluarkan putusan yang sangat monumental terkait dengan tata cara eksekusi jaminan fidusia, yaitu Putusan Nomor 71/PUU-XIX/2021, tanggal 20 Januari 2022.

Putusan ini pastinya akan memiliki dampak positif bagi masyarakat demi terciptanya ketertiban dan kepastian hukum.

Dalam kehidupan masyarakat pastilah kita sering mendengar hubungan pinjam-meminjam baik dalam bentuk uang maupun barang.

Hubungan pinjam meminjam ini ada yang disertai dengan jaminan dan ada pula yang tidak disertai dengan jaminan, hal ini sangat tergantung kesepakatan kedua belah pihak.

Perjanjian pinjam meminjam dalam praktik juga sering menimbulkan persoalan hukum.

Persoalan ini pastinya tidak akan timbul jika antara kreditur (pemberi pinjaman) dan debitur (penerima pinjaman) dapat memenuhi hak dan kewajibannya sesuai dengan komitmen yang telah mereka sepakati.

Biasanya kreditur dapat meminta agar debitur memberikan barang jaminan.

Baca juga: Ingat! Candaan Bisa Dipidanakan Jika Masuk Kategori Bullying, Jaksa Beri Kesadaran Hukum untuk Siswa

Baca juga: YDBU Langsa Pimpinan Dr Amiruddin Lawan Upaya Eksekusi Aset, Kuasa Hukum: Rugikan Ribuan Santri 

Tujuannya agar jika debitur cidera janji (wanprestasi) maka kreditur dapat menjual jaminan tersebut untuk memenuhi sisa utang debitur yang belum ditunaikan.

Dalam tinjauan hukum jaminan ini disebut jaminan fidusia, yang ketika awal reformasi di masa Presiden BJ Habibie regulasinya diperbarui melalui UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.

Jaminan fidusia memiliki keunikan dibandingkan jenis jaminan lainnya, di mana secara yuridis jaminan tersebut dikuasai oleh kreditur (misalnya lembaga pembiayaan kendaraan bermotor atau perbankan), akan tetapi secara fisik tetap dikuasai oleh debitur.

Sebagai ilustrasi: A mengambil pinjaman pada sebuah lembaga perbankan, lalu bank meminta agar A menjaminkan mobil miliknya kepada bank.

Walaupun mobil tersebut merupakan jaminan pada bank akan tetapi A tetap bisa menikmati manfaat dari mobil tersebut untuk kegiatan sehari-harinya, bank hanya mengusai dokumen yuridis mobilnya saja akan tetapi A tetap bisa memakai mobil tersebut karena secara fisik tetap berada pada penguasaan A.

UU Nomor 42 Tahun 1999 menyebutkan bahwa jaminan fidusia memiliki kekuatan hukum yang luar biasa, kedudukannya disamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Norma tersebut diatur dalam Pasal 15 yang menyebutkan bahwa: (1) Dalam sertifikat Jaminan fidusia dicantumkan kata-kata: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (2) Sertifikat Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan (3) Apabila debitur cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.

Kemudian terkait tata cara eksekusi jaminan fidusia diatur kembali dalam Pasal 30 yang menyebutkan: (1) pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia; dan (2) dalam hal pemberi fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.

Baca juga: MaTA :  Kasus Pengadaan Westafel Dapat Dijerat Dengan Hukuman Mati

Dalam praktik selama ini kalimat “bantuan pihak yang berwenang” dimaknai adalah pihak kepolisian sesuai dengan ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.

Dua putusan MK

Terkait dengan tata cara eksekusi sebagaimana penulis uraikan di atas, MK telah menguji dua perkara yang sangat penting untuk pembaruan hukum kedepan, terkait dengan interpretasi Pasal 15 dan Pasal 30 UU Nomor 42 Tahun 1999.

Kedua hal tersebut dituangkan dalam Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 tanggal 20 November 2019, kemudian belum lama ini melalui Putusan Nomor 71/PUU-XIX/2021, tanggal 20 Januari 2022.

Di televisi maupun surat kabar kita sering mendengar lembaga pembiayaan menggunakan jasa debt collector (juru tagih) untuk menagih pelunasan kewajiban kepada nasabah yang terlambat membayar cicilan.

Bahkan tidak jarang dilakukan tanpa melalui prosedur hukum yang benar.

Di banyak kasus juga dilakukan dengan kekerasan, paksaan, dan ancaman.

Tindakan seperti ini sangat meresahkan masyarakat, khususnya masyarakat yang memiliki kredit kendaraan bermotor pada suatu lembaga pembiayaan atau perbankan.

Masalah seperti ini timbul karena kreditur memegang ketentuan dalam UU Nomor 42 Tahun 1999.

Bahwa kreditur memiliki “hak untuk langsung mengeksekusi” kendaraan bermotor jika debitur terlambat untuk menunaikan kewajibannya.

Karena jika kita membaca ketentuan UU Fidusia seolah-olah memberikan kedudukan yang lebih kuat kepada kreditur dibandingkan dengan debitur.

Baca juga: Saksi Ahli Sebut Keluarga Ayah Berhak Atas Perwalian Gala Sky, Kuasa Hukum Doddy Beri Respons

Melihat beberapa persoalan yang timbul dilapangan maka MK melakukan reinterpretasi ketentuan Pasal 15 tersebut.

MK melihat adanya kedudukan hukum yang tidak seimbang antara kreditur (lembaga pembiayaan atau bank) dengan debitur (nasabah).

Selama ini kekuatan eksekutorial sebagaimana diatur dalam Pasal 15 dimaknai bahwa kreditur dapat langsung mengeksekusi jaminan miliki debitur jika terjadi cidera janji, karena dianggap sebagai putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

MK dalam putusannya meluruskan pemahaman tersebut, waktu terjadinya cidera janji haruslah disepakati secara suka rela antara kreditur dan debitur, tidak bisa hanya ditentukan oleh kreditur sebelah pihak.

Meskipun berdasarkan dokumen tertulis (misalnya perjanjian kredit) cidera janji memang telah terjadi.

Maka dari itu kerelaan debitur sangat dibutuhkan agar kreditur dapat mengeksekusinya.

Kemudian pastilah akan timbul pertanyaan, bagaimana jika debitur tidak rela jika dikatakan cidera janji? Maka kreditur dapat menempuh upaya melalui mekanisme pengadilan.

Mekanisme ini bukanlah dalam bentuk gugatan akan tetapi debitur dapat meminta agar pengadilan mengeluarkan penetapan eksekusi.

Yang perlu dipahami penetapan pengadilan bersifat pilihan jika debitur tidak mengakui bahwa dirinya telah melakukan cidera janji.

Kemudian dalam perkara yang lain belum lama ini MK juga melakukan reinterpretasi ketentuan Pasal 30 UU Fidusia.

Dalam praktik selama ini permohonan eksekusi dapat langsung diajukan secara tertulis oleh kreditur kepada Kapolda atau Kapolres tempat eksekusi dilaksanakan, praktik seperti ini tidak dibenarkan oleh MK.

Baca juga: Kejari Aceh Besar Gelar Penyuluhan Hukum Jaksa Masuk Sekolah di SMPN Kuta Cot Glie

MK dalam putusannya menyebutkan tata cara eksekusi hanya boleh dilakukan melalui pengadilan negeri, kreditur tidak boleh langsung mengajukan permohonan kepada pihak kepolisian sebagaimana selama ini.

Hanya pengadilanlah yang diberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi jika debitur tidak mengakui secara suka rela.

Semoga dengan adanya dua putusan MK ini kita tidak mendengar lagi kasus-kasus yang terjadi dilapangan, seperti perampasan barang milik debitur secara melawan hukum oleh debt collector yang sangat meresahkan masyarakat.

Baca juga: Kawin Paksa Masuk Delik Pidana, Pelaku Kekerasan Seksual Minimal Dihukum 4 Tahun Penjara

Baca juga: Kejari Aceh Selatan Beri Penyuluhan Hukum kepada Siswa SMA, Ingatkan Bahaya Narkoba dan Judi Online

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved