Opini
Benteng Demokrasi Jurnalis
PADA 12 April lalu saya diundang oleh tim survei Dewan Pers terkait hasil penelitian mereka tentang Indeks Kebebasan Pers di Aceh

Intervensi terjadi karena ada kepentingan pemerintah daerah dan aparat keamanan yang terganggu.
Kasus-kasus yang sensitif diberitakan adalah kasus korupsi, kemiskinan, kekerasan seksual yang melibatkan orang penting, politik agraria, dan juga illegal logging.
Bentuk intervensi bisa secara verbal hingga fisikal yang dialami oleh Asnawi.
Hubungan antara media dengan isu-isu panas tersebut menurut survei tidak terjadi upaya swasensor baik oleh pemilik media atau wartawan.
Namun menurut saya self-sensorship masih terjadi.
Alasannya bukan semata karena tekanan politik, tapi “akses-akses lain” yang mungkin terhambat kalau mereka menjadi “media keras kepala” kepada birokrasi- pemerintahan.
Iklan masih menjadi nyawa utama media-media tersebut dalam menjalankan pekerjaan bisnisnya.
Bahkan kedekatan media dengan pemberi iklan kerap membuat fungsi kontrol sosial berkurang.
Masalah amplop Salah satu yang menjadi masalah dalam pemberitaan adalah ketepatan dalam pemberitaan dan masalah amplop.
Jika dilihat di era multiplatform dan menjamurnya media siber, akurasi pemberitaan kerap terjadi.
Masalahnya, media saat ini lebih mementingkan kecepatan dalam pemberitaan dibandingkan ketepatan faktual.
Wartawan merasa menjadi pemenang ketika bisa menjadi media pertama yang memberitakan.
Godaan dari pemberitaan netizen atau media sosial juga menjadi sebab wartawan kerap blunder dalam memberitakan info atau rumor dibandingkan fakta.
Memang sejak memasuki milenium ketiga konstruksi media informasi dan komunikasi semakin beragam, dan peran penyedia platform seperti google dan youtube semakin perkasa.
Akhirnya yang terjadi saat ini adalah membuncahnya informasi di jagad maya dan digital, yang membuat batas antara fakta dan opini semakin kabur, dan tergelincir pada misinformasi, disinformasi, dan berita palsu.