Kupi Beungoh
Kemarau Basah, Surya Paloh, dan Penjabat Gubernur (I) – Aceh Sedang Phet That That?
Anehnya semakin ke ujung periode pertama dana Otsus pilihan terhadap “phet that that” (sangat sangat pahit) semakin dominan.
Banyak kata yang keluar “mangat” (enak), dan kurang dari sepertiga sampel yang menyebut “lagee biasa” (seperti biasa), dan di sana sini ditemukan pilihan “phet” (pahit).
Ketika dianjutkan pada tahun berikutnya, secara drastis jawabannya berpindah ke pilihan “phet” (pahit), walau ada satu dua yang menyebut “lagee biasa” (biasa saja).
Di sana-sini ditemukan pilihan phet that (sangat pahit), dan ada satu dua yang menyebutkan “phet that that” (sangat sangat pahit).
Pada tahun-tahun berikutnya masih ditemui pilihan “mangat” (enak) dan sangat sedikit yang memilih “lagee biasa” (biasa saja).
Pilihan yang paling dominan adalah “phet” (pahit), dan “phet that” (sangat pahit).
Anehnya semakin ke ujung periode pertama dana Otsus pilihan terhadap “phet that that” (sangat sangat pahit) semakin dominan.
Dalam konteks ini tidak salah kalau kemudian, kehidupan rakyat Aceh dikonotasikan dengan istilah BMKG dalam konteks cuaca pembangunan, maka istilah yang layak bukan lagi kemarau, tetapi lebih kepada kemarau panjang.
Baca juga: Gubernur Nova Iriansyah Sebut Aceh tak Perlu Takut Jika Dana Otsus Berakhir, Ini Alasannya
Baca juga: Kelalaian Kolektif Dana Otsus Aceh dan Tugas Berat Berikutnya
Baca juga: Berikhtiarlah Mencegah Penyetopan Dana Otsus
Surya Paloh dan Warning Lampu Merah
Pilihan tentang penilaian publik kepada kondisi kehidupan Aceh hari ini “phet that-that” yang beranologi dengan kemarau panjang mungkin saja berkonotasi bias ataupun berlebihan yang dapat diperdebatkan secara ilmiah.
Akan tetapi kalau seorang Surya Paloh, seorang politisi kawakan dan bahkan tokoh nasional yang diperhitungkan, menyebutkan bahwa Aceh berada dalam status “lampu merah”, maka itu adalah sebuah konformasi terhadap istilah kemarau panjang pembangunan yang diderita oleh Aceh rezim otonomi khusus periode 15 tahun.
Statemen Paloh kemudian juga berpelukan dan bahkan berpasangan “mesra” dengan pilihan sampel yang terpilih untuk uji coba pertanyaan penelitian yang menggunakan kata “phet that that” (sangat sangat pahit), terhadap keadaan kehidupan masyarakat saat ini.
Statemen Paloh juga memberikan implikasi besar dan luas terhadap pandangan dan persepsi publik nasional terhadap Aceh.
Esensi dari pernyaataan seorang politisi seperti Paloh yang juga pemilik kerajaan media tentang kemelut Aceh, sekaligus memastikan dan menghilangkan keraguan publik nasional bahwa Aceh memang sedang “sekarat.”
Kucuran dana sebesar 95.740 triliun rupiah selama 15 tahun harus diakui ada manfaatnya, namun sama sekali tak sebanding antara jumlah kucuran dana dan hasil yang didapatkan.
Kalaulah ada deretan sejumlah perkara menonjol yang dapat dikategorikan sebagai “aib nasional” hari ini, maka kegagalan Aceh membuat rakyatnya lebih baik adalah satu di antaranya.
Tragisnya, jika aib nasional lainnya mempermalukan publik nasional secara kolektif dari Sabang sampai Meurauke, sebaliknya, aib Aceh menjadi tanggungan rakyat Aceh sendiri mulai dari Sabang sampai dengan Kota Subulussalam dan Kecamatan Bandar Pusaka di Kabupaten Tamiang.
Ketika kali ini keputusan untuk siapa yang akan memimpin Aceh berada di tangan pemerintah pusat, pertanyannya bukanlah apakah hujan pembangunan akan terjadi di Aceh?
Pertanyaan yang layak diajukan adalah apakah ketika hadirnya pejabat gubernur yang baru justeru akan memperpanjang kemarau panjang yang sudah ada ataukah akan mulai membawa “kemarau basah”, seperti apa yang akan dialami oleh petani Aceh seperti prediksi BMKG baru-baru ini?
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel Kupi Beungoh Lainnya di SINI