Kupi Beungoh

Kemarau Basah, Surya Paloh, dan Pejabat Gubernur (II) – Ibarat Menangani Pasien Koma

Sangat penting untuk diingat adalah pejabat kali ini tidak sama dengan penjabat gubernur yang pernah ada dalam sejarah pemerintah Aceh.

Editor: Amirullah
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Pertanyaannya, apakah perilaku konsumtif itu akan berlanjut dengan segala cara, ataukah akan ada penyesuaian?

Tidak hanya itu, isu selama ini tentang pentungnya jumlah akan bergeser kepada penting, benar, dan arifnya pengeluaran?

Walaupun pertanyaan itu lebih berasosiasi dengan pemegang mandat publik, namun konsekwensi pengurangan dana juga akan menjadi cobaan besar untuk berbagai kalangan.

Secara sangat khusus akan ada beberapa pihak yang selama ini berada dalam “zona nyaman” yang akan sangat terganggu dengan berakhirnya Dana Otsus satu persen itu.

Sekalipun akan cukup pekerjaan lain yang dihadapi oleh pejabat gubernur, pengurangan dana ini akan menimbulkan konsekuensi anggaran pembangunan yang “tidak biasa”, yang dapat menimbulkan berbagai gejolak dalam masyarakat.

Hal ini menjadi lebih kritis, karena pada kenyataannya pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten/kota sama sekali tidak menyiapkan skenario persiapan “phasing out” penurunan anggaran Dana Otsus dari dua persen ke satu persen secara sistematis.

Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (I): Denazifikasi dan Demiliterisasi Ukraina

Salah satu keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh penjabat gubernur yang akan datang adalah kebijakan rekalibrasi dan rasionalisasi anggaran berikut penyederhanaan lembaga SKPA, baik melalui penghapusan, ataupun penggabungan yang ditujukan untuk efisiensi dan efektivitas kinerja pemerintahan.

Kebijakan ini akan memberikan wajah baru satuan kerja pemerintah Aceh dan kabupaten kota.

Hal ini mempunyai tingkat “kerumitan” tersendiri, karena praktis akan memunculkan landskap baru organisasi pemerintahan dan rencana anggaran tahunan yang berhulu pada alokasi dana Otsus yang baru.

Salah satu persoalan penting yang dihadapi Aceh semenjak pascaperdamaian sampai hari ini adalah tingginya angka kemiskinan.

Tingkat kemiskinan Aceh terakhr adalah 15.53 persen (BPS 2021) -850 ribu jiwa, jauh di atas rata-rata nasional ,7.60 persen, dan bahkan merupakan provinsi termiskin se Sumatera.

Barangkali salah satu bukti yang memperkuat sinyalemen dan obseravsi Surya Paloh tentang Aceh adalah fakta statistik kemiskinan ini yang telah bertengger cukup lama di Aceh.

Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya untuk menjadi catatan dan perhatian adalah semakin meningginya konflik ummat yang lebih bernuansa khilafiah.

Baca juga: Masa Depan Media Cetak: Alkhwarizmi, Bezos, The Post, dan Acaman Kepunahan (I)

Hal ini ditandai dengan perebutan sejumlah masjid dan pelarangan ibadah shalat Jumat dan shalat berjamaah yang dilakukan oleh kelompok fikih tertentu terhadap kelompok lainnya.

Bahkan kejadian terakhir di dua kabupaten, adalah pemerintah daerah sendiri yang terlibat dengan pelarangan pendirian masjid, dan pelarangan ibadah praktik ibadah berjamaah dan shalat Jumaat, yang lebih didasari oleh persoalan fikih yang tidak pernah terselesaikan.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved