Kupi Beungoh

Kemarau Basah, Surya Paloh, dan Pejabat Gubernur (II) – Ibarat Menangani Pasien Koma

Sangat penting untuk diingat adalah pejabat kali ini tidak sama dengan penjabat gubernur yang pernah ada dalam sejarah pemerintah Aceh.

Editor: Amirullah
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Sekalipun potensi konflik vertikal antara daerah dengan pusat relatif sangat kecil, namun benih-benih ketegangan masih tetap berlanjut, terutama dengan tuntutan sebagian elit politik daerah tentang realisasi MoU Helsinki yang dianggap masih belum terpenuhi.

Hal itu tercermin dalam penafsiran terhadap kewenangan dalam UUPA no 11 2007 untuk Qanun tertentu cenderung ditafsirkan dengan “isi” dan “semangat” MoU Helsinki, yang cenderung dibaca secara sepihak, sementara basis yang dapat menjadi acuan Qanun adalah UUPA no 11 2007 dan berbagai perangkat Undang Undang lain yang berlaku.

Akibatnya, sejumlah Qanun tertentu sampai hari ini belum mendapat pengesahan dari pemerintah pusat.

Baca juga: Penyakit Aceh: Imbuhan “Ter” yang Permanen

Ibarat Menangani Pasien Koma

Terlepas dari berbagai tantangan dan persoalan yang akan dihadapi oleh penjabat gubernur yang baru ada suatu keberuntungan yang memberikan peluang yang besar baginya untuk disebut berprestasi.

Ibarat pasien koma di rumah sakit, yang ditempatkan dalam ruangan ICCU, sedikit saja terjadi kemajuan terhadap sang pasien, waluapun hanya bersin saja, apalagi tabung oksigen tidak lagi diperlukan, maka itu adalah prestasi.

Belum lagi kalau sang pasien tidak lagi menggunakan infus, dan dipindahkan ke ruangan rawat inap, maka dokter yang menangani sang pasien akan mendapat pujian dan bahkan doa dari seluruh ahli famili dan handai tolan.

Apalagi kalau penyakit beratnya dapat ditangani dengan baik, dan ketika sang pasien keluar dari rumah sakit, berita
keberhasilan dan pujian akan datang silih berganti.

Apakah metafora kemarau panjang atau pasien gawat darurat di ruang ICCU, itulah keadaan Aceh yang kita hadapi saat ini.
Realitas pembangunan dengan berbagai ketimpangan, berikut dengan sejumlah perilaku “tak biasa” penggunaan anggaran selama ini telah membuat Aceh menjadi sangat terpuruk.

Ada anak muda atau mahasiswa asal Aceh yang sekolah di luar Aceh yang menderita penyakit “rendah diri” akibat dari apa yang dilakukan oleh elitnya di daerah.

Baca juga: Aceh Masih Bisa Terima Dana Otsus Usai 2027, Humam Hamid: Butuh Perjuangan Politik untuk Meraihnya

Jika hal ini terus berlanjut, maka label Aceh sebagai daerah yang tak menentu, tak terurus dengan baik, dan tak jelas masa depannya akan membawa penyakit baru yang sangat berbahaya.

Pesismisme kolektif dan tingkat kepercayaan dalam masyarakat yang sangat rendah adalah awal dari bangunan besar penjara keterbelakangan yang diisi oleh generasi baru Aceh di masa depan.

Dalam konteks kedatangan pejabat gubernur baru ke Aceh, apa yang layak untuk dijadikan sebagai indikator sukses sang pejabat untuk masa 3 tahun yang akan dijalaninya?

Menetapkan target yang terlalu tinggi tentu saja sangat tidak realistis, apalagi segera akan ada hujan yang membawa kemakmuran-menggunakan metafora BMKG, itu terlalu mustahil, untuk tidak menyebutkan ajaib.

Selanjutnya, mematok pasien segera keluar dari rumah sakit apalagi sembuh total –menggunakan metafora pasien ICCU- juga tidak realistis.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved