Jurnalisme Warga
Sebab Penyesalan Selalu Datang Terlambat
KILAT kepak sayap biru burung cekakak (kingfishers) melintas cepat dan hilang sekejap dalam hektaran lahan sawit di sepanjang mata memandang

Tergeraknya masyarakat Aceh Tamiang, termasuk Tenggulun, untuk memakmurkan kawasan restorasi tidak terlepas dari pengalaman pahit akan banjir bandang yang pernah menimpa mereka tahun 2006.
Doles, salah seorang warga Tenggulun, yang berpindah haluan dari seorang “preman sawit” menjadi pejuang restorasi lingkungan mengisahkan bagaimana kesadaran akan pentingnya penjagaan lingkungan hidup membuat hatinya tergerak untuk peduli dan berhenti melakukan aktivitas yang dapat merusak alam dalam jangka panjang.
“Saat keluar dari ‘lingkaran setan’ memang sulit.
Ada banyak ancaman, termasuk ancaman nyawa.
Namun, kalau niat kita tulus untuk memperjuangkan kebenaran, maka semua akan Allah mudahkan,” tuturnya.
Doles menceritakan bagaimana transisi hidup yang terjadi padanya dari seorang yang hanya terpicu dengan uang dan tak ambil pusing akan keselamatan lingkungan, menjadi sosok yang sangat cinta akan kelestarian alam.
Hati yang telah tersentuh kesadaran dan wawasan yang semakin terbuka membuatnya paham bahwa harta sesungguhnya yang dimiliki masyarakat Tamiang bukanlah puluhan juta rupiah yang dikantongi, melainkan keberadaan keseimbangan kawasan hutan dengan keanekaragamannya yang asri.
“Dulu, saat menjadi ‘preman sawit’, uang saya banyak, tetapi saya seperti gembel.
Uangnya habis begitu saja, tidak berkah.
Kini, saya sadar dan menjadi sangat cinta untuk menjaga serta merestorasi kawasan hutan.
Terkadang, kalau ingat betapa saya dulu tidak peduli terhadap alam, saya merasa begitu emosional,” kisah staf Stasiun Restorasi Kawasan Hutan Tenggulun ini.
Bahasa cinta konservasionis
Perjalanan mengelilingi Aceh Tamiang sejak 1-4 Agustus 2022 tersebut mempertemukan saya tidak hanya dengan kelompok tani, staf restorasi, dan warga desa, tetapi juga dengan para konservasionis, yaitu orang-orang yang hatinya telah terpaut untuk menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan hidup.
“Jika dilihat dari sisi ekonomi ekologi, kita butuh memahami efek jangka panjang suatu siklus kehidupan.
Sawit memang memberi penghidupan, tetapi apakah efek jangka panjang dari kerusakan yang ditimbulkannya itu setimpal?” tutur Farwiza Farhan, chairperson HAkA (Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh) saat kami menghabiskan waktu menyantap hidangan makan siang bersama di kawasan restorasi Tenggulun.