Kupi Beungoh
Aceh dan Kepemimpinan Militer (VI) - Sultan Al Mukammil, "Repertoar Raja Boneka”
Saya abai membaca habis tentang seorang Sultan yang cukup fenomenal, yang sangat berperan dalam membangun angkatan laut kerajaan Aceh Darussalam.
Ia adalah adalah cucu penerus kerajaan Lamuri, Muzafarsyah, melalui putranya Firmansyah.
Ketika kerajaan Aceh Darussalam belanjut dalam kepemimpinan dinasti Ali Mughayatsyah, Al Mukammil hanya rakyat biasa saja.
Ketika ia dibujuk untuk menjadi Raja Aceh Darussalam yang ke 10, umurnya sudah mencapai 67 atau 70 tahun, umur yang sudah sangat tua untuk ukuran pemimpin pada masa itu.
Memang, ketika ia masih muda, karir militernya cukup baik, bahkan ia sempat menjadi komandan militer, mungkin salah seorang Panglima tangguh yang melayani kerajaan.
Laksamana Peranc (Lombard 1991), menulis catatan tentang bagaimana Al Mukammil menjadi raja dalam sebuah catatan prosa yang sangat menarik.
Beaulieu, menceritakan tentang krisis kerajaan Aceh yang telah berlangsung lama dalam sebuah suasana yang sangat kacau, karena perilaku elite kerajaan yang sangat rusak.
Para orang kaya- gelar untuk bangsawaan Aceh pada masa itu- saling berkonflik dan seringkali berujung dengan saling berbunuhan.
Para raja Aceh yang kebetulan lemah diperalat, oleh para orang kaya untuk kepentingan materi dan kekuasaan mereka.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (I) - Dari Klasik Hingga Kontemporer
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (II) - Ali Mughayatsyah dan Efek Pygmalion
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (III) - Ali Mughayatsyah dan Detente 235 tahun
Elite dan “Raja Boneka”
Ramainya perdagangan mancanegara di “Bandar Aceh” telah membuat lahirnya para saudagar kaya raya, yang sebagian besar dari mereka adalah bangsawan atau elite kerajaan.
Saking kayanya para elite itu, tak jarang kewibawaaan raja dikangkangi, baik dalam pakaian, pameran kekayaan, bahkan tak jarang rumah mereka dijaga oleh para budak dan meriam di halaman.
Terhadap raja, bila saja para orang kaya merasa kepentingannya terganggu, maka mereka berkomplot untuk membunuh raja.
Ketika diangkat raja yang baru, seolah adalah hal yang wajar bahwa sang raja tak lebih dari boneka para orang kaya.
Kejadian itu menjadi sangat kritis ketika Sultan Buyung terbunuh pada tahun 1569.
Para orang kaya bersepakat untuk memilih penggantinya dari sesama mereka.