Kupi Beungoh
Aceh dan Kepemimpinan Militer (VI) - Sultan Al Mukammil, "Repertoar Raja Boneka”
Saya abai membaca habis tentang seorang Sultan yang cukup fenomenal, yang sangat berperan dalam membangun angkatan laut kerajaan Aceh Darussalam.
Ahmad Humam Hamid*)
PADA awal serial artikel ini, saya telah membuat kesalahan fatal.
Saya hanya memilih tiga orang saja raja Aceh yang mempunyai kemampuan dan kapasitas kepemimpinan militer dalam membangun Kerajaan Aceh Darussalam.
Di bagian pertama artikel saya hanya menulis Sultan Ali Mughayatsyah, Sultan Alaidin Riayatsyah Al-Qahhar, dan Sultan Iskandar Muda.
Saya abai membaca habis tentang seorang Sultan yang cukup fenomenal, yang sangat berperan dalam membangun angkatan laut kerajaan Aceh Darussalam.
Kesaksian dan deskripsi para ahli bahkan menyebutkan ia mempercayakan kepemimpinannya kepada Laksamana perempuan, Keumalahayati.
Sebuah relates kesetaraan yang bahkan sampai hari in tak tertandingi.
Ia juga mengirim Duta Besar Aceh kepada pendiri Dinasti Oranye Van Nasau, Pince Maurice di negeri Belanda.
Ia adalah Sultan Al Mukammil, dengan nama lengkap Sultan Alaidin Riayatsyah.
Gelar Al Mukammil adalah sebutan yang diberikan kemudian, setelah ia berkuasa.
Al Mukammil adalah seorang raja yang sangat kontroversial.
Ia adalah Sultan Kerajaan Aceh Darussalam yang ke 10.
Husein Jayadingrat (1911) mencatat, walaupun tidak ada bukti yang kuat, ada dugaan ia menuduh Almukammil terkait dengan kematian Alaudin Mansursyah pada tahun 1585-1586, dan Sultan Buyung 1589, berturut-turut raja ke 8 dan 9 kerajaan Aceh Aceh Darussalam.
Pada saat berkuasa, ia juga membunuh raja Asyem, cucu Alaudın Mansursyah yang seharusnya menjadi Raja ke 10.
Al Mukammil adalah keturunan dari para raja kerajaan Aceh abad ke 15 sebelum tampilnya Ali Mughayatsyah.
Ia adalah adalah cucu penerus kerajaan Lamuri, Muzafarsyah, melalui putranya Firmansyah.
Ketika kerajaan Aceh Darussalam belanjut dalam kepemimpinan dinasti Ali Mughayatsyah, Al Mukammil hanya rakyat biasa saja.
Ketika ia dibujuk untuk menjadi Raja Aceh Darussalam yang ke 10, umurnya sudah mencapai 67 atau 70 tahun, umur yang sudah sangat tua untuk ukuran pemimpin pada masa itu.
Memang, ketika ia masih muda, karir militernya cukup baik, bahkan ia sempat menjadi komandan militer, mungkin salah seorang Panglima tangguh yang melayani kerajaan.
Laksamana Peranc (Lombard 1991), menulis catatan tentang bagaimana Al Mukammil menjadi raja dalam sebuah catatan prosa yang sangat menarik.
Beaulieu, menceritakan tentang krisis kerajaan Aceh yang telah berlangsung lama dalam sebuah suasana yang sangat kacau, karena perilaku elite kerajaan yang sangat rusak.
Para orang kaya- gelar untuk bangsawaan Aceh pada masa itu- saling berkonflik dan seringkali berujung dengan saling berbunuhan.
Para raja Aceh yang kebetulan lemah diperalat, oleh para orang kaya untuk kepentingan materi dan kekuasaan mereka.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (I) - Dari Klasik Hingga Kontemporer
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (II) - Ali Mughayatsyah dan Efek Pygmalion
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (III) - Ali Mughayatsyah dan Detente 235 tahun
Elite dan “Raja Boneka”
Ramainya perdagangan mancanegara di “Bandar Aceh” telah membuat lahirnya para saudagar kaya raya, yang sebagian besar dari mereka adalah bangsawan atau elite kerajaan.
Saking kayanya para elite itu, tak jarang kewibawaaan raja dikangkangi, baik dalam pakaian, pameran kekayaan, bahkan tak jarang rumah mereka dijaga oleh para budak dan meriam di halaman.
Terhadap raja, bila saja para orang kaya merasa kepentingannya terganggu, maka mereka berkomplot untuk membunuh raja.
Ketika diangkat raja yang baru, seolah adalah hal yang wajar bahwa sang raja tak lebih dari boneka para orang kaya.
Kejadian itu menjadi sangat kritis ketika Sultan Buyung terbunuh pada tahun 1569.
Para orang kaya bersepakat untuk memilih penggantinya dari sesama mereka.
Augustin de Beaulieu (1589–1637), seorang jenderal Prancis yang berkunjung ke Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda menulis, berkali-kali terjadi pertemuan para orang kaya itu, namun tetap saja tidak tercapai sebuah kesepakatan final.
Karena ada beberapa orang yang berkeinginan menjadi raja, tapi tidak ada yang lebih antara satu dengan yang lainnya.
Praktis tidak ada dukungan yang kuat untuk seseorang, sehingga pemilihan itu tidak menghasilkan raja baru Kerajaan Aceh Darussalam.
Di tengah kebuntuan itu, para orang kaya bertemu dengan qadhi kerajaan-Beaulieu menyebutnya Uskup, dan sang qadhi mengusulkan jalan tengah.
Diusulkan, mencari orang kaya lain yang tidak ikut dalam “komplotan” pemilihan raja baru itu.
Ia mengajukan seorang yang sudah tua, dari keluarga terhormat, mempunyai reputasi baik dan terpandang, sangat bijaksana, dan secara apapun dia lebih dari individu-individu kelompok orang kaya itu.
Semua setuju dengan usul qadhi untuk memilih dan menerima Alaidin Riayatsyah.
Para orang kaya itu mendatangi dan meminta Alaidin untuk menjadi raja, namun sang orang tua berterimakasih sekaligus menolak halus ajakan itu.
Alaidin menerangkan bahwa ia ingin memutuskan kehidupan duniawi dengan dirinya, dan ia ingin dalam ketenangan.
Para orang kaya terus menerus mendesaknya, dan bahkan mulai mengancam untuk membunuhnya jika ia tetap menolak.
Para orang kaya terus mendesak Alaidin, karena mereka sangat yakin “si tua” gampang diatur dan diperintah.
Akhirnya menurut cerita, para orang kaya ditemani oleh qadhi kerajaan membawa mahkota dan pedang.
Kini alasannya yang sangat kuat, ancaman perpecahan masa depan kerajaan Aceh Darussalam.
Alaidin hanya punya dua pilihan, menerima mahkota atau dibunuh.
Akhirnya Alaidin sangat terpaksa, dan ia menerima kepercayaan menjadi raja kerajaan Aceh Darussalam yang ke 10.
Namun kini ia mengajukan syarat, bahwa ia tidak hanya raja, tetapi ayah dari rakyat, terutama ayah dari para orang kaya.
Itu berarti para orang kaya akan patuh, taat, dan bahkan siap menerima hukuman apapun dari Alaidin.
Ia diagungkan, dan pada hari itu pula ia diletakkan di atas tandu dan dibawa ke Masjid Baiturahman, dan setelah itu ditandu pula ia ke Astana.
Rakyat senang bukan kepalang, karena sang raja “yang tua” itu telah dipilih dan ditetapkan.
• Aceh dan Kepemimpinan Militer (IV) - Alaiddin Riayat Syah, Sang Penakluk dan Armadanya
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (V) - Alaiddin Riayat Syah, Sulaiman Agung, dan Laksamana Kortuglu
Murka “si Tua”
Beberapa hari kemudian, giliran ia mengundang para orang kaya untuk datang ke istana mengikuti syukuran dan perayaan dimulainya era Alaidin membawa bahtera kerajaan Aceh.
Para orang kaya datang pakaian yang indah dan istimewa.
Musik ditabuh, makanan lezat dihidangkan, dan sebagian massa sudah mulai histeris.
Riuh rendah kegembiraan dan teriakan mulai terdengar dari dalam istana, sementara para pengawal raja mulai membawa satu demi satu para orang kaya melalui sebuah lorong yang indah dan rapi.
Satu per satu para orang kaya disekap dan dibunuh oleh para algojo.
Di ujung lorong dalam istana telah digali pula sebuah lobang besar, di mana mayat para orang kaya yang telah dibunuh di lempar ke dalamnya.
Beaulieu menulis, paling kurang 200 orang kaya, tepatnya elite kerajaan dibunuh pada acara perhelatan itu, atas perintah Alaidin.
Beaulieu tentu saja tidak melihat peristiwa itu, karena ia datang ke Aceh pada masa pemerintahan Iskandar Muda.
Ia menjadi tamu kerajaan, dan ia tahu, dan bahkan mungkin ia mendapat cerita itu dari orang-orang tertentu pada masa itu.
Yang pasti rakyat Aceh tahu, dan bahkan menjadi pengetahuan umum, bahwa Iskadar Muda menjadi raja ketika Beaulieu menegunjungi Aceh, melakukan hal yang sama kepada cukup banyak orang kaya kerajaan Aceh pada masa itu.
Apa yang dilakukan Iskandar Muda tidak lain dari apa yang dilakukan kakeknya -Alaidian Riatasyah Mukammil- terhadap para orang kaya yang menjadi sumber “instabilitas” kerajaan Aceh Darussalam sebelumnya.
Para orang kaya itu adalah para pengacau yang telah membuat para raja-raja yang tak cakap, dan mungkin sangat lemah, menjadi korban perlakuan mereka.
Bahkan menurut Beaulieu, jumlah orang kaya yang dibunuh oleh Iskandar Muda jauh lebih banyak dari apa yang dilakukan oleh Alaidin, kakeknya.
Tulisan prosa Beaulieu mungkin tidak seluruhnya benar, karena ia menulis dengan gaya bahasa yang cukup baik.
Akan tetapi bahwa instrik istana, adu domba para orang kaya, dan “penguasaan” raja-raja yang lemah, bukanlah persitiwa masa lalu yang tak biasa.
Sejarah kekuasaan mencatat, keadaan seperti ini terus saja terjadi sampai hari ini.
Apalagi catatan sejarah Aceh, baik sebelum, maupun sesudah mangkatnya Alaidin Riayatsyah Mukammil, dan Iskandar Muda, adalah cerita tentang para orang kaya yang menjadi pengacau di pusat kekuasaan kerajaan, dan para hulubalang yang tak patuh kepada, dan tak jarang memberontak kepada raja.
Logika tentang raja yang lemah yang menjadi “mainan” para orang kaya dan hulubalang, tentu saja akan terbalik kejadiannya, ketika hadirnya raja yang pandai, kuat, dan berani. Kali ini korban berbalik arah, dan berurusan dengan komplotan yang jumlahnya tergantung pada tungkat keterlibatan, dan penilaian ancaman oleh sang raja.
Repertoar Al Mukammil
Repertoar adalah kata yang berasal dari bahasa Perancis- repertoire mulai digunakan pada 1847 dalam pertunjukan seni.
Umumnya repertoar dikaitkan dengan perangkat judul sandiwara, lakon, musik, nyanyian, lagu, yang disajikan oleh seseoarng atau sekelompok yang siap untuk dipertunjukkan.
Mungkin kata itu repertoar dalam bahasa Aceh, cocok dengan kata “peukateun”.
Perjalanan hidup Al-Mukammil menuju kursi kekuasaan, sesungguhnya juga berupa sebuah repertoar opera, yang dimilikinya.
Hal ini berurusan dengan berbagai langkah sampai ia mencapai singgasana.
Catatan penting terhadapnya ia adalah seseorang yang mempunyai DNA raja.
Ia merupakan cucu dari seorang raja Aceh, Muzafarsyah, salah satu raja sebelum kerajaan Aceh Darussalam terbentuk.
Ia diuraikan mempunyai kecerdasan dan keberanian yang hebat.
Tidak hanya ketika menjadi tentara kerajaan Aceh, akan tetapi juga merupakan orang yang terhormat, dan terpandang dalam kerajaan.
Hampir tidak mungkin, ketika musyawarah orang kaya menemui kebuntuan, yang kemudian atas usul qadhi kerajaan mereka berpaling kepadanya, seandainya ia bukan seseorang yang terpandang.
Ketika para orang kaya kemudian menganggapnya “enteng”, karena ia sudah tua, bukan tidak mungkin hal itu masuk dalam “script” yang telah dipersiapkannya dengan teliti.
Ada ruang sejarah yang berpeluang memberikan penafisran baru tentang bagaimana orang tua itu menjadi raja.
Kecerdasan dan kehebatan Al Mukammil ketika ia menjadi raja dalam menjalankan pemerintahan, termasuk berurusan dengan orang kaya dan hulubalang, membangun angkatan perang yang dahsyat, mengirim duta besar ke Belanda, dan bahkan berani berhubungan dagang dengan Portugis, tidaklah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba.
Ada sebuah babak kehidupannya yang tidak banyak terungkap, sebelum ia menjadi raja.
Kehebatannya dalam “menerima” kekuasaan dan menjalankan kekuasaan dengan berbagai dinamika yang kadangkala spektakuker memberikan gambaran kepada kita, bahwa ia adalah seorang pemikir ulung, untuk tidak disebutkan jenius.
Ini artinya sedari muda ia adalah seseorang yang menyaksikan bagaimana roda pemerintahan berjalan, dan bagaimana pula “tingkah” sebagian orang kaya yang secara berkebetulan berdampingan dengan raja yang bodoh dan lemah.
Sekalipun catatan Beaulieu menerangkan hanya sebuah episode ketika ia menjadi raja, itu bukan berarti kejadian itu tidak berada dalam sebuah alur yang memang dipersiapkan dengan baik oleh Alaiddin.
Dugaan Jayadingrat (1911) tentang keterkaitan antara Alaidin dengan kematian dua raja sebelumnya, Alaidin Mansursyah dan raja Buyung, berikut dengan naskah prosa Beaulieu, menggambarkan sebuah kekuatan dan kecerdasan Almukammil sebagai “master mind” dari berbagai kejadian sampai dia menjadi raja.
Bukan tidak mungkin pula dalam skenario besar itu pula, ia telah memperhitungkan“dead lock” pemilihan raja sambil mengambil posisi menunggu mereka datang kepadanya.
Ia kemudian pura-pura menolak, namun ketika ia menerimanya, Alaidin mengajukan sebuah syarat “fait accompli” kepada para orang kaya.
Ia mau menjadi raja, namun dengan syarat mereka rela dihukum ketika mereka salah.
Hukuman itu tidak lebih dari hukuman sang ayah kepada anak, begitulah komitmennya.
Ide membunuh para orang kaya perusak kerajaan, segera setelah ia dilantik bukanlah datang secara tiba-tiba.
Dia adalah seorang pemikir, dan juga ahli strategi politik dan kekuasaan.
Apa saja komponen repertoar yang dia miliki, sampai dia didaulat menjadi raja, tak lebih dari sebuah perangkap skenario yang ia siapkan sebelumnya untuk para elite perusak.
Mereka adalah para orang kaya yang tak pernah berhenti memperalat raja yang lemah yang telah berlangsung bergenerasi.
Alaidin dengan berani, penuh perhitungan mengambil langkah radikal, menghentikan praktek jahat dengan sebuah prosekusi tanpa pengadilan.
Bukan tidak mungkin pula, dalam skenario besar itu, ia telah memperhitungkan“dead lock” pemilihan raja sementara ia mengambil posisi menunggu mereka datang kepadanya.
Ia kemudian pura-pura menolak, namun ketika ia terima ia mengajukan sebuah syarat “fait accompli “ kepada para orang kaya.
Pilihan yang tersedia untuk mereka, ia mau menjadi raja, sekaligus rela dihukum ketika mereka salah, dalam posisi anak dan orang tua.
Betapa repertoarnya menjadi lengkap, ketika di kemudian hari ia mempersiapkan dengan cukup baik, cucunya, Iskandar Muda, untuk mejadi raja Aceh terhebat di kemudian hari.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI