Kupi Beungoh
Aceh dan Kepemimpinan Militer (VIII) - Al Mukammil: Soft Power dan Dansa Diplomasi
Ketika Cornelis pertama tiba di Aceh, ia dijemput ke pelabuhan oleh putera mahkota, Sultan Ali Riatsyah pada malam hari, dan dibawa ke Istana
Admiral Lancaster djemput dengan enam ekor gajar, jauh lebih hebat dari hanya dua gajah ketika Cornelis de Houtman (Foster, 1940).
Penghormatan kepada Kerajaan Inggris sangat nyata ketika gajah pertama difungsikan hanya untuk mengangkut sebuah peti indah yang membawa surat Ratu Elizabeth I dan sejumlah barang hadiah Ratu kepada A Mukammil.
Surat itu semenjak dari Inggris telah dibungkus dengan beledu sutra berwarna emas.
Gajah kedua ditunggangi oleh Lancaster, sedangkan gajah-gajah lainnya mengangkut sebagian crew Inggris yang menyertai Lancaster.
Dalam rekaman buku “The voyages of Sir James Lancaster to Brazail and the East Indies 1591-1603” (1940), kehebatan penyambutan itu digambarkan sangat istimewa, tidak hanya karena keindahan dan kelengkapan prosesi yang menonjol.
Tetapi keteraturan yang mengambarkan keunikan tata krama sebuah negara Timur yang tidak kalah dari negara-negara Eropah.
Baca juga: Sempat Dideportasi tak Miliki Visa, Haji Uma Jamin Ortu Mahasiswi Palestina Jenguk Anaknya di Aceh
Catatan Lancaster juga menggambarkan apreasiasi pemerintahan Al Mukammil terhadap seni, yang dibuktikan dengan penampilan pertunjukan musik sepanjang jalan dengan bunyi terompet, drum-tambur, kecapi, dan flute- suling.
Melintasi tiga pintu gerbang akhirnya rombongan tiba di Istana Al Mukammil.
Berbeda dengan di Eropah, ketika sang tamu memasuki kediaman Al Mukammil, mereka harus membuka sepatu sebelum melangkah ke hamparan karpet dan permadani.
Lancaster dan sejumlah crew yang diterima Al Mukammil, diharuskan memakai pakaian Aceh yang telah disediakan termasuk headdress- kopiah, kemungkinan besar” tangkulok”,
Di depan Al Mukammil, Lancaster mengangkat tangan diatas kepala, kemudian membungkuk dan mencium tanah sebagai tanda hormat yang sangat tinggi kepada Al Mukammil.
Prosesi itu menunjukkan betapa Kerajaan Aceh sangat tahu cara menghormati tamu dari sebuah negara kuat Eropah abad ke 16.
Pada saat yang sama penghormatan itu juga dibalas oleh Lancaster dengan tata krama formal yang mengakui dan menjunjung tinggi kedaulatan Kerajaan Aceh-Darussalam.
Kunjungan utusan kerajaan Belanda dan Inggris tentu saja tercium kepada negara kuat lainnya di Eropah.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (V) - Alaiddin Riayat Syah, Sulaiman Agung, dan Laksamana Kortuglu
Kiprah Aceh dalam perdagangan rempah dan sebagai “hub”- kawasan yang malayani pedagang Eropah, Timur Tengah, Turki, India, Pegu, Siam, Cina, dan Jawa dalam paruh abad akhir abad ke 16 mulai menggema di Eropah.